Mohon tunggu...
Veronica Lusiana
Veronica Lusiana Mohon Tunggu... Guru - Stay Alive!

Introvert, Menyukai musik dan Mendaki gunung.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cintaku Habis Dengannya

29 Juni 2024   19:31 Diperbarui: 30 Juni 2024   07:30 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cuaca siang itu cerah ketika aku pulang ke kampung halamanku, aku Rini seorang gadis keturunan Jawa yang sedang berkuliah di Solo, dan ini adalah tahun terlamaku tidak pulang kampung, karena kesibukan tugas kuliah di semester akhir, menggunakan L300 minibus dari terminal Jombor menuju Bantul "didepan aja mba" kata pak supir, ternyata pak supir ini mengenalku karena pernah menjadi tim sukses pamanku saat mencalonkan diri sebagai anggota DPR. 

Saat itu mobil di penuhi penumpang karena bertepatan dengan warga yang baru pulang dari berbelanja untuk kulakan di pasar Beringharjo, tiba-tiba ada ibu yang bertanya denganku "mba orang mana? dan ini mau kemana?", "mau ke Bantul bu... " sahutku. "Wah kenal den Fitri dong mba?" aku terdiam sejenak dan sedikit berbohong, "rumah saya masih jauh bu" aku menyahut. 

Semua orang dikampung ini bahkan kampung tetangga mengenal Ibuku, ibuku salah satu tokoh yang dihormati dan disegani masyarakat, para warga memanggilnya "Ndoro Ayu", selain karena masih keturunan bangsawan, ia pun dikenal selalu memperhatikan warga yang kesusahan. Merekapun lanjut bercerita antar sesama penumpang, samar-samar aku mendengar cerita mereka "tau ga bu, anak camat itu loh menikah dengan wanita yang ga bener, dalam keadaan hamil lagi, ga menyangka loh kok mau, padahal anak camat itu anak baik-baik". 

Aku meminta pak sopir untuk stop, karena kebetulan sudah sampai persimpangan jalan dekat rumah, jalanan menuju rumahku belum beraspal, masih bebatuan dengan kerikil akupun pamit untuk turun duluan dan berjalan kaki menuju rumah. 

Semua orang menyapaku ketika berpapasan di jalan dengan raut wajah bingung "pulang mba?", "enggeh bu" sahutku, sejenak aku sempat berfikir ada apa kok ekspresinya seperti itu dan akupun berlalu.

Aku menarik nafas lega akhirnya sampai juga dirumah, rumahku memiliki halaman yang luas penuh bunga dan pepohonan yang menghiasi tiap sudut, rumahku bergaya klasik dengan joglo yang lumayan besar penuh dengan pahatan khas jawa nan indah, ini adalah rumah turun temurun dari almarhum nenekku, hingga ibuku dan kami anak-anaknya yang mendiami rumah ini. 

Aku pun memasuki rumah, dan sedikit kaget melihat ibuku duduk dengan raut wajah sedih, "ada apa bu?", ia pun langsung menatapku "Kamu gapapa tho nduk?" aku sempat bingung, seketika ada petir dihatiku, apakah ini yang dimaksud para penumpang dimobil tadi, otakku langsung berfikir menyambungkan kejadian demi kejadian yang ku alami waktu menuju rumah.

Aku memiliki tunangan yang saat itu sedang menempuh pendidikan S2 di Yogyakarta, walapun kami tinggal dikampung yang sama, namun saat ini berpisah jarak karena pendidikan yang sedang kami tempuh. 

Dani seorang pria baik, berpendidikan, dan santun. Aku mengenalnya karena ia adalah teman kuliah kakakku. 

Aku masih SMP ketika ia sering kerumah, Dani adalah cinta pertamaku. Mungkin, ia adalah laki-laki pertama yang menurutku menjunjung tinggi sopan santun, karena ibu keturunan bangsawan, kami di didik dengan khas sehingga mampu memiliki budi pekerti baik. 

Selang beberapa waktu setelah wisuda ia dan keluarganya datang ke rumah untuk melamarku, betapa senangnya hatiku, ternyata selama ini ia memiliki perasaan yang sama denganku. Aku masih SMA saat itu, sehingga kedua keluarga besar memutuskan kami bertunangan dulu.

Ibuku bertanya lagi "kamu gimana nduk?", aku tersenyum dan bilang "gapapa bu, aku gapapa". Hatiku hancur saat itu, hancur sekali, namun aku takut kesedihanku akan lebih menghancurkan hati ibu. Aku berusaha tegar, tanpa tangisan dan bersikap seperti biasa saja. 

Aku melanjutkan hidupku, tanpa pernah membahas hal itu dengan siapapun baik dengan ibuku sendiri. 

Menghabiskan waktu berapa minggu dirumah aku kembali ke Solo karena sibuk menyiapkan yudisium sarjanaku. Malam itu ibuku menelpon, "nduk si Dani bercerai, ternyata istrinya hamil anak orang lain. Keluarga Dani datang kerumah nduk, mereka mau melamarmu lagi, namun ibu sudah menolaknya. Ibu tidak membayangkan bagaimana pandangan orang lain jika kamu menikah dengannya". 

Aku terdiam dan hanya mengiyakan apa kata ibuku, sedari kecil aku sangat menghargai apa keputusan ibu, karena aku tahu semuanya demi kebaikanku.

Waktu berlalu begitu cepatnya, setelah wisuda aku memutuskan untuk merantau ke Jakarta, dalam waktu singkat aku diterima kerja di Sekolah Swasta di daerah Jakarta Pusat sebagai seorang guru. 

Ada banyak pria mendekatiku, aku sempat menjalin hubungan dengan pria baik, namun perasaan itu tidak ada lagi, aku tidak merasakan lagi perasaan yang kurasakan seperti dengan Dani. Akhirnya aku memutuskan untuk sendiri dulu. 

Terkadang ibu menelpon sekadar bercerita "Dani tetap setia nduk, ia memutuskan tidak menikah lagi". 

Namun aku tetap tidak bisa jika harus kembali dengan Dani, walapun saat itu istrinya bukan hamil anaknya, tapi tetap saja Dani yang aku anggap santun itu pernah berhubungan dengan perempuan itu, jika tidak ia tidak mungkin mengambil keputusan untuk menikahinya. Kepalaku pusing, pikiranku kian terasa berat jika teringat. 

Jika semesta memutuskan hubungan, aku percaya maka hubungan itu selesai. Walapun aku sering pulang kampung, padahal rumah kami berdekatan namun aku tak pernah bertemu atau melihatnya, di kesempatan apapun kami tidak pernah berjumpa lagi, ia bagai hilang ditelan bumi, hanya sesekali aku mendengar beritanya dari ibuku atau saudaraku.

40 tahun berlalu keputusanku tetap aku pegang teguh, usiaku sudah tidak muda lagi, aku masih bekerja sebagai seorang guru dan menunggu masa pensiunku yang kian dekat, aku tidak merasa kesepian jika berada disekolah, rekan-rekan kerja, kepala sekolah, selalu menemani bahkan beberapa siswa sering mendatangiku untuk curhat atau sekedar bercanda gurau, ketika pulang kerumah pun aku menyibukan diriku dengan mengurus tanaman hiasku, aku suka menghabiskan waktuku berjam-jam dengan tanaman yang aku miliki, namun sesekali pula aku merasa begitu kesepian, tidak ada lagi orang yang menemaniku di telpon karena ibu sudah lama tiada, terkadang aku menyesali mengapa waktu itu aku tidak menerimanya, si Dani cinta pertamaku, yang ku dengar dari adikku Ayu telah meninggal setahun yang lalu, ia memilih tetap sendiri hingga akhir hayatnya. 

Dalam kesendirianku diusia senja ini aku berfikir seandainya aku menikah mungkin akan ada orang yang membantu memijat punggungku ketika pegal dan masuk angin, ada yang menemaniku saat makan, tidur, ada anak-anak yang aku marahi saat membantahku dan berbuat ulah, namun aku sendiri saat ini. 

Aku pernah berfikir kenapa saat itu, aku begitu patuh dengan perkataan ibuku, yang menjalani hidup adalah aku. Namun mengapa aku memilih menurut kata ibu hanya karena takut pandangan orang lain terhadap nama baik keluarga kami, padahal aku hancur sekali. 

Kami dididik untuk menjadi manusia yang kuat dan tegar seperti ibu, hingga itu terbawa kealam bawah sadarku. Aku menangis dalam keheningan malam, tangisku pecah rasa sakit yang berkecamuk dalam dada sama, masih sama sakitnya saat aku tau dia menghamili dan menikahi gadis itu. Seharusnya aku lebih baik dengan diriku sendiri, betapa egoisnya aku terhadap kebahagiaanku.

Mengapa Takdir terasa begitu kejam terhadapku, semesta pun seakan ikut menertawakanku. 

Aku dkhianati oleh cinta pertama dan terakhirku begitu kejam, bagi sebagian orang aku manusia kolot, seharusnya aku bisa mencari cinta yang lain, begitu seharusnya manusia jika ia terluka ia bisa berfikir mungkin itu bukan jodohnya dan ia akan menemukan orang lain yang begitu mencintainya dengan tulus, seperti kata pepatah hilang satu tumbuh seribu. 

Namun cinta tidak semurah itu bagiku, cinta sesuatu yang sakral, suci dan berharga bagai imanku dengan sang pencipta yang mutlak tidak bisa diganggu gugat, begitulah aku mendefinisikan cintaku terhadap manusia. 

Aku berharap bisa dipertemukan lagi dengannya dikehidupan yang lain dalam keadaan tetap berpegang teguh dengan janji setia kami, kami membina rumah tangga dengan bahagia ditemani anak-anak yang sehat, kami menua bersama, menghabiskan waktu bersama anak, menantu dan cucu, hingga pada saatnya menunggu ajal menjemput. 

Dani aku merindukanmu, ketika membayangkan ini tak terasa air mataku menetes, semegah itu cintaku padamu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun