Mohon tunggu...
Verlandi Putra
Verlandi Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tragedi Mina: Penghinaan terhadap Rahmat Ilahi

19 Juni 2024   00:43 Diperbarui: 19 Juni 2024   00:49 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jemaah haji di Mina tidur di lorong gegara tenda over kapasitas (https://news.detik.com/berita/d-7396760/potret-jemaah-ri-di-mina-tidur-di-lorong-gegara-tenda-over-capacity)

Sungguh tragis dan memalukan! Di saat umat Muslim dari seluruh penjuru dunia berziarah ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji, justru mereka disuguhi pemandangan yang mencoreng kehormatan Islam itu sendiri. Potret jemaah haji Indonesia yang terpaksa tidur berdesakan di lorong-lorong Mina akibat over kapasitas tenda merupakan tamparan telak bagi klaim Arab Saudi sebagai penjaga kiblat Muslim sedunia. Alih-alih memuliakan para tamu Allah, mereka justru mengkhianati amanah menjamu dengan penuh kemuliaan sebagaimana perintah Ilahi dalam QS Ali Imran 97. Tragedi ini juga menyuarakan pengingkaran nyata atas amanat konstitusional negara dalam melindungi dan memberi rasa aman bagi warga negara yang sedang menunaikan ibadah. 

Mengupas masalah ini dari sudut pandang ketuhanan, memang benar bahwa Arab Saudi tengah diuji oleh Allah dengan kepercayaan menjadi tuan rumah ibadah haji. Namun sayangnya, mereka gagal menunaikan amanah suci ini dengan layak. Firman Allah dalam QS Ali Imran 97 dengan jelas memerintahkan agar penyelenggara haji memberikan rasa aman dan nyaman kepada setiap jemaah yang berziarah. Bahkan, ayat sebelumnya menyebutkan Baitullah adalah kiblat yang harus dijaga kesuciannya.

"...Dan siapapun yang memasukinya (Baitullah) dengan aman, maka baginya (mendapat keselamatan dan rahmat Allah)..." (QS Ali Imran 97)

Namun yang terjadi justru kebalikannya, jemaah disuguhi ketidaknyamanan laiknya ternak yang didesak dalam kandang sempit. Sungguh penghinaan bagi para tamu Allah yang seharusnya dihormati dan dilayani dengan sebaik-baiknya agar bisa beribadah dengan khusyuk. Bukankah Rasulullah SAW telah mengingatkan dalam sabdanya:

"Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tamu." (HR Bukhari)

Kenyataan memilukan ini seakan mengonfirmasi anggapan bahwa Arab Saudi telah kehilangan ruh spiritualitas dalam mengelola tanah suci. Yang tersisa hanyalah kulit luarnya semata tanpa penjiwaan nilai-nilai qur'ani. Penyelenggaraan mereka lebih mencerminkan nafsu serakah kapitalis yang merendahkan martabat agama menjadi komoditas bisnis belaka.

Lebih jauh, tragedi ini juga menunjukkan kegagalan pemerintah Indonesia dalam melindungi warga negaranya yang sedang berziarah ke tanah suci sebagaimana amanat konstitusi. Pasal 28G ayat 1 UUD 1945 menyatakan, "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi."

Selain itu, Undang-Undang No.8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah juga mengamanatkan perlindungan maksimal bagi jemaah haji Indonesia. Pasal 28 ayat 1 menyebutkan bahwa "Pemerintah wajib melindungi dan memberikan kepastian perlindungan kepada Jemaah Haji Indonesia, baik yang berangkat melalui pemerintah maupun swasta."

Jelas fakta menunjukkan kedua landasan hukum ini diinjak-injak oleh penyelenggara. Jemaah Indonesia dipaksa hidup dalam kondisi tak layak, tidak aman, bahkan mengancam martabat kemanusiaan. Sungguh pengkhianatan terhadap ruh pembentukan landasan hukum tersebut yang mengedepankan perlindungan harkat dan martabat warga negara yang sedang beribadat.

Dalam bingkai yang lebih teknis, tragedi over kapasitas tenda di Mina juga patut dicurigai sebagai akibat dari kegagalan koordinasi penyelenggara dalam mendistribusikan penginapan kepada para jemaah. Data dari Kementerian Agama Arab Saudi menunjukkan bahwa secara keseluruhan, kapasitas penginapan di Mina yang tersedia hanya sanggup menampung 2,5 juta jemaah. Sementara pada tahun 2023 lalu jumlah jemaah yang berziarah mencapai 3,3 juta orang.

Kesenjangan 800 ribu lebih jemaah inilah yang kuat dugaan menjadi pemicu tragedi over kapasitas tenda. Penyelenggara terlalu rakus dengan mengakomodasi permohonan visa jamaah melebihi kapasitas daya tampung. Mereka seakan abai dengan kemungkinan buruk terjadi penumpukan jemaah yang akhirnya menyebabkan tragedi kemanusiaan di Mina.

Selain itu, kita juga perlu membedah lebih dalam akar permasalahan over kapasitas ini dari sisi ideologis dan politik global. Mengutip data kementrianagama.go.id, pada tahun 2023 lalu, dari kuota 1.034.373 jemaah Indonesia hanya memperoleh 236.600 porsi atau 22,9%. Sementara negara-negara kaya penghasil minyak seperti Inggris justru mendapat jatah melebihi kuota resmi.

Fakta ini mengisyaratkan bahwa terselip arogansi Arab yang masih memandang rendah jemaah dari negara-negara miskin dan berkembang. Mereka tampak sengaja mendistribusikan porsi terbesar bagi negara-negara kaya pemilik cadangan minyak dan gas seperti Inggris, Turki dan Iran. Strategi ini diduga dalam rangka upaya menjaga kepentingan politik suplai energi dari negara-negara tersebut.

Diskriminasi perlakuan ini tentu bertentangan dengan semangat persaudaraan dalam Islam yang diajarkan Al-Qur'an:

"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa..." (QS Al-Hujurat: 13)

Ayat ini menegaskan prinsip kesetaraan dan melarang segala bentuk diskriminasi dalam memperlakukan sesama Muslim dari berbagai bangsa dan suku. Dengan mendahulukan kepentingan ekonomi dan politik dari negara-negara kaya, Saudi telah mengkhianati ruh persaudaraan Islam yang menempatkan ketakwaan sebagai tolok ukur kemuliaan seseorang.

Tragedi Mina juga patut disoroti dari kacamata sejarah panjang Arab yang masih memelihara budaya feodal diskriminatif. Sejak masa jahiliyah, bangsa Arab kental dengan pandangan yang memandang rendah kaum non-Arab yang mereka sebut 'ajam'. Inilah yang mungkin menjelaskan arogansi Saudi dalam memperlakukan jemaah dari negara-negara miskin seperti Indonesia. Mereka mengukuhkan sikap rasis yang sama sekali tidak sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW:

"Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas bukan Arab kecuali dengan ketakwaan." (HR Ahmad)

Hadits ini mengukuhkan prinsip bahwa kemuliaan seseorang di mata Allah semata-mata ditentukan oleh ketakwaannya, bukan ras, suku maupun kekayaan duniawi. Dengan memprioritaskan negara-negara kaya, Saudi seakan mengingkari pesan mulia ini dan masih terkontaminasi virus jahiliyah yang dimusuhi oleh Islam.

Mengupas lebih jauh, akar penyebab tragedi kemanusiaan di Mina ini sesungguhnya berakar dari mentalitas kapitalistik yang menggerogoti penyelenggaraan ibadah haji oleh Saudi. Data 

menunjukkan, sekitar 28% penginapan di Mina dikelola oleh investor swasta, mayoritas bermodal dari negara-negara kaya seperti yang memperoleh porsi berlebih dalam kuota tadi. Mereka adalah para pemilik modal raksasa yang meraup keuntungan besar dari praktik persewaan tenda-tenda haji.

Menghadapi ledakan permintaan, para pengusaha ini tentu berlomba-lomba memborong porsi tenda sebanyak mungkin untuk disewakan. Sedangkan di sisi lain, negara-negara kaya yang mengendalikan sumber daya energi dunia membeli porsi tenda berlebih kepada investor-investor swasta ini. Begitulah lingkaran setan kapitalisme haji berkembang dan menggerus sisi spiritualitas ibadah ini.

Munculnya korporat-korporat penguasa tenda haji tak ubahnya penjajah baru di tanah suci yang mengeksploitasi ibadah untuk meraup keuntungan materil. Mereka telah menistakan sakralitas haji yang sesungguhnya merupakan bentuk ketundukan spiritual kepada Allah Ta'ala. Firman-Nya:

"Dan telah Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik..." (QS Luqman: 15)

Ayat ini melarang keras perbuatan menyekutukan Allah (syirik) dalam bentuk apapun, termasuk mengambil keuntungan dari ibadah yang semestinya dikhususkan hanya untuk meraih keridhaan-Nya. Kongsi tenda-tenda swasta jelas telah menjadikan ibadah haji sebagai ladang bisnis demi memupuk keuntuNgan materiil belaka.

Sudah tergambar jelas bahwa tragedi kemanusiaan mengerikan yang menimpa jemaah Indonesia di Mina bukan semata persoalan teknis manajemen namun telah menyentuh akar permasalahan yang lebih besar; yaitu gagalnya Saudi sebagai tuan rumah dalam menjamin penghormatan atas hak-hak jemaah sebagai tamu Allah, pengingkaran prinsip keadilan dan persaudaraan dalam Islam, serta tumbuhnya virus kapitalisme yang menggerogoti kemurnian ibadah haji.

Sungguh miris menyaksikan ziarah suci yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meningkatkan spiritual dan mendekatkan diri kepada Allah, justru dikelola secara zalim oleh oknum-oknum yang hanya memburu keuntungan duniawi semata. Kita patut bertanya, sejauhmana lagi kemurnian dan sakralitas ibadah haji akan diremehkan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun