Kesenjangan 800 ribu lebih jemaah inilah yang kuat dugaan menjadi pemicu tragedi over kapasitas tenda. Penyelenggara terlalu rakus dengan mengakomodasi permohonan visa jamaah melebihi kapasitas daya tampung. Mereka seakan abai dengan kemungkinan buruk terjadi penumpukan jemaah yang akhirnya menyebabkan tragedi kemanusiaan di Mina.
Selain itu, kita juga perlu membedah lebih dalam akar permasalahan over kapasitas ini dari sisi ideologis dan politik global. Mengutip data kementrianagama.go.id, pada tahun 2023 lalu, dari kuota 1.034.373 jemaah Indonesia hanya memperoleh 236.600 porsi atau 22,9%. Sementara negara-negara kaya penghasil minyak seperti Inggris justru mendapat jatah melebihi kuota resmi.
Fakta ini mengisyaratkan bahwa terselip arogansi Arab yang masih memandang rendah jemaah dari negara-negara miskin dan berkembang. Mereka tampak sengaja mendistribusikan porsi terbesar bagi negara-negara kaya pemilik cadangan minyak dan gas seperti Inggris, Turki dan Iran. Strategi ini diduga dalam rangka upaya menjaga kepentingan politik suplai energi dari negara-negara tersebut.
Diskriminasi perlakuan ini tentu bertentangan dengan semangat persaudaraan dalam Islam yang diajarkan Al-Qur'an:
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa..." (QS Al-Hujurat: 13)
Ayat ini menegaskan prinsip kesetaraan dan melarang segala bentuk diskriminasi dalam memperlakukan sesama Muslim dari berbagai bangsa dan suku. Dengan mendahulukan kepentingan ekonomi dan politik dari negara-negara kaya, Saudi telah mengkhianati ruh persaudaraan Islam yang menempatkan ketakwaan sebagai tolok ukur kemuliaan seseorang.
Tragedi Mina juga patut disoroti dari kacamata sejarah panjang Arab yang masih memelihara budaya feodal diskriminatif. Sejak masa jahiliyah, bangsa Arab kental dengan pandangan yang memandang rendah kaum non-Arab yang mereka sebut 'ajam'. Inilah yang mungkin menjelaskan arogansi Saudi dalam memperlakukan jemaah dari negara-negara miskin seperti Indonesia. Mereka mengukuhkan sikap rasis yang sama sekali tidak sejalan dengan ajaran Nabi Muhammad SAW:
"Tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas bukan Arab kecuali dengan ketakwaan." (HR Ahmad)
Hadits ini mengukuhkan prinsip bahwa kemuliaan seseorang di mata Allah semata-mata ditentukan oleh ketakwaannya, bukan ras, suku maupun kekayaan duniawi. Dengan memprioritaskan negara-negara kaya, Saudi seakan mengingkari pesan mulia ini dan masih terkontaminasi virus jahiliyah yang dimusuhi oleh Islam.
Mengupas lebih jauh, akar penyebab tragedi kemanusiaan di Mina ini sesungguhnya berakar dari mentalitas kapitalistik yang menggerogoti penyelenggaraan ibadah haji oleh Saudi. DataÂ
menunjukkan, sekitar 28% penginapan di Mina dikelola oleh investor swasta, mayoritas bermodal dari negara-negara kaya seperti yang memperoleh porsi berlebih dalam kuota tadi. Mereka adalah para pemilik modal raksasa yang meraup keuntungan besar dari praktik persewaan tenda-tenda haji.