Dalam dunia perfilman Indonesia yang seringkali didominasi oleh genre horor dan romansa, jarang sekali kita menemukan film thriller yang berani keluar dari jalur mainstream. Namun, sutradara Rako Prijanto tampaknya ingin mengubah narasi tersebut dengan film terbarunya, Monster. Film ini mengambil konsep yang cukup eksperimental, yakni meminimalkan dialog hingga hampir tidak ada.
Memang, ide untuk membuat film tanpa dialog bukanlah hal baru dalam dunia sinema. Karya-karya ikonik seperti A Quiet Place dan 2001: A Space Odyssey telah lebih dulu bereksperimen dengan pendekatan ini. Namun, Monster tampaknya belum sepenuhnya berhasil menangkap esensi dan urgensi di balik minimalisasi dialog tersebut.
Monster mengisahkan dua anak kecil, Alana (diperankan oleh Anantia Kirana) dan Rabin (diperankan oleh Sultan Hamonongan), yang diculik dan disekap oleh seorang pria misterius bernama Jack (diperankan oleh Alex Abad). Dalam situasi yang mengerikan ini, Alana berhasil melarikan diri dan berusaha menyelamatkan Rabin dari cengkeraman Jack.
Meskipun premisnya sederhana, film ini berusaha menciptakan ketegangan dan suspense dengan meminimalkan dialog dan lebih mengandalkan ekspresi wajah, gerakan tubuh, serta elemen-elemen sinematik lainnya.
Salah satu aspek yang paling menonjol dalam Monster adalah akting tanpa dialog yang dilakukan oleh para pemainnya, terutama Anantia Kirana sebagai Alana. Dalam banyak adegan, Kirana berhasil menghidupkan karakternya melalui ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang meyakinkan. Ketakutan, kecemasan, dan ketegangan yang dialami Alana tersampaikan dengan baik melalui akting non-verbal Kirana.
Namun, di sisi lain, minimalisasi dialog juga menimbulkan beberapa masalah. Pada beberapa momen, justru terasa janggal ketika karakter-karakter tidak mengeluarkan sepatah kata pun, padahal situasinya seolah menuntut adanya percakapan atau reaksi verbal.
Misalnya, ada adegan di mana Alana seharusnya berteriak meminta tolong atau memanggil nama seseorang, tetapi ia hanya diam saja. Hal ini mengurangi kesan realistis yang seharusnya dibangun oleh sebuah film thriller.
Meskipun terdapat kekurangan dalam pengembangan cerita dan minimalisasi dialog, Monster tampil dengan sinematografi yang cukup mengesankan. Sutradara Rako Prijanto berhasil menciptakan berbagai shot yang kreatif dan dinamis, mulai dari drone shots hingga penggunaan refleksi air.
Angle kamera yang beragam dan penggunaan cahaya yang efektif membantu membangun suasana tegang dan mencekam. Adegan-adegan di mana Alana bersembunyi dari Jack menjadi lebih menegangkan berkat sinematografi yang solid.
Namun, di sisi lain, keputusan untuk menggunakan sedikit sekali dialog juga membuat aspek suara menjadi sangat penting. Film ini harus mengandalkan desain suara dan scoring yang kuat untuk membangun ketegangan dan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh minimnya dialog.
Beruntung, Monster cukup berhasil dalam hal ini. Scoring yang dinamis dan desain suara yang mencekam membantu mempertahankan intensitas dalam banyak adegan. Namun, tetap saja terasa ada sesuatu yang kurang tanpa adanya dialog yang membangun hubungan emosional antara penonton dan karakter.
Salah satu kelemahan terbesar dari Monster adalah ceritanya yang terlalu sederhana dan kurang mendalam. Setelah memperkenalkan premis penculikan, film ini tampaknya hanya berputar-putar pada adegan kejar-kejaran antara Alana, Jack, dan rekannya, tanpa adanya pengembangan plot yang signifikan.
Minimnya dialog juga membuat karakter-karakter terasa kurang berbobot dan kurang memiliki latar belakang yang jelas. Penonton hanya bisa menebak-nebak motivasi di balik tindakan kejahatan Jack, tanpa adanya penjelasan atau konteks yang memadai.
Pada akhirnya, cerita yang terlalu sederhana dan kurangnya pengembangan karakter membuat Monster terasa kurang memberikan dampak emosional yang mendalam pada penontonnya. Film ini lebih berfokus pada aspek visual dan ketegangan sesaat, namun gagal memberikan kedalaman cerita yang dapat diingat dalam jangka panjang.
Setelah menonton Monster, banyak pertanyaan yang masih mengganjal di benak penonton. Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena kurangnya penjelasan atau konteks yang diberikan oleh film ini.
Misalnya, mengapa film ini harus dibuat tanpa dialog? Apakah ada alasan khusus di balik keputusan tersebut, atau hanya sekedar eksperimen semata? Jika memang ada alasan yang kuat, sayangnya hal itu tidak tersampaikan dengan baik kepada penonton.
Selain itu, ada juga pertanyaan tentang motivasi dan latar belakang para karakter, terutama Jack sebagai antagonis utama. Apa yang mendorongnya untuk melakukan tindakan kejahatan tersebut? Apakah ada cerita di balik karakternya yang tidak terungkap?
Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin saja sengaja dibiarkan tanpa jawaban oleh sutradara, tetapi bagi sebagian penonton, hal ini dapat terasa mengganggu dan meninggalkan kesan cerita yang tidak utuh.
Monster adalah sebuah film thriller eksperimental yang berani keluar dari jalur konvensional dengan meminimalkan dialog. Meskipun pendekatan ini membawa sejumlah keunikan, seperti akting non-verbal yang kuat dan sinematografi yang menawan, film ini juga memiliki beberapa kelemahan.
Cerita yang terlalu sederhana, kurangnya pengembangan karakter, dan minimnya konteks di balik minimalisasi dialog membuat Monster terasa kurang memberikan dampak emosional yang mendalam. Penonton mungkin akan terpukau dengan ketegangan visual yang dibangun, tetapi juga meninggalkan banyak pertanyaan yang tidak terjawab setelah menonton film ini.
Meskipun demikian, Monster tetap layak diapresiasi sebagai sebuah upaya berani untuk mengeksplorasi pendekatan baru dalam dunia perfilman Indonesia. Dengan sedikit penyempurnaan dalam aspek cerita dan pengembangan karakter, film-film sejenis di masa depan berpotensi untuk memberikan pengalaman menonton yang lebih utuh dan memuaskan.
Bagi para penikmat film thriller yang mencari pengalaman baru dan tidak keberatan dengan minimnya dialog, Monster bisa menjadi pilihan tontonan yang menarik. Namun, jika Anda mencari film dengan cerita yang lebih kompleks dan karakter yang lebih mendalam, mungkin ada pilihan lain yang lebih sesuai dengan selera Anda.
Terlepas dari kekurangannya, Monster patut diacungi jempol sebagai sebuah upaya eksperimental yang berani mengeksplorasi batas-batas perfilman Indonesia. Dengan sentuhan inovasi dan penyempurnaan, film-film sejenis di masa depan berpotensi untuk memperkaya lanskap perfilman tanah air dengan karya-karya thriller yang lebih matang dan memuaskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H