Suatu kali aku pernah bertengkar dengan kakakku. Kami masih SD waktu itu. Aku lupa entah apalah pertengkaran kami, yang kuingat aku membalasnya dengan menyobek dan mencoret beberapa halaman buku tulisnya. Dia marah dan langsung menuduhku."Tidak, bukan aku" jawabku dengan santai"Jelas saja itu adalah kamu,," tuduhnya
"Mana buktinya.."
"Kita habis bertengkar.." tegasnya, kulihat mamakku sudah mulai mencurigaiku
"Tidak, bukan aku.." aku tetap mengelak.
Mamakku mulai campur tangan dan berperan sebagai penyidik dan hakim antara kami dan akhirnya memutuskan bahwa akulah pelakunya. Aku diam, tidak ada perasaan bersalah. Kupikir apa yang kulakukan adalah hal wajar, aku harus membalas perbuatannya.
Untuk pertama kalinya, karena kejadian itu, kudengar mamak berkata,
"Pendendam do si Ita on" (Ita, panggilanku di rumah semasa kecil adalah seorang pendendam)
Lain waktu, entah apa pula kejadian, lagi-lagi aku ribut dengan si kakak, aku pun lupa detail kejadian itu, tapi untuk pertama kalinya kudengar mamak berkata keras padaku
"Kau jangan seperti ular yang pura-pura mati, padahal sebenarnya sudah siap memberikan racun" aku benci dengan kata-kata itu, aku benci dengan ular dan segala makhluk yang seperti ular.
Penilaian bahwa aku pendendam dan ular pura-pura mati tidak pernah kuterima. Sebaliknya, aku menilai bahwa aku adalah orang yang mudah memaafkan. Betapa besar rasa marahku kepada orang lain, tidak butuh waktu lama aku akan berbaikan. Aku pun seorang yang gampang berbelas kasih kepada orang lain, saking saja gak punya untuk memberi dan berbagi. Aku mudah terenyuh melihat orang lain yang kunilai dalam kesusahan.
Sampai suatu kali, karena sesuatu hal yang menyakitkan sudah menahun, pernah kukatakan dalam hati kepada mereka yang dulu kukasihi dan kunilai pernah mengasihiku dan kepada mereka yang dulu tidak ingin kukasihi tapi harus aku kasihi,
"Sudah cukuplah sampai di sini, ahh sudahlah... sudah cukup sampai di sini"
Aku pun menutup hati, tak pernah ingin tahu, tak pernah ingin bertemu dan kudapati aku merasa lebih baik. Setidaknya begitulah yang terlihat. Aku berhenti mengasihi mereka dan berhenti menerima kasih dari mereka, kalau memang benar itu adalah "kasih".
Terdengar lagi suara yang berkata,
"Dengan hidup begini, kau seorang pendendam"
"Tidak, aku bukan pendendam, aku hanya tidak ingin jatuh lagi" aku membela diriku
"Kau tidak bisa mengampuni, percumalah ibadahmu, berhenti saja berdoa"
Kepada suara itu aku berteriak,
"Berhenti menjadi hakim atasku, kau tidak pernah tahu air mata kesedihan karena kata yang terucap cukup sampai di sini"
Pada akhirnya, kata "cukup sampai di sini" adalah kata pemanis untuk menyembunyikan dendam yang masih ada sampai akhirnya berkarat. Â Semakin lama disimpan, semakin berkarat dan kutemukan aku sedang tidak baik-baik saja dengan kondisi hati yang seperti ini. Kehidupan ibadah pun seperti kain kotor. Namun, meskipun suara itu seperti hakim atasku, memintaku berhenti saja, doa-doa tetap kunaikkan, kidung pujian tetap kunyanyikan dan Kitab Suci tetap kurenungkan. Aku sedang berjuang untuk bisa mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali... Aku sedang berjuang untuk berkata kepada mereka yang berhenti kukasihi,
"Cukup sampai di sini aku menutup hati, sekarang tiba waktuku membuka untukmu, ini aku mau mengasihimu.."
Aku sedang berjuang membersihkan dendam yang berkarat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H