Mohon tunggu...
Elang Segara
Elang Segara Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang yang kuat dalam kelemahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tusuk Konde Ibu

28 Januari 2020   07:14 Diperbarui: 28 Januari 2020   11:19 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Seandainya kakak dulu menerimanya begitu ibu memberinya padamu, mungkin tusuk konde ibu ini masih bisa dipakai. Aishhh,,, ingat-ingat kejadian tusuk konde ini membuat darahku naik dan panas. Oushhh...." Adikku terus mengomel melampiaskan amarahnya, terlontar dengan kata-kata kasar. 

Harus kuakui, wajar baginya mengomel gak karu-karuan karena tusuk konde ibu yang patah membuat darahnya panas. Kuingat, sebenarnya dia pernah menginginkan tusuk konde ini dari ibu, tapi ditolak ibu mentah-mentah dengan berkata,

"Kubeli ajalah lagi untukmu yang seperti ini yaa. Ini kuberikan ke calon istri adik bungsumu itu ntar, sebagai kenang-kenangan dari mertuanya yang tidak punya" adikku hanya bisa nyengir waktu itu tapi ikut bahagia karena ibu juga sangat menanti-nantikan menantu dari anak laki-lakinya yang bungsu sebelum ajal menjemput, terlebih karena ibu pun sudah sering sakit. Adik perempuanku, Uli, berusaha mendukung keputusan ibu walau kadang tak cocok menurut hatinya.

Jauh sebelum dia mengungkapkan keinginannya untuk dapat warisan tusuk konde itu, menjelang pernikahanku, yang menjadi putri sulung setelah kematian kakak perempuan tertuaku, ibu pernah berniat memberikannya padaku

"Tiur,, kau bawalah tusuk konde ini setelah kau menikah ya" ucapnya dengan bahagia.

"Aku tahu, kau sangat menyukainya sejak kau kecil. Bahkan, aku menyimpannya sampai hari ini karena kau bersikeras supaya aku terus menyimpannya sampai kau besar. Anggaplah ini hadiah dari ibu, mengingatkanmu agar selalu bersikap menjadi tuan putri raja". Ahh ternyata ibu masih mengingat kata-kata polos dari putrinya saat SD kelas 3, aku pernah berkata ke ibu saat berencana memberikan tusuk konde itu kepada kawannya yang menyukai tusuk konde itu,

"Ibu kalau tidak suka dengan tusuk konde ini, simpan sajalah untukku kalau aku sudah besar. Ibu tahu kan, aku suka dengan benda-benda lama, seperti kata bapak, yang model lama justru yang unik dan menarik, jadi Ibu simpanlah untukku menunggu aku besar" kata-kata polosku yang ternyata ibu ingat sehingga terus menyimpan tusuk konde itu. 

Aku memang menyukainya dan ingin memilikinya, tapi saat waktunya tiba, ada beberapa alasan yang membuatku tidak pantas menerimanya. Aku memutuskan menikah dengan seorang yang bukan putra raja, sebutan pria yang tidak satu suku denganku. 

Sukuku menyebut putri-putrinya sebagai tuan putri raja, sementara putra-putranya disebut anak raja. Aku si tuan putri raja menikah dengan pria suku lain, sehingga kupikir-pikir bakal hilang pulalah identitasku sebagai putri raja. Padahal tusuk konde itu, kata ibu menyimpan makna tentang tuan putri raja yang bijaksana, yang tidak membiarkan rambutnya terurai, tapi selalu digulung seperti sanggul dan dihias oleh tusuk konde. 

Demikian terpancar aura kehormatan, kecantikan dan kebijaksanaan tuan putri raja yang juga senantiasa menjadi ibu yang bertanggung jawab pada keluarganya. Lagipula, jika kupaksakan menerima tusuk konde yang aku suka itu pun sama saja seperti aku menaruhnya di museum karena tidak akan pernah kupakai. Waktu itu kuanggap akan jauh lebih berguna jika ada di tangan ibu.

Aku memandang lekat ke arah tusuk konde yang patah di kotak berwarna abu-abu. Tusuk konde model zaman dulu warna coklat. Sebenarnya dia tidak menarik dipandang mata, tidak seperti tusuk warna perak atau emas yang bersinar dan terkesan mewah. Ibuku mendapatkannya sebagai warisan dari saudara perempuan kakekku dari pihak ayah, yang meninggal tua dengan tidak menikah.

"Benda ini memang kecil, sudah tua, tapi aku menyukainya. Aku dulu membelinya karena berharap, kelak aku bisa memakainya sebagai perempuan menikah dengan putra raja. Tapi ternyata tidak kesampaian karena akhirnya, aku pun tua dengan tidak menikah.  Kuwariskan untukmu, biarkan ini menjadi pengingat bagimu supaya tetap menjadi tuan putri raja yang bijaksana menjalani rumah tangga dengan keponakanku" kata-kata nasihat dari Tante tua (demikian kami memanggilnya karena sampai meninggalnya tidak menikah) kepada ibu. 

Nasihat yang menjadi bebannya seumur hidup, membayang-bayanginya saat beberapa kali ingin menyerah dalam biduk rumah tangga karena ketidakbahagiaan dengan ayah. Kuingat ibu sering memandangi tusuk konde itu dengan tatapan mata yang kosong tapi kemudian berurai mata. Entah kenapa pula, setiap dirasakannya puas melamun, puas menangis, puas merenungkan kembali nasihat tante tua dengan peraga tusuk konde itu berhasil membuat ibu melangkah dengan tegak dan tegar.

Tusuk konde ibu, warisan dari tante tua, hanya dua kali kupakai. Pertama saat meninggalnya ibu dan yang kedua saat meninggalnya ayah. Walau ibu sudah meninggal, Uli, adikku mengemban tugas untuk mewariskan tusuk konde itu kepada perempuan yang di kemudian hari menjadi istri saudara laki-laki kami yang bungsu.

"Ini sudah terakhir kau pakai tusuk konde ibu ini, Kak. Selanjutnya akan kembali ke tangan yang seharusnya empunya. Mudah-mudahan siapa pun perempuan itu kelak mengerti makna tusuk konde diwariskan padanya sebagai istri adik laki-laki kita, sebagai menantu ayah dan ibu. 

Kelak nanti dia menjadi tuan putri yang bijaksana, seorang ibu yang bertanggung jawab pada keluarganya" begitulah kalimat terakhir yang kudengar saat adikku Uli merapikan tusuk konde itu ke dalam kotak berwarna abu-abu.

"Sebenarnya ya bukan masalah harga tusuk konde ini. Tapi cara dia itu loh yang bikin panas hatiku... Kenapa pula jadi tusuk ini yang jadi korban. Dia seolah sengaja meremehkan,, ya kan??? Aushh entah dari mana cintanya adik laki-laki kita untuk perempuan seperti dia yang sudah sudah jelas-jelas berhati ular,, aushhh emosi aku" adik perempuanku, Uli masih mengomel seperti kebiasaannya dan membuyarkan lamunanku. 

Hampir saja aku marah dan menyatakan cukup ini hanya tusuk konde, tidak usah semakin memperparah, tapi tertahan oleh mulutku karena harus kuakui, buat kami saudara perempuan tusuk konde ibu berharga dan bersejarah bagi kami, sama seperti ibu juga menilainya berharga. 

Mungkin adikku Uli ada benarnya, ini bukan masalah harga nominalnya tapi nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai yang dipandang remeh, terlebih amarahnya semakin memuncak karena sikap tidak dewasa si adik ipar, yang diwarisi tusuk konde ibu.

Ahh, entah karena tidak diwariskan langsung oleh ibu, sepertinya makna itu terasa kabur, apalah harganya sepasang tusuk konde zaman dulu dengan warna yang mulai kusam, ahh warisan macam apa yang kudapat ini? Mungkin begitulah pikiran perempuan yang menjadi adik ipar kami seumur dua tahun. 

Dua tahun yang tidak cukup mengerti dan matang menjalani status sebagai tuan putri bijaksana. Harapan anak yang tak kunjung hadir, perselisihan kecil yang semakin besar, hidup menjadi anak yatim-piatu hanya setahun setelah menikah, dan banyak alasan lain membuatnya memutuskan untuk mematahkan tusuk konde dan keluar dari rumah tempatnya pernah disambut seperti tuan putri raja.

Seperti patahnya tusuk konde, seolah patah juga keinginannya menyandang status sebagai tuan putri raja. Ahh tidak mudah bersikap seperti putri raja dengan pergumulan berat dalam rumah tangga. 

Menjadi tuan putri yang bijaksana juga butuh proses yang panjang, mungkin ada masa dia lari untuk mencari jati diri yang sesungguhnya, supaya bisa kembali menjadi tuan putri raja sejati. Kembalilah adik ipar,, doaku ditengah kata-kata amarah dan jengkel adikku. Yah kembalilah menjadi tuan putri raja untuk adik laki-laki kami, si anak raja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun