"Benda ini memang kecil, sudah tua, tapi aku menyukainya. Aku dulu membelinya karena berharap, kelak aku bisa memakainya sebagai perempuan menikah dengan putra raja. Tapi ternyata tidak kesampaian karena akhirnya, aku pun tua dengan tidak menikah. Kuwariskan untukmu, biarkan ini menjadi pengingat bagimu supaya tetap menjadi tuan putri raja yang bijaksana menjalani rumah tangga dengan keponakanku" kata-kata nasihat dari Tante tua (demikian kami memanggilnya karena sampai meninggalnya tidak menikah) kepada ibu.Â
Nasihat yang menjadi bebannya seumur hidup, membayang-bayanginya saat beberapa kali ingin menyerah dalam biduk rumah tangga karena ketidakbahagiaan dengan ayah. Kuingat ibu sering memandangi tusuk konde itu dengan tatapan mata yang kosong tapi kemudian berurai mata. Entah kenapa pula, setiap dirasakannya puas melamun, puas menangis, puas merenungkan kembali nasihat tante tua dengan peraga tusuk konde itu berhasil membuat ibu melangkah dengan tegak dan tegar.
Tusuk konde ibu, warisan dari tante tua, hanya dua kali kupakai. Pertama saat meninggalnya ibu dan yang kedua saat meninggalnya ayah. Walau ibu sudah meninggal, Uli, adikku mengemban tugas untuk mewariskan tusuk konde itu kepada perempuan yang di kemudian hari menjadi istri saudara laki-laki kami yang bungsu.
"Ini sudah terakhir kau pakai tusuk konde ibu ini, Kak. Selanjutnya akan kembali ke tangan yang seharusnya empunya. Mudah-mudahan siapa pun perempuan itu kelak mengerti makna tusuk konde diwariskan padanya sebagai istri adik laki-laki kita, sebagai menantu ayah dan ibu.Â
Kelak nanti dia menjadi tuan putri yang bijaksana, seorang ibu yang bertanggung jawab pada keluarganya" begitulah kalimat terakhir yang kudengar saat adikku Uli merapikan tusuk konde itu ke dalam kotak berwarna abu-abu.
"Sebenarnya ya bukan masalah harga tusuk konde ini. Tapi cara dia itu loh yang bikin panas hatiku... Kenapa pula jadi tusuk ini yang jadi korban. Dia seolah sengaja meremehkan,, ya kan??? Aushh entah dari mana cintanya adik laki-laki kita untuk perempuan seperti dia yang sudah sudah jelas-jelas berhati ular,, aushhh emosi aku" adik perempuanku, Uli masih mengomel seperti kebiasaannya dan membuyarkan lamunanku.Â
Hampir saja aku marah dan menyatakan cukup ini hanya tusuk konde, tidak usah semakin memperparah, tapi tertahan oleh mulutku karena harus kuakui, buat kami saudara perempuan tusuk konde ibu berharga dan bersejarah bagi kami, sama seperti ibu juga menilainya berharga.Â
Mungkin adikku Uli ada benarnya, ini bukan masalah harga nominalnya tapi nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai yang dipandang remeh, terlebih amarahnya semakin memuncak karena sikap tidak dewasa si adik ipar, yang diwarisi tusuk konde ibu.
Ahh, entah karena tidak diwariskan langsung oleh ibu, sepertinya makna itu terasa kabur, apalah harganya sepasang tusuk konde zaman dulu dengan warna yang mulai kusam, ahh warisan macam apa yang kudapat ini? Mungkin begitulah pikiran perempuan yang menjadi adik ipar kami seumur dua tahun.Â
Dua tahun yang tidak cukup mengerti dan matang menjalani status sebagai tuan putri bijaksana. Harapan anak yang tak kunjung hadir, perselisihan kecil yang semakin besar, hidup menjadi anak yatim-piatu hanya setahun setelah menikah, dan banyak alasan lain membuatnya memutuskan untuk mematahkan tusuk konde dan keluar dari rumah tempatnya pernah disambut seperti tuan putri raja.
Seperti patahnya tusuk konde, seolah patah juga keinginannya menyandang status sebagai tuan putri raja. Ahh tidak mudah bersikap seperti putri raja dengan pergumulan berat dalam rumah tangga.Â