Bab 1 Â Ketenangan Desa Rannon
Desa Rannon berada di wilayah Kerajaan Rhoden. Terletak di dataran tinggi yang membentang luas nan hijau, menjadikannya asri oleh hawa sejuk pegunungan. Dihuni oleh suku Urcan, salah satu dari sekian banyak suku lain yang tinggal di kerajaan yang sama, memilih untuk menghilang dari peradaban manusia modern di masa depan. Suatu masa ketika robot mengambil alih fungsi manusia, senjata laser menggantikan pedang, para penduduk yang tinggal di wilayah kerajaan tetap memegang teguh nilai-nilai budaya nenek moyang yang telah mengakar dalam setiap sendi kehidupan mereka.
Sebagian besar bercocok tanam, mata pencarian lainnya adalah berdagang dan mengolah obat-obatan. Jauh dari peralatan modern yang menggunakan mesin dari logam. Peralatan rumah tangga dan senjata seperti pedang dan perisai dibuat menggunakan teknologi manual dan tenaga manusia.
Setiap hari, mereka melakukan rutinitas yang sama. Satu sama lain saling sapa, bekerja dan membantu warga lainnya, menjadi keseharian yang sudah biasa. Mereka cukup puas dengan keadaan itu sehingga tidak ada yang benar-benar kaya karena alam sudah menyediakan semuanya.
Di antara mereka, tinggallah sebuah keluarga dengan kepala keluarga bernama Dyma. Sebagai satu-satunya keluarga kesatria yang tinggal di desa itu, keluarga Dyma tentu sangat dikenal warga sekitarnya. Bekerja sebagai pengawal raja, menyebabkan dirinya menjadi pribadi yang kuat, tegas, dan disiplin. Kejujuran dan kesetiaannya pada Raja Dhazcos, penguasa Kerajaan Rhoden, juga tidak perlu dipertanyakan. Keberaniannya menghadapi musuh dalam setiap tugas keprajuritan juga mengundang decak kagum siapapun yang mendengarnya. Semua kepribadian tersebut juga tercermin dalam caranya membangun rumah tangga. Ia tidak pernah memanjakan putri semata wayangnya. Taja.
Lahir di dalam lingkungan keluarga kesatria dengan seorang ibu yang bekerja sebagai dayang istana, menjadikan Taja memiliki sifat mandiri dan disiplin. Ia telah terbiasa ditinggal orang tuanya seorang diri ketika mereka bertugas dalam waktu yang sama. Selain itu, meskipun perempuan, bukan berarti dia hanya mau berdiam diri. Sejak kecil, Taja telah mulai tertarik dan mengasah ilmu pedang bersama Sang Ayah. Ketekunan mencetak dirinya seperti ayahnya, dan hal itu membuat Dyma bangga.
"Taja, katakan pada ayahmu, makan malam sudah siap." Ibunya memberitahu. Miszha, empat puluh tahun, terpaut lima tahun lebih muda dari suaminya, adalah seorang ibu yang baik dan penyayang. Pekerjaannya sebagai dayang istana mempertemukannya dengan Dyma hingga menikah dan hidup bahagia.
Anak perempuannya yang kini telah menginjak dewasa tersebut, langsung mengangguk dan menghentikan kegemarannya membaca buku. "Baik, Bu." jawabnya, tanpa menunggu diberitahu dua kali. Ia segera menemui ayahnya yang masih mengasah pedang. "Kata Ibu, makan malam sudah siap."
Mendengar ucapan putrinya, Dyma menghentikan sejenak pekerjaannya. "Baiklah, katakan padanya, sebentar lagi aku ke sana, bergabung dengan kalian."
Â
"Baik."
Â
"Taja!"
Â
Ayahnya memanggil sehingga Taja menoleh dan menghentikan langkahnya. "Ya, Ayah?"
"Aku akan mulai membicarakan masa depanmu bersama ibumu saat makan malam nanti. Kau harus siap."
Â
Sejenak menatap ayahnya, Taja tak berpikir terlalu lama. "Ya, Ayah."
Dyma bergegas menyusul putrinya setelah mengunci pondok kecil tempatnya menyiapkan barang-barang kebutuhannya. Di ruang makan, kedua orang terkasihnya itu sudah menunggunya. "Maaf membuat kalian menunggu. Pedang itu harus siap besok. Iring-iringan keluarga istana akan dikawal oleh kelompok prajurit utama."
"Termasuk Ayah?" tanya Taja, menyiapkan hidangan untuk ayahnya.
"Benar. Mungkin, kunjungan mereka ke Eyn membutuhkan waktu empat hari sesuai waktu yang ditentukan." jawabnya. Tanpa dijelaskan pun, istri dan anaknya sudah paham maksud pembicaraan ini. Artinya, Dyma tidak bisa pulang selama tugasnya mengawal keluarga istana belum selesai. "Sebelum aku berangkat, ada hal yang ingin kubicarakan. Tapi, makanlah dulu. Jangan lupa berdoa."
Mereka menikmati makan malam itu bersama. Suasana yang hangat menyelimuti keluarga kecil tersebut. Sesekali terdengar tawa kecil, yang menandakan bahwa mereka benar-benar bahagia.
"Baiklah, Dyma. Apa yang ingin kau bicarakan?" Miszha memulainya, agak tak sabar sejak tadi, ingin tahu sesuatu yang mengganjal pikiran suaminya.
Dyma terdiam, membutuhkan beberapa saat sebelum mulai angkat bicara. Setelah menatap Taja, ia pun berkata, "Suatu saat, Taja harus menikah." Sesuai dugaannya, Miszha dan Taja saling pandang.
"Tentu, cepat atau lambat, pernikahan itu akan terjadi. Tetapi, Sayang, mengapa kau membicarakannya sekarang?" Miszha meremas lembut tangan kokoh suaminya, sekaligus isyarat agar Dyma lebih hati-hati dalam berkata-kata, sebab pernikahan bukanlah sesuatu yang gampang diterima oleh semua anak gadis, khususnya Taja.
"Miszha, kau tahu sejak dulu bahwa setiap keluarga kesatria seperti kita harus siap kehilangan. Kehilangan sosok ayah, pelindung kalian, karena risiko kematian yang lebih besar. Aku ... terus terang selalu memikirkannya setiap saat, bahkan sejak kita menikah. Aku tidak ingin Taja terkejut ketika hal itu terjadi. Untuk itu, putri kita membutuhkan sosok pelindung lainnya. Seorang suami."
Â
Air muka Taja memang tidak menentang, namun juga tidak menyetujui usul  sang ayah. Ia membiarkan ayahnya bicara lebih dahulu sebelum mengemukakan pendapatnya.
"Usiamu sudah delapan belas tahun. Gadis-gadis lain bahkan telah menikah lebih cepat. Aku sangat menyayangimu, Taja, sehingga terpaksa kubahas ini lebih cepat. Miszha, sebagai seorang ibu, kau juga harus memahami maksudku. Kita bukan petani atau pedagang, tidak ada yang bisa kuwariskan pada Taja selain ilmu pedang, jadi ... ."
"Ayahmu sudah banyak menjelaskan keinginannya. Bagaimana menurutmu?" Miszha mengalihkan pusat pembicaraan ini kepada putrinya untuk membantu Dyma. "Katakan saja, Taja. Kami harus tahu pendapatmu. Ini hidupmu, masa depanmu. Kau juga berhak menentukannya sendiri. Satu hal yang harus kau ingat, setiap keputusan pasti memiliki risiko, tinggal bagaimana kau mampu mempertimbangkannya baik-baik."
Gadis berambut panjang seperti ibunya itu merenung. Matanya yang indah belum berani menatap kedua orang tuanya. Walaupun tetap cantik tanpa riasan tebal, tak banyak pemuda yang berani meminangnya dikarenakan sifatnya yang cenderung kelaki-lakian. Hidung mancung, pipi yang merona dan sepasang bibir yang kemerahan, tak cukup untuk memancing keberanian lawan jenisnya. Bagi Taja, ia hanya akan menjadi diri sendiri, sesuai dengan cita-citanya. Namun, jika itu dianggap penting bagi masa depannya ... .
Â
"Aku akan menikah ... setelah mengabdi pada raja."
Â
Dyma dan Miszha saling pandang.
Â
"Apa? Kau akan mengabdi pada Raja? Meniru jejak ibumu?" Dyma tampak lega. Itu berarti, Taja akan lebih sering menghabiskan waktu mengurus dan mempercantik diri sendiri, juga belajar menjadi wanita dewasa yang mandiri, mampu mengurus rumah tangga.
Tiba-tiba gadis itu menggeleng. "Hm, tidak. Aku akan ikut jejak Ayah. Menjadi pengawal istana, mata-mata, prajurit tempur, apa saja, yang penting jauh dari urusan dapur. Setelah aku bosan dan membutuhkan pria untuk sekadar membetulkan genting rumah, barulah aku akan menikah."
Mata ibunya membelalak marah. "TAJA!!"
Malam itu, saat terbaring dan sebelum keduanya larut dalam bunga tidur, Miszha berkata, "Andai Taja sungguh-sungguh dengan keinginannya, apa yang akan kau lakukan?" Lama tak mendapat jawaban, ia menoleh dan mendapati suaminya tengah melamun memandangi langit-langit rumah. "Sayang?" Miszha langsung memeluk Dyma. "Maafkan aku. Aku telah gagal mendidik putri kita agar sama seperti gadis lainnya." sesalnya.
Â
"Kalau begitu, aku juga telah bersalah mengajari putri kita ilmu pedang," renung pria itu. "Aku hanya ingin supaya dia bisa melindungi diri. Menjadi wanita yang tangguh menjalani hidup, bukannya gadis tomboi yang sulit mendapat kekasih." Dihelanya napas.
Â
"Aku tidak menyalahkanmu."
"Aku juga tidak menyalahkanmu." balas Dyma cepat. Saling menyalahkan hanya akan melukai hati istrinya yang telah mengorbankan segalanya. Teringat bagaimana Miszha nyaris meregang nyawa kala melahirkan Taja. Ia masih ingat betul peristiwa mendebarkan itu, sehingga tidak bijak bila keinginan Taja dianggap sebagai kesalahan didikan. Dyma lebih mensyukuri nikmat sehat bagi anak dan istrinya.
Â
"Lalu?"
"Kita akan memberinya waktu, Sayang. Kita hanya bisa percaya padanya dan melihatnya tumbuh menjadi wanita dewasa. Mungkin suatu saat nanti, dia akan bertemu dengan cinta sejatinya. Seorang pria yang tidak hanya disuruh membetulkan genting saja." Dyma tertawa mengingat kata-kata putrinya.
"Ya. Dia pasti ... seorang pria yang lebih tangguh darinya. Sayang dan hormat padanya, juga mampu melindunginya. Dan yang lebih penting, mengembalikan sifat Taja sebagai wanita sejati."
"Kau benar."
Malam semakin larut. Suara binatang-binatang malam saling bersahutan. Dyma dan Miszha tidak lagi gelisah memikirkan Taja. Mereka percaya, pada saatnya nanti, hadiah terindah akan diberikan Tuhan kepada siapapun yang mampu bersabar dan tidak menyerah pada keadaan.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI