Mohon tunggu...
Vera Damayanti
Vera Damayanti Mohon Tunggu... Novelis - Novelis Digital

Hanya seorang penulis dalam dunia digital yang ingin berbagi imajinasi dan inspirasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Legionnaire: Battle of The Heart #5

19 Januari 2025   05:02 Diperbarui: 19 Januari 2025   05:05 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ramshad Ali and Taja (Source: two characters and background are generated by Meta AI, novel cover is designed by Vera Damayanti)

Bab 5 Mengintai Raja

Sesudahnya, kabar tentang laga judi gundu tidak terdengar lagi. Anak-anak bermain seperti biasa tanpa mencita-citakan hadiah yang aneh. Kehidupan di negeri ini kembali berlangsung seperti biasa.

Ramuan jahe dan roti isi menemani makan pagi Ramshad. Memulai hari seperti ini bukanlah ide yang buruk. Meja kecil berdebu ditiupnya, lantas menyeret kursi rias yang masih kuat menopang tubuhnya. Usai meletakkan sarapannya di atas meja, perlahan dua sajian sederhana itu mulai berkurang sembari menikmati nyanyian burung pipit yang asyik membuat sarang.

Istana kecil, demikian ia menyebutnya, merupakan bagian dari istana milik ratu yang sering dibiarkan sendirian. Terletak paling belakang sehingga balkon tempat Ramshad duduk adalah lokasi strategis untuk menatap kebun belakang. Nun jauh di sana, tampak hutan lebat yang mengerikan saat malam namun sangat indah ketika pagi begini. Lebat sulur tanaman merambat menambah kesan eksotis. Di belakangnya, terdapat jendela besar yang menjadi saksi pertemuan romatis rajanya dengan sang ratu kala itu.

Kedudukan sebagai mata-mata utama mewajibkannya untuk menjaga mereka berdua, meskipun sesungguhnya raja tidak butuh dijaga.

Masih lekat dalam ingatan ketika Zaghas Ardeth menghancurkan Carlo Dante hingga ke jantung dan ulu hatinya dengan merebut Ratu Eyn Mayra dalam kuasa tenung mantra hitam seorang dukun wanita. Dalam kondisi seperti itu, laki-laki biasa mustahil bisa bertahan. Sebaliknya, dia bangkit, menggunakan sisa tenaganya dengan menggunakan roh pedang Zeal. Padahal, membayangkan makhluk itu keluar dari raga rajanya, Ramshad sering merasa ngeri. Pastilah sakitnya luar biasa.

Saat sedang melamun, telinganya menangkap suara dari arah belakang.

"Lama sekali menikmati sarapanmu, Rapunzel."

Lagi-lagi Taja. Ramshad langsung memasang muka masam karena akhir-akhir ini ia selalu diikuti. "Aku sedang bebas tugas," kilahnya.

"Tidak ada libur untuk mata-mata utama." Taja mendekat dan menghabiskan ramuan jahe milik Ramshad, hingga keluar bunyi kenyang dari mulutnya. "Maaf aku mengikutimu saat itu, kupikir Stravos terlibat dengan para pengkhianat di wilayah selatan. Ternyata tidak. Dia cuma ahli memainkan bisnis uang."

"Dia aman."

"Walau bukan berarti bisa percaya pada orang seperti dia."

"Tentu."

Taja tak sengaja bertemu pandang dengan mata jernih pria itu kemudian memalingkan wajah, mengubah haluan pandangannya ke hutan luas di sana. "Hm, jika kau tak sibuk, raja berencana membuka peti-peti itu malam ini. Hanya orang terpercaya yang diizinkan masuk ke ruangan itu bersamanya."

"Bagaimana denganmu? Seingatku, kau yang paling penasaran," ucap Ramshad, bukannya tak tahu bahwa wanita itu sedikit salah tingkah. Ia tetap bersikap tenang tanpa menanyakan penyebabnya.

"Kurasa, karena aku banyak tanya."

"Yah, begitulah." Ramshad buru-buru mengunyah cepat makanannya sebelum dirampas wanita itu. "Pura-pura saja mengerti segalanya tapi kau harus cepat belajar. Raja kita membeli sesuatu dari kota modern, itu berarti sedang terjadi hal serius. Setidaknya, firasatnya mengatakan begitu."

Taja sulit berkomentar. Ia lebih memahami tentang dunia sihir dan kesaktian, bagaimana roh pedang berada dalam tubuh rajanya atau ratu yang memiliki kemampuan membaca pikiran dan teleportasi. Akan tetapi, memahami bagaimana seekor burung besi bisa terbang ....

"Oh ya, bukankah kau terkena banyak pukulan malam itu?" Ia mengalihkan pembicaraan. Sedikit diamatinya wajah Ramshad yang terkesan tenang tanpa sedikitpun menahan rasa sakit.

"Apa pedulimu?"

Taja yang semula ingin tahu, berubah gerah mendengar jawaban ketus itu. "Berarti kekuatan itu masih ada dalam dirimu. Kupikir, sejak kau sekarat terakhir kali, kau telah kembali menjadi manusia biasa."

Ramshad tersenyum. "Anggap saja aku beruntung. Aku bisa saja mati tapi aku tak peduli. Kekuatan itu ada atau sirna, bukan masalah. Justru aku curiga, mengapa kau bisa menemukanku begitu cepat? Jika bukan karena ratu ...."

Mata Taja menyipit, membalas tatapan Ramshad yang menusuk. "Itu karena Yang Mulia peduli padaku."

"Oh ya? Apakah kau yang memintanya?"

Seperti biasa, situasi seperti ini sering terjadi. Ramshad tidak pernah meributkan hal-hal kecil, namun mendengar pengakuan Taja akan membuat dirinya lebih waspada sebab ternyata panglima perang Eyn itu tidak pernah mengutus seseorang untuk memata-matai dirinya.

"Itu ... hadiah," ungkap Taja. "Sama sekali tidak menyalahi aturan."

"Kupikir kau cukup pintar." Kalimat Ramshad terdengar meremehkan sehingga membuat alis wanita itu berkerut. "Mau tahu yang sesungguhnya? Ratu sedang memanfaatkanmu."

"Apa? Berani benar kau menghina Yang Mulia?" Taja bangkit dan menentang pendapat Ramshad.

Senyum miring pria itu seolah tak mengubah kata-katanya. "Kau dekat dengan Ratu, sedangkan aku sesekali melapor pada raja. Menurutmu, bagaimana cara supaya ratu tahu tentang istana selain mengikutiku melalui dirimu?"

"Apa maksudmu? Mengapa ratu membutuhkan informasi yang kau dapat untuk raja?"

"Itu tugasmu, Nona Panglima. Ucapanku bisa saja salah." Ramshad memberi isyarat supaya Taja mengikutinya. "Ayo, kubuktikan sesuatu padamu."

Sepasang mata lentik itu berkedip, seolah meragukan sikap Ramshad yang lain dari biasanya, namun teka-teki yang memenuhi pikiran Taja mulai terkuak kala ia diajak mengamati perubahan sikap sang raja.

"Kau lihat?" tanya Ramshad, bersama mengintai Dante yang sedang memeriksa kondisi kuda-kuda perang di istal. "Yang Mulia lebih suka menyibukkan diri."

Dahi Taja berkerut. "Lantas apa masalahnya?"

"Sudah kubilang, ini tugasmu. Amati hingga esok hari, maka kau akan paham mengapa aku bilang begitu. Bila perlu, terus amati hingga beberapa minggu hingga semuanya jelas, alasan ratu menitipkan kekuatan itu padamu. Dengan demikian, kau tidak akan menuduhku macam-macam."

Taja bergeming saat Ramshad membisikkan ucapannya, sementara kedua mata tak lengah mengamati raja. Walau mulai memahami ke mana arah pembicaraan rekannya tersebut, ia harus yakin lebih dulu. Penafsiran salah akan memperkeruh suasana.

Malam hari, sesuai perintah raja, Ramshad bergegas ke tempat di mana peti-peti itu berada. Seperti biasa, ia harus bergerak cepat dan tak terlihat. Sesuai dugaan, penguasa Eyn tersebut sudah berada di dalam ruangan dan tahu kehadirannya.

"Pastikan pintu masuk terkunci rapat. Ingat, semua dinding punya telinga."

"Baik, Yang Mulia."

Ramshad memastikan pintu sudah tertutup dan tidak ada orang lain selain mereka. Kemudian, ia kembali menghadap.

"Lihat, jangan sekalipun kau kedipkan matamu."

Ramshad berharap bahwa rajanya tidak gila, sebab sesuatu yang muncul dari dalam peti sungguh membuatnya terpana dan jantungnya nyaris berhenti berdetak. "I-ini tidak mungkin!" Tanpa terasa kakinya mundur, menyangka bahwa benda itu mungkin akan menyerangnya.

"Tugasku memastikan bahwa dia tidak akan 'berkhianat', sedangkan kau Ramshad ...."

Pertama kali dalam hidup, Ramshad merasa bahwa Dante cukup berbahaya dengan 'mainan' barunya. Matanya masih melotot tak percaya.

Dante meneruskan kata-katanya, "Pastikan Taja menjauh dari rencanaku."

Tenggorokan Ramshad tercekat seolah tercekik oleh tangan seseorang. Pemandangan mengerikan itu terus terbayang bahkan hingga esok tiba. Perintah raja adalah mutlak dan itu berlawanan dengan saran pengintaian yang ia katakan kepada wanita itu tadi pagi. Jika Taja benar-benar ikut campur dan melihat benda itu, atau bahkan melaporkannya pada ratu, maka nasibnya mungkin akan berakhir sia-sia. Raja mustahil menyingkirkan panglimanya, namun monster dari dalam peti itu bisa melakukannya tanpa belas kasihan, dan ia takkan membiarkan peristiwa itu terjadi.

"Maafkan aku, Taja," sesalnya dalam hati.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun