Bab 4 Babak Kedua
Akhirnya bola perak mungil itu berada dalam genggaman tangannya, kemudian ia serahkan pada Stravos sebagai bukti kehadirannya. Ramshad meraba-raba dengan matanya, apakah banyak rakyat Eyn yang terlibat di antara sekian ratus penonton tapi percuma. Ketika mereka semua bercampur baur, mustahil rasanya membedakan rakyat Eyn yang berwajah agak pucat dengan penduduk negeri tetangga. Hampir semuanya mengenakan jubah dan tudung kepala, sementara arena ini terletak di bawah tanah. Bisnis kotor yang lambat laun akan meracuni siapa saja, bahkan anak kecil sekalipun, sebab ternyata pertandingan ini tidak seperti yang mereka duga sebelumnya.
“Kau tidak perlu mencari rakyatmu. Bertarung saja dan jangan sampai kehilangan nyawa!” teriak Stravos, memberi semangat demi untung besar yang sudah di depan mata.
Giliran Ramshad pun tiba.
Lawannya berbadan lebih tinggi, lebih besar dan baru saja membuat petarung sebelumnya bertekuk lutut. Dialah petarung andalan tak terkalahkan selama beberapa hari berturut-turut. Kini, tatapannya nanar ke arah Ramshad Ali seolah daging cincang yang akan dijadikan santapan berikutnya.
“Ingat pesanku, Tuan Ramshad. Kalahkan dia, buat aku menang, dan besok malam kau boleh mengacak-acak tempat ini!” seru Stravos. Laki-laki licik ini tentu merencanakan sesuatu. Bila bandar rugi, maka terbuka luas baginya untuk membuka bisnis serupa yang tidak akan menarik perhatian Ramshad. Dia tahu persis, bisnis apapun bukanlah urusan manusia berbahaya itu asalkan tidak melibatkan rakyat Eyn.
Ramshad segera naik ke arena lagi. Lawannya yang ‘lapar’ sudah tidak sabar menelan mangsa berikutnya.
“Kuharap kau tidak menyesali keputusanmu, Pretty Boy,” hina sang lawan, melihat yang berdiri di depannya kali ini berwajah tampan dan bertubuh mulus, belum ada sedikitpun bekas luka.
“Maju saja, tak usah banyak bicara!”
Mendengar itu, lawan Ramshad naik darah dan memulai serangan. Dia menghantam ke titik vital karena tidak ada aturan khusus dalam laga itu kecuali menang atau kalah. Dari gerakannya yang serampangan, Ramshad tahu bahwa lawannya tidak memiliki taktik bertahan dan menyerang yang baik. Meskipun begitu, dia cukup cepat. Bila sedikit saja lengah, maka tangan besar dan kokoh itu pasti mampu meremukkan tulang dengan seketika.
Otot keras lawan seperti tembok. Hanya dengan pukulan biasa tentu membuang waktu serta menguras tenaga. Beberapa kali lawannya bergeming setelah menerima pukulannya, seolah tak merasakan apa-apa.
“Rasakan ini!” Kepalan besar menyasar kepala Ramshad, namun dibendung oleh kedua tangan mata-mata Eyn tersebut. “Enyahlah kau!” Tangan lainnya tepat menghantam perut dan kali ini berhasil menyebabkan Ramshad jatuh tersungkur. Kemudian dengan kejam menarik leher Ramshad agar pria itu kembali berdiri dan bebas ia pukuli. Beberapa pukulan memang tepat sasaran, tetapi bukan pada bagian mematikan.
Ramshad seperti sengaja membiarkan lawannya merasa di atas angin. Hal ini tentu membuat Stravos gelisah. Tak lama, denting lonceng penanda babak pertama berakhir pun berbunyi. Ia menyambut Ramshad dengan kekecewaan.
“Usahakan jangan membuatku bangkrut, Kawan. Pada babak kedua, kau harus menang!” Motivasi Stravos terdengar seperti jilatan berbahaya. Semua demi kepentingannya sendiri. Bayangan kehancuran tempat ini sekaligus kesuksesan bisnisnya sudah di ambang mata.
“Jawab dulu pertanyaanku.” Ramshad mengajukan syarat.
“Apapun itu, katakan saja,” ucap Stravos, kehilangan kesabaran.
“Di mana pintu keluar?”
“Untuk penonton?”
Ramshad mengangguk.
“Ada dinding besar yang akan terbuka saat akhir acara. Itu pun kalau kau masih hidup, sebab ada empat petarung lagi yang harus tuntas bermain malam ini.” Walau tak mengerti maksud Ramshad menanyakan itu, Stravos tetap menjawab jujur dan sesuai kenyataan baginya. Lagi pula, buat apa menanyakan itu? Apakah Ramshad berencana melarikan diri, atau ….
Ia terkesiap. Sadar bahwa tempat ini akan hancur malam ini juga.
Namun terlambat, denting lonceng babak kedua baru terdengar di telinganya dan Ramshad telah bangkit untuk menghadapi lawannya lagi. Mendadak Stravos panik, ia belum siap terjebak dan mati di tempat ini. Bingung antara memastikan kemenangan jagoannya dan menikmati uangnya, atau memanfaatkan waktu untuk menyelamatkan nyawa. Akhirnya ia memilih pilihan kedua sebab tidak akan ada uang yang akan mengalir ke kantongnya malam ini. Seharusnya ia bia menebak isi kepala mata-mata Eyn itu, bahwa dia tidak akan berkompromi dengan siapapun dan demi apapun. Semua dia lakukan untuk melaksanakan perintah raja. Tanpa sadar, Stravos menepuk dahinya sendiri. Ia baru saja hendak berbalik ketika seorang bertudung putih mengajaknya kembali menikmati pertandingan itu.
“Mau ke mana, Tuan Stravos? Meninggalkan jagoanmu yang sebentar lagi akan menghasilkan pundi-pundi emas untukmu?”
Suara wanita dan Stravos sangat mengenalnya. Tiba-tiba saja, lututnya merasa nyeri. Lutut itu masih mengingat cedera parah akibat tendangan wanita di sampingnya. Siapa lagi kalau bukan Taja? Panglima perang Kerajaan Eyn yang sangat disegani karena kecerdasan, kecantkan dan kekuatannya. Sampai sekarang, ia bahkan belum mendengar informasi apapun perihal kelemahan wanita itu.
“Ba-bagaimana kau bisa masuk?” tanyanya, begitu gugup dan takut.
“Aku meminta satu kekuatan khusus dari Ratu.”
“A-a-apa itu?” Dilihatnya Taja hanya fokus ke arena laga, memastikan Ramshad membalas perlakuan lawan pada babak sebelumnya dan wanita tersebut tampak puas dengan kemenangan di tangan rekannya.
“Ke manapun dia pergi, aku bisa mencium jejaknya meskipun jaraknya sangat jauh sekalipun. Itu artinya, dia akan kecewa jika tahu aku ikut campur urusannya. Sekarang, sambut dia dengan senyum paling manis dan ikuti rencananya. Kalau kau berhasil hidup, aku janji tidak akan mengganggumu dalam waktu beberapa minggu.” Taja mundur menjauh usai berpesan demikian.
Stravos menurut. Ia memasang tampang girang yang dipaksakan saat Ramshad kembali. “Ha ha, bagus! Kau yakin bisa mengatasi empat orang lagi?”
“Kau pikir, buat apa aku di sini?” Jawaban Ramshad membuat Stravos terdiam setengah menyesal. Berurusan dengan militer Eyn selalu membuatnya jantungan.
Kemenangan demi kemenangan diraih Ramshad dengan mudah. Pria itu seperti dikejar waktu mempercepat tujuannya, bahkan kini, gundu emas telah berada di tangan Stravos. Satu lawan lagi.
Lawan terakhir sengaja didatangkan dari suku liar di pedalaman. Laki-laki bertubuh ramping kecil dengan rajah unik yang menandakan bahwa dia adalah seorang petarung. Benar saja, ketika babak pertama dimulai, Ramshad sudah dibuat repot dengan kelincahan gerak orang itu. Gerakan pengalih perhatian disusul pukulan dan tendangan bertubi-tubi selalu tepat mengenai sasaran dan jelas menghambat tujuan akhir Ramshad. Seperti sebelumnya, ia membiarkan tubuhnya dihajar habis-habisan demi melihat kelemahan lawan. Lonceng pun berbunyi, ia kembali ke sudut arena.
“Dengar, ketika aku kembali ke sana, segeralah pergi dari sini. Nyawamu lebih berharga daripada uang,” pesan Ramshad, tanpa menghiraukan luka-lukanya.
“Ba-baiklah.” Suara Stravos terdengar bergetar.
“Kenapa kau gugup? Adakah yang membuatmu takut?”
Jelas! Mana mungkin tidak? Tetap di sini terancam mati, melarikan diri ada Taja yang siap mengadili. “Eh, tidak! Tidak ada siapapun, apalagi panglima perang yang menakutkan … ups!” Stravos membekap mulutnya sendiri. Ia sangat ingin buru-buru pergi.
Ramshad tertegun. Taja ada di sini?
Belum sempat mengambil sikap, bunyi lonceng seolah memanggil namanya sehingga ia kembali ke tengah arena. Kali ini, kekesalannya diluapkan pada lawan yang tidak tahu apa-apa. Semua orang tercengang ketika Ramshad dengan mudah menangkap serangan dan membuat laki-laki kecil itu tak berkutik. Mereka yang menang taruhan berteriak senang setelah Ramshad diumumkan sebagai pemenang laga malam itu. Sementara itu, Stravos memanfaatkan waktu dengan ‘menghilang’ dari tempat itu.
Benar kata Stravos. Tak lama berselang, mulai terbukalah dinding besar di belakang barisan penonton. Ketika baru terbuka dan hanya sedikit menyisakan cahaya lorong yang menghubungkan tempat itu dengan permukaan tanah, tiba-tiba dinding itu berhenti bergerak.
“Rakyat Eyn, kalian tinggal di sini untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kalian!” Teriakan itu membuat semua orang terkejut.
Masing-masing dari mereka saling melihat ke orang terdekat dan salah satunya menjawab lantang, “Aku menemukannya, sekarang biarkan aku pergi!” Sambil membuka tudung kepala penonton di sebelahnya yang ternyata benar, merupakan orang yang dicari.
Dalam waktu singkat, para penonton lain melakukan hal yang sama. Mereka membuka tudung untuk membuktikan bahwa mereka bukan rakyat Eyn dan bergegas keluar melalui celah dinding yang sempit. Sebaliknya, penonton yang tidak berani membuka tudung, sudah pasti tidak diizinkan keluar oleh penonton lain. Merekalah rakyat Eyn yang dicari Ramshad.
“Apa urusanmu mencegah kami pergi?” protes salah satunya.
Saat itulah, Taja naik ke atas arena, berdiri di samping Ramshad, dan membuka tudung kepalanya, membuat mereka semakin gemetar karena sangat mengenal sosok wanita itu. “Kami adalah utusan rajamu! Melanggar aturan tinggi kerajaan adalah sebuah kejahatan! Kalian terlibat dalam permainan ini lantas menyebarluaskan ke wilayah Eyn hingga semua orang tertarik, bahkan anak-anak! Wajah kalian sudah kuingat, kalian tidak akan lolos biarpun berhasil keluar dari tempat ini!” kecamnya.
Mendengar itu, puluhan warga Eyn yang merasa bersalah langsung bergegas menuju celah dinding untuk melarikan diri. Taja berusaha mencegah, namun tangan Ramshad menghentikannya.
“Musuh kita bukan mereka,” ucap Ramshad.
Benar saja. Pemilik bisnis judi gundu datang sambil membawa para pendukungnya. Mereka tidak terima bila ladang bisnis kotor tersebut menjadi bangkrut. “Kalian adalah penyebab kekacauan ini! Karena itu, bayar kerugianku dengan nyawa, sebab aku tidak keberatan jika harus menghabisi panglima perang Eyn malam ini.”
Keputusan yang salah, sebab yang terjadi kemudian justru sebaliknya. Meskipun hanya berdua, Ramshad dan Taja melumpuhkan mereka dengan mudah. Peran tentara bayaran malah menambah keruh keadaan dengan menembak secara membabi buta, mengakibatkan tiang besar penahan tanah ambruk. Tempat itu perlahan menuju kehancuran. Sebelum itu terjadi, Ramshad dan Taja telah lebih dulu menyelamatkan diri, dan berakhirlah arena laga ‘judi gundu’ malam itu.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H