Otot keras lawan seperti tembok. Hanya dengan pukulan biasa tentu membuang waktu serta menguras tenaga. Beberapa kali lawannya bergeming setelah menerima pukulannya, seolah tak merasakan apa-apa.
“Rasakan ini!” Kepalan besar menyasar kepala Ramshad, namun dibendung oleh kedua tangan mata-mata Eyn tersebut. “Enyahlah kau!” Tangan lainnya tepat menghantam perut dan kali ini berhasil menyebabkan Ramshad jatuh tersungkur. Kemudian dengan kejam menarik leher Ramshad agar pria itu kembali berdiri dan bebas ia pukuli. Beberapa pukulan memang tepat sasaran, tetapi bukan pada bagian mematikan.
Ramshad seperti sengaja membiarkan lawannya merasa di atas angin. Hal ini tentu membuat Stravos gelisah. Tak lama, denting lonceng penanda babak pertama berakhir pun berbunyi. Ia menyambut Ramshad dengan kekecewaan.
“Usahakan jangan membuatku bangkrut, Kawan. Pada babak kedua, kau harus menang!” Motivasi Stravos terdengar seperti jilatan berbahaya. Semua demi kepentingannya sendiri. Bayangan kehancuran tempat ini sekaligus kesuksesan bisnisnya sudah di ambang mata.
“Jawab dulu pertanyaanku.” Ramshad mengajukan syarat.
“Apapun itu, katakan saja,” ucap Stravos, kehilangan kesabaran.
“Di mana pintu keluar?”
“Untuk penonton?”
Ramshad mengangguk.
“Ada dinding besar yang akan terbuka saat akhir acara. Itu pun kalau kau masih hidup, sebab ada empat petarung lagi yang harus tuntas bermain malam ini.” Walau tak mengerti maksud Ramshad menanyakan itu, Stravos tetap menjawab jujur dan sesuai kenyataan baginya. Lagi pula, buat apa menanyakan itu? Apakah Ramshad berencana melarikan diri, atau ….
Ia terkesiap. Sadar bahwa tempat ini akan hancur malam ini juga.