Mohon tunggu...
Vera Syukriana
Vera Syukriana Mohon Tunggu... Guru - guru

meyakini dan mensyukuri adalah awal kesuksesan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

My Mom is Super Tough (Part 2)

10 Desember 2020   07:20 Diperbarui: 10 Desember 2020   14:02 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dopri/Wanita Hebatku

Oleh: Vera Syukriana, S.Pd

My Mom is Super Though (Part 2)

Kaca mata pesanan mama tinggal menunggu telepon dari Jailana Optikal. Aku memberikan nomor HPku untuk dapat dihubungi jika pesanan telah selesai.

Aku kembali membujuk Mama ke Solok tempat pengabdianku, tapi tetap tidak mau. Dengan alasan yang sama, tidak mau merepotkan anak.

Aku berangkat ke Solok. Malam itu, air mataku tak terbendung. Aku terhenyak dalam lamunanku.

Bayanganku menambah rasa takutku. Membayangkan dampak yang akan terjadi pada mata Mamaku.

Buta, ya buta. Inilah ketakutanku saat itu. Aku merasakan betapa gelapnya hari-hari Mama menjalani kehidupan.

Niat kuatnya untuk ke tanah suci menambah semangatnya untuk sembuh. Diundurnya beberangkatan Mama ke tanah suci menjadi penyesalannya saat sekarang ini.

Mama sering berandai-andai. Seandainya Mama bisa berangkat bersama Papa tahun 2018, maka Mama tidak akan merasakan takut buta.

Menuju Baitullah, adalah impian Mamaku dari dulu. Mama sering membayangkan keindahannya, suka menonton siaran TV di tanah suci. Mendengarkan cerita Papa tentang perjalanannya di tanah suci menambah kerinduan Mama.

Saat ini, Mama tetap berusaha dan tabah atas semua ini. Penyakit Gloukoma yang dialaminya tidak menyurutkan niat baiknya.

Doa, usaha, dan iktiar adalah kunci Mama untuk berus betobat. Dia selalu berhusnuzon kepada Allah SWT Sang Maha Penyayang dan menyembuhkan segala penyakit hamba-Nya.

Perjalananku menuju Kota pengabdian terasa sunyi. Posisi dudukku menambah kesedihanku saat itu.

Duduk di kursi belakang dengan cahaya remang-remang dari lampu jalan yang memancar. Aku sangat menyesali diriku yang sibuk bekerja di rantau.

Setiap hari aku menelepon Mama, yang paling seringku tanya adalah keadaan Papa. Karena setauku, Papa sering kambuh sakitnya. Panyakit jantung Papa membuat kami anak-anaknya lebih banyak perhatian pada Papa.

Ketegaran Mama membuatku melupakan bahwa dia juga butuh perhatianku, butuh aku untuk mengingatkannya akan kesehatannya. Sungguh tidak adilnya aku sebagi anaknya.

Padahal, Mama selalu adil kepada kami. Perhatian dan kasih sayangnya tidak pernah dibedakan antar anak-anaknya.

Baktinya sebagai istri sangat patut aku tauladani. Dia selalu tabah menghadapi Papa.

Papa yang hampir setiap hari mengeluh sakit. Sering terbaring dan kadangkala sering mengatakan kalau dia akan meninggal.

Diumur Papa yang sudah senja, 77 tahun, Mamaku super tabah menghadapinya. Harus pandai menghadapi tingkah Papa yang makin hari makin banyak lupanya dan pendengaran Papa pun sudah mulai kurang jelas.

Kadangkala, pembicaraan mereka sering tidak menyambung. Kalau Mam bersuara agak lembut, tidak terdengar sama Papa. Tapi kalau ditinggikan sefikit, Papa merasa dihardik. Sungguh, sungguh harus sabar menghadapinya.

45 tahun mereka mengharungi rumah tangga. Selama itu juga ketabahan Mama selalu diuji oleh Allah SWT.

Sehingga, saat Mama mengalami sakit sekarang dia tetap optimis. Tetap beraktivitas seperti biasa.

Mengajar mengaji, merawat Papa dan bertani bunga menjadi aktivitas hariannya. Kegiatan ini selalu dikerjakan dengan senang hati tanpa mengeluh.

Suatu ketika, seperti biasanya setiap pagi Mama menyiram tanaman bunganya. Tiba-tiba Papa mendengar ada bunyi orang yang berteriak kesakitan.

Papa berlari keluar dan mencari sumber suara. Nyatanya, Mamaku sudah terbaring di halaman di samping bunga-bunga kesayangannya.

Menurut cerita Papa, Mama langsung diangkat ke rumah. Mama menahan sakitnya. Tangan Mama terkilir dan mereka langsung membawa ke Tukang Urut terdekat.

Kata tukang urut, tangan Mama hanya retak sedikit pada bagian pergelangan tangan. Hal ini dirahasiakan dariku dan anak-anak mereka yang lain.

Hanya kakakku yang kedua mengetahuinya. Mereka meminta kakak untuk menyembunyikan masalah ini. Mereka tidak ingin memberatkan pikiran anaknya.

Setiap aku menelepon, Mama selalu mengatakan sehat. Aku merasa Mama sekarang lagi berjuang untuk kesembuhan matanya. Tak pernah aku lupa mengingatkan Mama untuk rutin minum obat dan makan makanan sehat.

Kejadian itu, tidak bocor sedikitpun ketelingaku. Padahal aku sering vidio call. Begitu hebatnya Mama menyimpan rasa sakitnya, dia tidak melihatkan wajah seperti orang menahan sakit. Dia berusaha menjaga wajahnya tetap seperti biasanya. Mama yang selalu ceria dan tersenyum.

Tibalah aku harus pulang karena ada istri Pamnku meninggal. Sesampai di rumah, aku mencium tangan dan pipinya Mamaku.

Ketika itu ada yang aneh, biasanya dia memeluk dan  merangkulku dengan tangan kanan dan kirinya. Tetapi kali itu tidak, tangan kirinya disembunyikan di balik hijab syar'inya.

Begitu aku mau melihat tangan kiri Mama, du pergi ke dapur mengambil gelas untuk membuatkan air teh menantunya. Sepertinya ada yang disembunyikan.

Aku berlari ke belakang dan menarik jilbab Mama pada bagian tangan kirinya. Ya Allah ya Rabb, tangan Mama terlipat ke dadanya, terbalut oleh kain, dan bengkak.

Aku kaget dan menanyakan penyebabnya. Di menceritakan panjang lebar. Dia terjatuh 3 hari sebelum kepulanganku.

Aku menyesali Mama, kenapa tidak jujur pada kami? Jawaban yang sama selalu keluar dari mulutnya.

Aku ajak Mama untuk cek dokter, tapi dia tidak mau. Dia merasa bisa sembuh dengan diurut Tukang Urut di kampung.

Mama mengakui, penyebab dia jatuh karena pandangannya mulai kabur. Dia tidak jelas melihat sehingga tergelincir.

Aku tidak bisa memahan tangisku. Air mataku mengalir begitu saja dan menyesali diriku yang sampai saat itu belum bisa merawat Mama.

Aku paksa Mama dan Papa ke Solok untuk tinggal bersamaku tapi tetap tidak mau. Mama kasihan kepada peserta didik ngajinya di MDA. Kalau pergi, nanti anak-anak kakakku yang di kampung siapa yang akan mendengarkan cucunya muraja'ah.

Mama sangat menginginkan cucunya jadi hafiz dan hafizah. Tak ada kata lelah baginya mendidik anak, cucu, dan peserta didiknya. Apalagi sekarang sudah 2 orang anak kakak diddidik Mama sampai wisuda hafizh juz 30.

Dia memgharapkan, semua cucunya seperti itu. Dia ingin melihat cucu-cucunya menjadi hafiz dan hafizah sebelum meninggal dunia.

Meskipun dalam keadaan sakit, beliau tetap memanggil cucunya untuk terus belajar. Mama merasakan nikmat Allah melalui Al Quran.

MasyaAllah, mamaku super tabah. Sudah 2 penyakit yang dialaminya sekarang.

Gloukoma pada mata kanan dan retak pada tangan kiri. Keadaan ini membuat dia selalu bersyukur bahkan tmbah bersyukur.

Katanya, "Alhamdulillah, Mama masih diberi mata kanan yang normal sehingga masih bisa membaca Al Quran dan tangan kanan yang sehat sehingga masih bisa mengambil wudhuk untuk beribadah."

Kata-kata Mama menyadarkan aku, bahwa kita harus tetap bersyukur dalam keadaan apapun. Selalu ingat akan kuasanya Allah SWT. Tidak ada kata mengeluh dan selalu optimis.

Mamaku memang hebat. Wanita hebat dari semua wanita yangku kenal. Wanita yang selalu tersenyum meski hatinya tersakiti. Tidak pernah lelah dan selalu memaafkan.

I love u, Mom. My Mom is super though.

Solok, 10 Desember 2020


 Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun