Perempuan senja tidur dipembaringan, matanya terpejam dengan nafas tersengal dimakan usia.
Aku menatapnya diam, memendam lelehan air mata bersama doa untuk kesembuhan dan usia yang barokah. Tak berani mendekatinya, hanua diam dari kursi di sebrang tempat tidurnya.
"Apa yang kau lihat, pasti kau sedang mendoakanku cepat mati kan!," umpatnya keras dan tiba-tiba.
Ternyata dia sudah membuka mata dan melihatku. Ibu, sosok itu telah pikun namun selalu saja umpatan kebencian yang akan terlontar bila melihatku.
Aku hanya diam, tak ingin menjawab yang akan menjadi rentetan sumpah serapah keluar dari mulutnya.
"Pergi sana, keluar! Kamu selalu membenciku!," suaranya ketus dengan mata nyalang melihatku.
Aku beranjak dari kursi dan melangkah keluar pintu.
"Maafkan aku bu..." ucapku lirih sambil meninggalkan kamarnya.
Air mata selalu deras membasahi pipiku, tiap teringat sosok perempuan yang telah melahirkanku. Entah mengapa sejak kecil dia selalu menganggapku salah dan membencinya.
Terlempar kenanganku sejak kecil memang tinggal dengan tanteku yang tidak dikaruniai anak, namun rumahnya tak jauh dari rumah ibu dan bapakku. Tiap hari aku tidur dirumah tanteku yang aku panggil mamih, tapi tiap hari pula siang hari aku sering bermain dirumah sendiri bersama kakak dan adikku.
Ibu menyayangiku, aku tahu itu. Walau hampir tiap hari sejak kecil selalu mengumpatku dan memarahiku berbeda pada kakak dan adikku.
"Kamu itu gak seperti Dina anaknya Bu Rini, pinter dan rajin membantu orang tua," begitu andalan ibuku selalu membandingkanku dengan anak orang lain.
Hingga lulus SMA aku akhirnya pergi bekerja ke Jakarta, ingin merasakan kebebasan dari umpatan dan nyinyiran ibuku. Kadang rindu tapi rasa sakit berbekas hingga kini, ibu masih tak berubah. Aku tahu ibu sayang padaku tapi dia tak pernah bisa menunjukkan caranya yang halus.
Aku ingin memeluknya, ingin berkeluh kesah dengannya namun tak bisa. Seakan ada jurang yang memisahkan tali kasih kami hingga kini.
Entah mengapa ibu selalu menilai aku membencinya, padahal secara materi aku sering memberinya hadiah dan kebutuhan terpenuhi. Aku menyayangi ibu walau memang ada ganjalan sakit hati yang belum mampu disembuhkan.
Aku salah, aku memang tak berguna, aku banyak mengecewakan ibu dan aku tak tahu bagaimana mengobatinya.
Suatu hari aku ke kamar ibu, aku peluk dia dan ternyata tangannya menahan pelukanku dan menyingkirkannya. Sakit, aku sakit merasakan kenyataan ini. Tak bisa bercengkerama dengan sosok yang telah melahirkanku rasanya hidupku tak sempurna, aku tak tahu bagaimana harus bersikap.
Hanya doa-doa kebaikan dan tobatku pada Sang Kuasa agar ibu dan aku dibukakan hati untuk bersatu.
Ibu, ajari aku untuk menjadi anakmuÂ
Salam sehatÂ
Vera Shinta KBC-26Â
Kombes Brebes Jateng
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H