Menjelang sampai parkiran, saya melihat petugas sudah kewalahan. Bingung mau ke mana lagi meletakkan kendaraan-kendaraan yang bahkan masih bercecer di jalanan aspal. Semakin siang, semakin banyak wisatawan berdatangan. Sementara pengunjung yang sudah lebih dulu masuk Pasar Papringan pun, belum menunjukkan tanda-tanda ingin keluar.
Saya akhirnya dapat tempat parkir di halaman rumah warga. Ternyata banyak juga pengunjung bermobil yang kurang sabar menunggu kemacetan sehingga memilih memarkir kendaraan di pinggir jalan dan jalan kaki memasuki tempat wisata.
Sebetulnya ada tukang ojek, namun agaknya kesulitan juga menerobos kerumunan kendaraan di jalan kampung yang kalau dilewati dua mobil, salah satu harus minggir mengalah terlebih dahulu.
Jam setengah 9 saya sudah mulai memasuki pasar. Dan luar biasa. Antrian pengunjung di tempat menukar uang pring amaaaaat panjang. Hingga ketika selesai membeli satu set uang pring dengan harga 20.000 isi 10 itu, saya pun bersiap membeli makanan favorit yang sudah saya rencanakan dari rumah.
Rupanya di sini pun padat. Belum lagi yang masih mengantri macet di jalan dan tidak bisa masuk. Deretan penjual makanan saya jelajahi satu persatu. Mereka tak terlihat karena tertutup pengunjung. Dan ketika menyeruak kerumunan, ternyata dagangan warga sudah habis-habisan.
Jajanan pasar, sudah habis. Ibu-ibu penjualnya bahkan sedang menghitung pendapatan dari uang pring. Bersiap disetor ke penukaran uang lagi karena katanya cadangan uang pring di tempat penukaran uang sudah habis.
Makanan berat pun sudah habis. Dawet dan minuman lain bahkan sudah tak ada cadangan lagi. Uang pring saya masih utuh. Sedikit kecewa karena belum dapat apa-apa.
"Bu, kupat tahunya saya satu dong, Bu. Nggak pakai tahu sama sayurannya nggak pa-pa." Salah seorang pengunjung sampai memaksakan diri membeli makanan yang ia inginkan. Kalau kupat tahu tanpa tahu, itu artinya hanya kupat dan bumbu kacang. Duh.
Saya lalu mengunjungi penjual jagung bakar yang dengar-dengar masih banyak stok. Ya memang betul, tapi antrian pembeli pun jangan ditanya sebanyak apa. Sampai akhirnya, pring saya hanya berkurang satu untuk membeli kue lemet singkong. Satu-satunya jajanan pasar masih ada stoknya.
Setelah itu saya beralih ke  bagian penjual kopi dan wedang pring karena penasaran dengan wedang pring ini. Entah masih atau habis, yang pasti, antrian sudah tak bisa diterobos lagi. Kalau mau memburu momen instagrammable pun agaknya kurang memuaskan. Potret sana sini hanya kerumunan orang.
"Sudah nggak ada cadangan ya, Bu?" tanya saya ke penjual gorengan dekat penjual wedang pring karena tampak lengang tak banyak antrian.