" HIV seorang pasien Inggris menjadi "tidak terdeteksi" setelah dilakukannya pencangkokan sel punca - ini adalah kasus kedua sejenis, lapor para dokter di jurnal Nature. " (bbc.com/Indonesia, 2019 )
Apakah berita ini membuktikan bahwa HIV dan penyakit kronis lainnya sudah ada obatnya ? Atau keberhasilan pencangkokan sel punca ini hanyalah keberuntungan dari sekian banyaknya percobaan ? Apakah tindakan ini selaras dengan bioetika kedokteran ?
Kita mungkin pernah menemukan berita mengenai penyembuhan bermacam penyakit oleh sel punca, atau justru tidak sama sekali. Penelitian mengenai penyembuhan sel punca ini telah banyak berkembang. Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara selain Hongkong yang memiliki alat NOGA atau alat yang digunakan untuk injeksi sel punca di jantung. Artikel ini akan menjawab beberapa pertanyaan sebelumnya tentang sel punca yang diindikasikan untuk berbagai penyembuhan.
Manusia sebenarnya adalah hasil dari sel punca. Diawali dengan pertemuan sel sperma dan sel telur yang kemudian berkembang menjadi organ-organ yang menyusun tubuh manusia. Organ-organ tersebut telah mengalami diferensiasi untuk menjalankan masing-masing fungsi. Tidak semua sel penyusun organ mampu mengubah fungsi awal mereka, contohnya sel hati yang tidak bisa berganti fungsi. Berbeda dengan sel punca yang mampu mengambil alih fungsi suatu organ yang rusak pada tubuh manusia.
Lalu, bagaimana kerja sel punca pada tubuh manusia? Secara singkat kita bisa menyebut sistem kerja sel punca dengan 5R:
- Repair (memperbaiki sel yang rusak)
- Replace (mengganti sel yang rusak)
- Regeneration (meregenerasi sel yang sudah tua)
- Rehabilitation (merehabilitasi sel menjadi sel baru)
- Rejuvenation (merejuvenasi sel yang tua)
Kita bisa mendapatkan sel punca dari 3 sumber, yaitu:
- Sel punca embrionik yang berasal dari inner cell mass blastosis (sebelum embrio)
- Sel punca dari darah tali pusat (plasenta)
- Sel punca dewasa: sel mononuclear sumsum tulang, sel progenitor endothelial, sel punca hematopoitik, dan jenis yang lainnya.
Bioetika mengacu pada kajian sistematis, plural interdisiplin, dan penyelesaian masalah etika yang timbul dari ilmu-ilmu kedokteran, hayati, dan sosial, sebagaimana yang diterapkan pada manusia dan hubungannya dengan biosfera, termasuk masalah yang terkait dengan ketersediaan dan keterjangkauan perkembangan keilmuan dan keteknologian dan penerapannya. (UNESCO, 2005 dalam Muchtadi, 2007). Prinsip dalam bioetika meliputi empat hal, menghormati otonomi, tidak merugikan, berbuat baik, dan keadilan.
Penelitian tentang sel punca mengalami kontroversi karena sumber sel induk embrionik dianggap kurang etis. Awalnya, sel-sel embrionik ini diteliti pada tahun 1998 oleh Thomas dari sumbangan pasangan yang tidak berniat untuk menggunakannya. Dari situlah muncul pro dan kontra tentang sel punca.
Mereka yang menentang penggunaan sel punca dalam hal penelitian beranggapan semua sel embrio yang belum diimplantasi memiliki kedudukan yang sama dengan semua orang, walaupun sel embrio tersebut masih terletak di rahim. Sehingga, pengambilan sel embrio dianggap menyerupai pembunuhan dan tidak bisa diterima dalam proses penelitiannya.
ISSCR (International Society for Stem Cells Research) telah memberikan standar internasional tentang pengkajian sel punca (stem cells) dalam praktik kedokteran. "Semua aspek penggunaan stem cells atau sel punca mulai dari manfaat dan segala resiko harus diberitahukan kepada setiap pasien. Apabila pasien menyetujui hal tersebut barulah dapat diizinkan secara etis."
Beberapa anggapan dari pihak pro menyarankan penggunaan sel embrionik yang berasal dari sisa bayi tabung yang masih disimpan. Karena yang digunakan dalam proses bayi tabung hanya sekitar 3 atau 4 sel yang ditanam di kandungan, padahal ratusan embrio yang dihasilkan dari proses ini. Maka, jika digunakan untuk stem cells akan dianggap lebih baik daripada dibuang sia-sia.
Sel embrionik memiliki keuntungan dan kelemahan. Keuntungannya antara lain, memiliki umur yang lebih panjang daripada sel punca dewasa, bersifat pluriproterin yang dapat berdiferensiasi menjadi sel apapun di tubuh, dapat berpoliferasi (berkembang) menjadi beratus-ratus kali lipat sehingga jumlahnya banyak, serta memiliki reaksi penolakan yang rendah dibanding sel punca dewasa maupun sel punca plasenta.
Namun sel punca embrionik bersifat tumorigenic, yang apabila terkontaminasi oleh sel yang tak berdiferensiasi dapat menimbulkan kanker. Masih memiliki sifat allogenic (penolakan) walaupun terhitung lebih rendah daripada sel punca dewasa dan plasenta. Serta masih menimbulkan pro kontra dalam pengkajiannya.
Di Indonesia, riset terkait sel punca embrionik ternyata telah dilarang berdasarkan Dalam Undang-Undang Kesehatan menyebutkan bahwa Penggunaan sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan reproduksi. (Pasal 70 ayat 1). Selanjutnya, sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel punca embrionik.
Melihat dinamika pro dan kontra dalam penggunaan embryonic stem cells ini menjadikan saya ingin berpendapat tentang pengkajian sel punca embrionik. Indonesia memang telah melarang sebagaimana yang ada dalam Undang-undang kesehatan tentang penggunaan sel punca embrionik. Para pihak kontra menganggap ini adalah tindakan pembunuhan. Tetapi menurut saya, Apakah sel embrionik dari semua sisa hasil bayi tabung masih berpotensi memberikan kehidupan ?
Menurut saya itu kurang tepat untuk mengangap semua sel embrionik sisa proses bayi tabung mempunyai potensi kehidupan. Banyak sel embrionik dalam klinik proses bayi tabung memiliki kualitas kesuburan yang rendah sehingga tidak mampu menghasilkan kehamilan meskipun masih mungkin menghasilkan sel induk. Lalu mau dikemanakan sel embrionik sisa bayi tabung? Disimpan terus menerus? Atau dipergunakan sebagai usaha penyembuhan penyakit kronis?
Berdasarkan regulasi yang dikeluarkan oleh ISSCR mengenai etika penelitian sel punca, menjelaskan bahwa yang terutama adalah kesepakatan oleh pihak pendonor. Dalam kasus ini, pasangan yang melakukan proses bayi tabung harus menyepakati sisa bayi tabung untuk digunakan sebagai stem cells. Selagi tetap dalam prinsip etika kedokteran untuk menghormati otonomi, tidak merugikan, berbuat baik, dan keadilan.
Permasalahan yang ada saat ini adalah apakah hal tersebut dapat diterima dan dilegalkan oleh pemerintah? Aspirasi demi aspirasi untuk mendukung penggunaan embryonic stem cells terus berkembang demi menemukan titik temu.
Namun, apabila memang tidak dapat dikaji ulang terkait regulasi stem cells ini, adapun beberapa cara modern penggunaan stem cells yang mungkin diangap lebih etis.
- Teknik ANT (Altered Nuclear Transfer)
- Teknik ANT merupakan pengembangan teknik SCNT (Somatic Cell Nuclear Transfer). Sel lestari (cell line) ESC yang dihasilkan melalui teknik SCNT diperoleh dari kultur sel embrio saat tahap blastosis. Lalu bagian ICM (Inner Cell Mass) diisolasi dan dikultur dengan medium tertentu. Alat nya bisa berupa alat mekanik micromanipulator ataupun dengan bantuan enzim berupa antigen dan antibodi.
- Hasil sel tersebut ditambahkan Mouse Embryonic Fibroblast (MEF) untuk mencegah proses differensiasi. Hasil kultur ini dapat diinduksi untuk berdiferensiasi menjadi tipe-tipe sel tertentu. Sel-sel hasil diferensiasi tersebut dapat digunakan untuk tujuan terapi berbasis sel pada ber-bagai jenis penyakit degenerative seperti menjadi sel-sel neuron, ginjal, otot jantung, dan pankreas.
- Modifikasi teknik SCNT ini melakukan pemanfaatan retrovirus untuk menyisipkan RNAi (RNA interference) pada sel donor inti sebelum ditransfer ke sel oosit resipien. Sehingga diharapkan embrio tidak dapat berimplantasi ke jaringan endomentrium dan tidak menimbulkan penolakan terhadap tubuh pasien.
- Teknik iPS (Induced Pluripotent Stem Cell)
- Teknik iPS merupakan jenis sel punca yang memiliki prospek yang memiliki tingkat efisiensi dan keamanan paling tinggi di antara jenis sel punca lainnya. Teknik ini menggunakan 4 gen Oct3/4, Sox2, c-Myc dan Klf4 ke dalam fibroblas, sehingga firoblas tersebut dapat diprogram ulang menjadi suatu sel yang menyerupai sel punca embrionik (embryonic-like stem cell). Teknik ini memiliki keunggulan utama yakni sifatnya yang pluripotent (dapat berdiferensiasi menjadi berbagai jaringan dan organ), tingkat proliferasi yang tinggi, dan sesuai dengan kode etik dikarenakan diperoleh dari jaringan dewasa serta tidak adanya proses penghacuran embrio
Kasus lain menyatakan beberapa efek samping dari sel punca yang sering ditemukan adalah GVHD (Graft Versus Host Disease). Dimana penolakan ini terjadi karena sel punca dianggap benda asing oleh sel darah putih sehingga diserang. Ini terjadi karena ketidakcocokan antigen yang mungkin dibawa oleh pendonor.
Sehingga, kita bisa mengetahui bahwa sel punca merupakan sel yang belum mengalami diferensiasi sehingga dapat melakukan fungsi yang lain. Pemanfaatan sel punca terkait penyembuhan bermacam penyakit kronis menuai kontroversi akibat sumber sel punca embrionik dianggap melanggar kode etik kedokteraan. Namun setelah ditelaah lebih dalam lagi, sel punca yang digunakan adalah sisa hasil bayi tabung yang sudah disepakati oleh pihak bersangkutan. Hal ini menurut saya telah memenuhi kaidah bioetika dan selaras dengan regulasi ISSCR.
Namun, Indonesia memiliki regulasi tentang pelarangan sumber sel punca embrionik. Penelitian modern menawarkan teknik ANT dan iPS yang dibuktikan tidak melanggar kode etik. Sehingga dapat dimanfaatkan untuk penyembuhan bermacam penyakit kronis. Tetapi permasalahannya, sudah siapkah negara kita menerima teknik baru ini? Masihkan ada harapan pengkajian ulang terhadap regulasi ? Ataukah tidak ada titik temu dalam kontroversi ini ?
DAFTAR PUSTAKA :
- Thomson, J.A. et al. Embryonic stem cell lines derived from human blastocysts. Science 282, 1145–1147 (1998).
- BBC Indonesia, 2019. “ Pasien Inggris 'bebas' HIV setelah pengobatan sel punca”. Diunduh : https://www.bbc.com/indonesia/majalah-47457400 (23 Agustus 2019, 23.44)
- ISSCR, 2019. “The ISSCR Releases Informed Consent Standard for Stem Cell-based Interventions”. Diunduh: http://www.isscr.org/professional-resources/news-publicationsss/isscr-news-articles/article-detail/2019/08/12/the-isscr-releases-informed-consent-standard-for-stem-cell-based-interventions. Google Scholar. (24 Agustus 2019, 09:27)
- Hyun, Insoo. 2010. ”The bioethics of stem cell research and therapy”. JCI (The Journal of Clinical and Investigation). Diunduh: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2798696/ (24 Agustus 2019, 09:55)
- Rezkisari, Indira. 2015. “Lima Prinsip Kerja Sel Punca”. Diunduh: https://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/info-sehat/15/09/28/nvdj4c328-lima-prinsip-kerja-sel-punca (24 Agustus 2019, 10:19)
- Williams, John. 2004. “Medical Ethics Manual”. Diunduh : https://www.wma.net/wp-content/uploads/2016/11/ethics_manual_indonesian.pdf (24 Agustus 2019, 11:02)
- Thomson, J.A. et al. Embryonic stem cell lines derived from human blastocysts. Science 282, 1145--1147 (1998).
- BBC, WMA, Unair, NCBI, ISSCR, LIPI, Republika, ISSCR 2, Studylibid, Researchgate
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H