Usahakan proses kerokan harus tuntas. Jangan diinterupsi oleh kegiatan lain. Â Pokoknya tidak setengah-setelah. Ibarat menyisahkan 'angin' Â di tubuh pasien. Kerokan akan sia-sia, buang waktu dan energi saja.
Sementara coba jauhkan dari anak-anak. Anak-anak jangan sampai dekat atau bahkan menyentuh punggung pasien. Karena dikawatirkan anak-anak terpapar hawa negatifnya.
Antara pengerok dan pasien harus menjalin komunikasi selama kerokan. Ini untuk membangun kedekatan dan mengalihkan perhatian. Biasanya kalau sambil ngobrol tidak terasa, tahu-tahu sudah sampai pinggang merah.
Bagaimana kerokan yang bemar? Tidak ada standar baku teknik dalam hal kerokan. Secara turun-temurun 'motif' kerokan adalah garis-garis kanan dan kiri yang seimbang.
Banyak orang mengerok bagian tengah secara vertikal, selarik dengan tulang punggung. Kalau secara pribadi, saya coba hindari itu. Alasannya tulang punggung termasuk vital dan rawan.
Apakah leher juga perlu dikerok? Sebaiknya jangan. Walaupun dirasa otot leher terasa kaku. Otot leher posisinya dekat dengan otak. Dikawatirkan mengganggu pembuluh darah.
Sebagai catatan, jika satu-dua kerokan awal sama sekali tidak merah segera hentikan. Maka kemungkinan besar pasien tidak masuk angin.
Bisa jadi pasien mengalami gangguan kesehatan akibat virus atau bakteri. Pada kasus ini lebih baik pasien mendapat penanganan medis profesional.
Setelah kerokan
Setelah selesai coba lakukan pijatan ringan di pundak dan kepala. Lima menit sudah cukup. Tujuannya membuat otot-otot memjadi lebih rileks.
Kemudian pasien harus segera mengenakan pakaian. Hindari pakaian tebal seperti sweater atau jaket.