"Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan, kini telah merdeka, saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri!" kata Anies Baswedan.
Anies juga mengutip sebuah pepatah Madura 'etk s atellor ajm s ngremm', "Jangan sampai Jakarta seperti itik yang bertelor, ayam yang mengerami," Intinya adalah mengingatkan agar warga Jakarta bisa menjadi tuan rumah di kotanya.
Itu adalah pidato pertama dari Gubernur DKI yang baru, Anies Baswedan. Dimana-mana yang namanya first speech selalunya memang dinanti. Dari pidato pertama akan menunjukan sikap dan arah kebijakan seorang pemimpin tersebut.
Semua tahu bagaimana situasi masyarakat Jakarta pada Pilkada DKI. Banyak pengamat yang mengatakan sebagai pilkada terburuk sepanjang sejarah karena diwarnai isu-isu SARA yang begitu kental. Akhirnya membuat masyarakat terkotak-kotak.
Sehari menjelang pelantikan berhembus angin sejuk. Anies mengungkapkan keinginannya untuk kembali menyatukan warga DKI yang terkotak-kotak akibat pilkada (kompas.com). Sesuatu yang patut diapresiasi oleh semua pihak. Namun ternyata hari ini masyarakat dikejutkan oleh isi pidato Anies.
Pidato Anies menimbulkan pertanyaan-pertanyaan,
(who #1) Siapa 'pribumi' yang dimaksud? Penghuni atau suku asli di Indonesia. Jadi Arab, Cina, dan India tidak termasuk. Atau mereka yang lahir dan berbudaya Indonesia juga dianggap sebagai pribumi?
Masih di who #1, pribumi bisa juga diartikan warga asli Jakarta yaitu Betawi. Kelompok yang seiring jaman terpinggirkan dengan kedatangan suku-suku lain.
(who #2) Siapa yang menindas dan mengalahkan pribumi di Jakarta? Konteksnya dalam hal ini adalah lawan kata pribumi yaitu non pribumi. Siapa mereka, apakah Arab, Cina, atau India? Kita tahu ketiganya memiliki populasi yang cukup besar di Jakarta.
Atau bisa juga yang menindas itu suku-suku di luar Betawi. Kenyataan memang tanah dan jabatan-jabatan lebih banyak dikuasai mereka yang bukan Betawi. Bisa Jawa, Sunda, Batak, Padang dan lain-lain.
(when) Dengan menggunakan kata 'kini' yang menunjukan keterangan waktu. Anies sudah membuat batasan yang jelas antara periode Anies -- Uno dengan masa gubernur DKI sebelumnya. Yaitu masa jabatan Jokowi-Ahok, Ahok-Djarot, serta gubernur-gubernur sebelumnya. Mereka sudah membuat warga DKI tidak menjadi tuan atas tanah mereka sendiri.
Politik Identitas Pribumi -- Non Pribumi
Politik identitas bukan mainan baru. Di negara yang sudah maju sekali pun politik identitas kadang dimainkan. Di Indonesia politik identitas bukan barang baru. Politik identitas bahkan merupakan kunci kemenangan di banyak pemilihan.
Contoh aktual dari penerapan politik identitas adalah Pilkada DKI. Masyarakat digiring untuk tidak lagi melihat program dan kinerja calon pemimpin. Tentu saja dengan isu-isu SARA.
Sebetulnya agak mencengangkan Anies yang notabene mantan Mendikbud itu memainkan kembali politik identitas. Padahal Anies sudah menjadi pemenang. Semua berharap Anies akan merangkul semua warga DKI tanpa melihat agama dan etnis.
Pidato Anies bukan pidato tanpa persiapan. Apakah ada agenda tersembunyi dibalik pidatonya tersebut?
Ingat tahun 2018 akan dilaksanakan pikada serentak. Kesuksesan politik identitas yang sudah teruji berhasil pada Pilkada DKI kemungkinan besar akan diangkat kembali. Isu-isu SARA akan menjadi amunisi paling efektif.
Sasaran berikutnya bisa jadi Pilpres 2019. Apakah Anies akan ikut dalam pilpres? Kemenangan di Jakarta mungkin akan jadi acuan. Apalagi jika Anies sukses dengan program-programnya.Â
Di satu sisi, survey-survey menunjukan ada Ahok, yang beretnis Cina, berada di jajaran teratas untuk mendampingi Jokowi. Ahok dianggap memiliki prestasi, bersih, serta basis massa yang banyak secara nasional.
Jika isu pribumi dan non pribumi terus dipupuk maka Anies bisa menjadi ikon. Ikon 'Sang Pembebas', seorang hero yang mengembalikan status pribumi sebagai pemilik sah negeri ini. Terutama bidang ekonomi yang selama ini dianggap dikuasai oleh non pribumi.Â
Sesungguhnya masyarakat mungkin bingung, bagaimana bisa Anies mengangkat isu ini. Karena beberapa waktu lalu beredar foto mesra Anies bersama pengusaha-pengusaha Tionghoa. Anies seolah ingin merangkul semua untuk pembangunan Jakarta
Mengangkat politik identitas sama saja membuat sebuah kemunduran. Bangsa Indonesia yang multi etnis dan berbagai agama itu harus lebih mengedepankan rasa nasionalisme. Tidak lagi bicara soal mayoritas dan minoritas. Terus terang politik identitas ini berbahaya bagi generasi muda kita.
Karena sudah jelas hanya nasionalisme saja yang mempersatukan kita semua. Bangsa ini tidak akan terkoyak oleh ancaman dari luar maupun dari dalam jika persatuan kita kuat. Persatuan adalah modal utama kita untuk bisa mengejar ketertinggalan dari bangsa lain.Â
Sesungguhnya amat bahaya jika isu-isu seputar SARA dimanfaatkan pihak-pihak tertentu. Sejarah sudah membuktikan bahwa bangsa kita sangat rentan jika terjadi gesekan-gesekan.
Lagi pula jika melihat sejarah lagi , tidak ada satu golongan pun yang tidak melakukan perlawanan terhadap penjajah. Semua juga memberikan kontribusi pada pembangunan Indonesia. Semua etnis dan agama sama-sama mengharumkan nama Indonesia dalam berbagai bidang.
Dari kacamata yang lain, politik identitas yang akan menjadi kebijakan Anies sebagai gubenur, dapat menjadi tantangan kedewasaan warga DKI yang multi etnis itu dalam membangun kotanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H