Ada kata-kata bijak yang mengatakan "hidup ibarat roda". Kadang di atas, ada waktunya nanti di bawah. Bagaimana kalau roda itu terperosok dalam kubangan lumpur? Stuck tidak bisa bergerak. Bahasa Jawanya kepater.
Banyak waktu dilalui dengan tawa kebahagiaan. Masa-masa kegemilangan dan semua bisa diraih. Lalu perlahan tanpa disadari terjerembab tak berdaya. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Tapi situasi belum berubah. Ibarat hidup sudah terperangkap dalam kesengsaraan.
That's life! Siapa yang belum pernah mengalami keterpurukan? Silakan tunjuk jari. Bapak Tjiptadinata, sang guru kehidupan itu saja pernah. Bukan sekali tetapi berkali-kali!
Ada yang hilang segala harta benda karena penyakit menahun yang diderita anggota keluarga. Terpaksa harus cuci darah atau berobat sampai luar negeri. Menguras dana, pikiran dan juga waktu. Rumah hilang, lalu tinggal di kontrakan kecil. Pokoknya habis-habisan.
Di kehidupan lain si Polan hancur rumah tangganya karena ditinggal istri selingkuh. Atau seorang istri yang harus menerima nasib ketika suami lumpuh karena kecelakaan di tempat kerja. Kehidupan tiba-tiba berbalik 180 derajad.
Ketika doa-doa tidak terjawab, seolah Tuhan menutup pintu. Hidup serasa sudah dibibir jurang. Ingin rasanya sekalian terjun ke jurang itu. Bunuh diri. Apalagi ketika merasa sendiri. Ditambah lagi tak ada teman menghampiri.
"Tuhan tidak akan memberi cobaan diluar kemampuan". Atau dikatakan lagi "Itu adalah salib yang harus kita pikul." Padahal biasanya keterpurukan akan disusul oleh krisis iman. "Kapan pertolongan Tuhan akan datang?" Tidak jelas sama sekali kapan.
"Semua indah pada waktunya." Begitulah kata-kata bijak menasehati. Sampai dibuatkan lagu agar orang tidak berhenti berharap. Padahal semua tahu, jika terbebas dari keterpurukan dunia pasti serba indah.
Begitulah hidup. Sudah dijalani dengan lurus dan bersih, eh datang kemalangan. Sudah rajin sembahyang dan berdoa badai besar menghantam. Sampai berpikir alangkah nikmat jadi koruptor. Walau hidup dalam penjara, keluarga tercukupi. Keluar penjara masih bisa usaha ini-itu. Jadi anggota dewan pun bisa. Dan bisa korupsi lagi.
Susah memang, sampai-sampai untuk menangis pun susah. Sumber air mata sudah kering kerontang. Tangis pun tak menyelesaikan persoalan. Mau teriak biar plong, apa kata orang nanti.
Saat terpuruk, acap-kali yang sering menghampiri adalah godaan-godaan. Keputusasaan dan kejahatan biasa berjodoh. Jadi kurir sabu duit pasti cair, khan?
Mukjizat
Cuma mukjizat saja yang mampu mendongkrak roda yang macet itu. Sesuatu yang datangnya dari Sang Maha. Kapan datangnya? Itu rahasiaNya. Para bijak mengatakan bahwa mukjizat datang kalau kita terus berusaha. Sampai nafas berhenti?
Sabar, orang sabar disayang Tuhan. Gusti Mboten Sar. Kenapa harus pakai lama Tuhan? Tuhan memang penuh misteri. Tidak tidur memang, tetapi sepertinya sibuk. Kadang juga Dia seperti sedang bercanda. Walau becandanya nggak lucu sama sekali.
Di saat kita meratap sedih. Mungkin Dia sedang tersenyum. Lalu berkata," Ada jutaan manusia lain yang sama terpuruknya dengan dirimu 'nak. Bahkan jauh lebih menderita."
"Coba tengok saudaramu di Rakhine, Yaman, atau Afrika Tengah. Lihat lebih dekat penderitaan perempuan-perempuan Yazidi. Mereka yang hidup dalam bayang-bayangan ketakutan. Juga mereka-mereka yang  tidur di kolong jembatan tanpa selimut."
"Bukankah kamu masih bisa makan tiga kali sehari walau lauknya tempe sepotong tanpa sayur. Tetap masih bisa berganti pakaian dan tidur di kasur. Bisa main game, whatsapp-an sembari nonton Youtube?"
"Jalani dan nikmatilah dulu keterpurukanmu. Sekejab ingatlah masa senangmu tahun lalu. Kalau Aku tidak sempat mengirimkan mukjizat, pasti ada orang lain yang menolongmu 'nak. Pokoknya jangan lupa berdoa dan berusaha."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H