Menjelang Imlek suasana pasar yang terletak di Jalan Thamrin Medan ini lebih ramai dari biasanya. Saya pun harus rela saling berdesak-desakan di lorong-lorong yang lebarnya tidak lebih dari 2 meter itu. Betul-betul sesuai dengan namanya, “Pasar Ramai”! Salah satu pasar tertua dan terkenal di Kota Medan. Walau Pasar Ramai termasuk pasar tradisional, tetapi pengunjungnya modis-modis. Lengkap dengan tas tangan merek terkenal.
Pasar 2 lantai ini bersebelahan dengan sebuah mal. Uniknya kehadiran mal sama sekali tidak membuat Pasar Ramai sepi. Kedua pusat perbelanjaan ini hanya dipisahkan oleh tembok dengan pintu kecil yang hanya bisa dilalui 2-3 orang saja. Tetap, orang sampai rela anti dan berdesak-desakan untuk bisa menyeberang dari area mal ke Pasar Ramai. Seperti sedang antri sembako saja.
Lantai 2 sepertinya diperuntukan bagi gerai-gerai penjual pakaian. Asal pandai-pandai menawar tentu akan mendapatkan harga yang lebih murah daripada di mal. Dari segi model kekiniannya pun sama saja. Cuma bedanya di pasar ini tanpa mesin penyejuk atau kipas angin. Betul-betul membuat pengunjung kegerahan. Tetapi itu bukan masalah sama sekali!
Terus terang saya tidak habis pikir mengapa orang harus rela panas-panasan dan berdesak-desakan ke Pasar Ramai. Bukankah lebih nyaman berbelanja sekaligus cuci mata di mal yang adem?
“Rasanya kalau belum ke Pasar Ramai belum lengkap. Apalagi mau Imlek gini” kata seorang Ai (bibi) yang duduk disebelah saya. “Soal harga ya sebenarnya tidak jauh berbedalah dengan tempat lain.” tambahnya.
Medan punya banyak pasar, tetapi mengunjungi Pasar Ramai seperti sebuah keharusan. Menjadi tradisi menikmati atmosfer pasar yang sudah ia rasakan sejak masih kecil. “Dulu saya datang sama orangtua. Sekarang bawa anak dan cucu.” katanya sambil tersenyum ramah.
“Itu Acek (om/paman) yang jual itu pun sudah lama sekali di sini. Lima belas tahun ada lho. Bisah lebih malah.” katanya sambil menunjuk lelaki tua yang sibuk menyiapkan Lap Choi pesananan. Bermodal sepeda kumbang tua dengan kotak kayu berlapis alumunium sebagai tempat bahan-bahan, lelaki yang rambutnya sudah memutih itu cekatan melayani pelanggan.
Acek tersebut menumpang berjualan di lapak yang menjual makanan dan minuman. Ada simbiosis mutualisme yang kental di sana. Pengunjung yang menikmati Lap Choi otomatis pesan minumnya pada si empunya lapak. Begitu pula yang terjadi dengan penjual makanan-makanan lainnya.