Waktu kecil saya dilarang keras oleh orangtua untuk berkata-kata kotor dan kasar. Termasuk mengumpat. Lagi pula masa itu teman-teman sepermainan juga berprilaku seperti itu. Jadi dalam situasi apapun mulut tetap tidak bisa mengeluarkan umpatan yang ‘halus’ sekalipun.
Kebiasaan baik itu ternyata bisa berubah juga. Penyebabnya karena faktor lingkungan. Ketika kuliah saya bergaul dengan banyak orang dari berbagai latar belakang. Umpatan atau pisuhan (jawa) kerap terdengar. Harus saya akui, saya pun tertular untuk mengumpat.
Ada kalanya umpatan tidak ditujukan pada orang lain. Tetapi pada pada sebuah keadaan atau kondisi tertentu. Umpatan kadang dilontarkan sembari bercanda. Lama-lama kesan kasar dari umpatan tersebut memudar.
Semuanya tergantung pada situasi. Kalau yang mengumpat teman sendiri, tidak akan merasa tersinggung. Apalagi jika umpatan tersebut memang sudah menjadi bagian dari kosakata wajib dalam pergaulan.
Sebut saja kata “a** atau k****” dan “j*****”. Di Jogjakarta atau Surabaya, dua kata tersebut jamak terdengar. No hard feelings saja, nggak perlu masukin hati, kalau ada yang ngomong gitu. Dari intonasi bisa dibaca arahnya.
Sekarang saya mau mengumpat kepada siapa? Nggak mungkin juga mengumpat di rumah. Tentu bisa jadi contoh buruk bagi anak-anak,
Tempat mengumpat yang aman adalah di jalan! Mengumpat pada orang yang tidak kita kenal. Sebisa mungkin umpatan kita itu tidak terdengar oleh yang bersangkutan.
Kata-kata yang sering keluar adalah “dasar goblok”. Saya tujukan pada pengendara-pengendara yang seenaknya melanggar lampu merah. Di Medan, menurut saya adalah kota dengan tingkat kesadaran tertib berlalulintas yang buruk. Mulai dari berhenti melewati garis sampai dengan santai menerobos lampu merah. Buat para pendatang yang sudah memiliki budaya tertib tinggi hal ini benar-benar menjengkelkan.
Bukan cuma angkot atau sepeda motor. Pengemudi mobil-mobil high class pun punya prilaku yang tidak kalah buruknya. Belum lagi becak motor yang suka seenaknya belok tanpa menyalakan lampu sein. Gimana coba? jarang ada becak motor yang benar-benar lengkap lampunya.
Perasaan jengkel ditengah kondisi jalanan macet dan panas perlu ada pelampiasan. Ya itu tadi dengan mengumpat. Mulai mengumpat dalam hati sampai setengah keras. Setengah keras itu maksudnya biarlah diri sendiri saja yang mendengar.
Tapi pernah juga sih ngumpat keras sambil melotot, pas hampir tabrakan. Ada orang seenaknya nyelonong lampu merah dan nyaris bikin celaka.
Orang yang saya teriakin, dengan santainya cuek dan berlalu. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Iitu sesungguhnya tindakan yang bijak. Tidak perlu diperpanjang, mungkin sadar kalau dirinya salah.
Beberapa tahun di Medan yang katanya keras itu rasanya jarang melihat orang saling mengumpat dan mencaci. Sekali dua kali pernah juga ada. Sesama sopir angkot, mungkin karena salip-salipan rebutan penumpang.
Kalau dua laki-laki bertengkar biasanya cuma sebentar. Lain kalau perempuan atau ibu-ibu. Rasanya perempuan kalau sudah kalap semua bahasa kebun binatang keluar semua. Belum lagi kata-kata vulgar lainnya. Walau tidak semua perempuan begitu.
Caci-maki dan sumpah serapah sepertinya otomatis keluar dari mulut. Bikin panas yang mendengar. Kalau lawannya laki-laki, biasanya langsung mengkeret. Laki-laki memilih untukk mengalah saja. Mungkin merasa malu untuk meladeni
Kasus DN, pegawai MA, yang mengumpat, mencaci plus mencakar polisi salah satu contoh. Orang lagi naik pitam, baik laki-laki maupun perempuan, memang tidak perlu diladenin. Salah-salah terjadi kekerasan yang berujung pada pidana.
Sejauh ini tidak diketahui pasti mengapa DN sampai nekad begitu. Keterangan baru berasal dari satu pihak saja yaitu polisi. Kerabat DN sendiri memang membuat keterangan pembelaan tapi itu bukan pembelaan resmi.
Pengamat mengatakan kemacetan menjadi salah satu pemicu orang cepat naik darah. Mungkin ada benarnya. Orang sedang stress karena masalah ekonomi, keluarga, atau pekerjaan tiba-tiba harus menghadapi sistuasi yang benar-benar menjengkelkan. Mungkin ada baiknya jika sedang stress tidak membawa kendaraan sendiri.
Mengapa orang ‘butuh’ mengumpat dan bahkan mencaci? Bisa jadi bentuk pelampiasan dan pelepasan. Budaya ini ada di setiap suku bangsa manapun di dunia. Kita, orang Indonesia, yang dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun pun sering menggunakannya.
Di Barat yang peradabannya (katanya) lebih maju juga mengenal kata-kata umpatan dalam kehidupan sehari-hari. Di dunia olahraga yang menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas juga tidak luput juga. Lihat saja acara sepakbola liga Inggris misalnya. Pemain-pemain terkenal sekalipun sering mengeluarkan kata-kata “F***” saat kesal gagal mencetak gol. Bahkan kadang ditujukan kepada wasit. Kebanyakan wasit menanggapinya dengan biasa saja. Tetapi jika sudah keterlaluan tentu dilaporkan pada komisi disiplin.
Kebiasaan buruk mencaci juga tidak mengenal kasta. Bahkan orang-orang terpelajar dan punya kedudukan bisa lebih parah untuk urusan ini. Seperti DN misalnya, prilakunya tidak mencerminkan sesorang yang punya status sosialnya pegawai negeri dengan pendidikan S2.
Tetapi bagaimanapun ada banyak orang yang tidak memiliki kamus untuk mengumpat, mencaci, atau bahkan mencakar di dalam DNA dirinya. Orang-orang yang benar-benar santun selama hidupnya. Dari air muka mereka sudah bisa kita lihat bagaimana mereka. Wajah-wajah yang teduh dan menyejukan.
Kebiasaan mengumpat sulit untuk dihilangkan. Karena kadang tanpa kita sadari otomatis keluar sendiri dari mulut. Tetapi untuk urusan mencaci rasanya tidak ada toleransi. Apalagi jika cacian itu ditujukan kepada kepala negara misalnya.
Lalu bagaimana dengan hal "mencakar"? Jawabannya mudah saja, hanya binatang saja yang punya kebiasaan cakar-mencakar. Pokoknya sing waras ngalah saja. Diam atau menghindar bukan berarti pengecut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H