Mohon tunggu...
Venusgazer EP
Venusgazer EP Mohon Tunggu... Freelancer - Just an ordinary freelancer

#You'llNeverWalkAlone |Twitter @venusgazer |email venusgazer@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hal Mengumpat, Mencaci, dan Mencakar

17 Desember 2016   01:38 Diperbarui: 17 Desember 2016   02:27 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang yang saya teriakin, dengan santainya cuek dan berlalu. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Iitu sesungguhnya tindakan yang bijak. Tidak perlu diperpanjang, mungkin sadar kalau dirinya salah.

Beberapa tahun di Medan yang katanya keras itu rasanya jarang melihat orang saling mengumpat dan mencaci. Sekali dua kali pernah juga ada. Sesama sopir angkot, mungkin karena salip-salipan rebutan penumpang.

Kalau dua laki-laki bertengkar biasanya cuma sebentar. Lain kalau perempuan atau ibu-ibu. Rasanya perempuan kalau sudah kalap semua bahasa kebun binatang keluar semua. Belum lagi kata-kata vulgar lainnya. Walau tidak semua perempuan begitu.

Caci-maki dan sumpah serapah sepertinya otomatis keluar dari mulut. Bikin panas yang mendengar. Kalau lawannya laki-laki, biasanya langsung mengkeret. Laki-laki memilih untukk mengalah saja. Mungkin merasa malu untuk meladeni

Kasus DN, pegawai MA, yang mengumpat, mencaci plus mencakar polisi salah satu contoh. Orang lagi naik pitam, baik laki-laki maupun perempuan, memang tidak perlu diladenin. Salah-salah terjadi kekerasan yang berujung pada pidana.

Sejauh ini tidak diketahui pasti mengapa DN sampai nekad begitu. Keterangan baru berasal dari satu pihak saja yaitu polisi. Kerabat DN sendiri memang membuat keterangan pembelaan tapi itu bukan pembelaan resmi.

Pengamat mengatakan kemacetan menjadi salah satu pemicu orang cepat naik darah. Mungkin ada benarnya. Orang sedang stress karena masalah ekonomi, keluarga, atau pekerjaan tiba-tiba harus menghadapi sistuasi yang benar-benar menjengkelkan. Mungkin ada baiknya jika sedang stress tidak membawa kendaraan sendiri.

Mengapa orang ‘butuh’ mengumpat dan bahkan mencaci? Bisa jadi bentuk pelampiasan dan pelepasan. Budaya ini ada di setiap suku bangsa manapun di dunia. Kita, orang Indonesia, yang dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun pun  sering menggunakannya.

Di Barat yang peradabannya (katanya) lebih maju juga mengenal kata-kata umpatan dalam kehidupan sehari-hari.  Di dunia olahraga yang menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas juga tidak luput juga. Lihat saja acara sepakbola liga Inggris misalnya. Pemain-pemain terkenal sekalipun sering mengeluarkan kata-kata “F***” saat kesal gagal mencetak gol. Bahkan kadang ditujukan kepada wasit. Kebanyakan wasit menanggapinya dengan biasa saja. Tetapi jika sudah keterlaluan tentu dilaporkan pada komisi disiplin.

Kebiasaan buruk mencaci juga tidak mengenal kasta. Bahkan orang-orang terpelajar dan punya kedudukan bisa lebih parah untuk urusan ini. Seperti DN misalnya, prilakunya tidak mencerminkan sesorang yang punya status sosialnya pegawai negeri dengan pendidikan S2.

Tetapi bagaimanapun ada banyak orang yang tidak memiliki kamus untuk mengumpat, mencaci, atau bahkan mencakar di dalam DNA dirinya. Orang-orang yang benar-benar santun selama hidupnya. Dari air muka mereka sudah bisa kita lihat bagaimana mereka. Wajah-wajah yang teduh dan menyejukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun