Orang yang saya teriakin, dengan santainya cuek dan berlalu. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Iitu sesungguhnya tindakan yang bijak. Tidak perlu diperpanjang, mungkin sadar kalau dirinya salah.
Beberapa tahun di Medan yang katanya keras itu rasanya jarang melihat orang saling mengumpat dan mencaci. Sekali dua kali pernah juga ada. Sesama sopir angkot, mungkin karena salip-salipan rebutan penumpang.
Kalau dua laki-laki bertengkar biasanya cuma sebentar. Lain kalau perempuan atau ibu-ibu. Rasanya perempuan kalau sudah kalap semua bahasa kebun binatang keluar semua. Belum lagi kata-kata vulgar lainnya. Walau tidak semua perempuan begitu.
Caci-maki dan sumpah serapah sepertinya otomatis keluar dari mulut. Bikin panas yang mendengar. Kalau lawannya laki-laki, biasanya langsung mengkeret. Laki-laki memilih untukk mengalah saja. Mungkin merasa malu untuk meladeni
Kasus DN, pegawai MA, yang mengumpat, mencaci plus mencakar polisi salah satu contoh. Orang lagi naik pitam, baik laki-laki maupun perempuan, memang tidak perlu diladenin. Salah-salah terjadi kekerasan yang berujung pada pidana.
Sejauh ini tidak diketahui pasti mengapa DN sampai nekad begitu. Keterangan baru berasal dari satu pihak saja yaitu polisi. Kerabat DN sendiri memang membuat keterangan pembelaan tapi itu bukan pembelaan resmi.
Pengamat mengatakan kemacetan menjadi salah satu pemicu orang cepat naik darah. Mungkin ada benarnya. Orang sedang stress karena masalah ekonomi, keluarga, atau pekerjaan tiba-tiba harus menghadapi sistuasi yang benar-benar menjengkelkan. Mungkin ada baiknya jika sedang stress tidak membawa kendaraan sendiri.
Mengapa orang ‘butuh’ mengumpat dan bahkan mencaci? Bisa jadi bentuk pelampiasan dan pelepasan. Budaya ini ada di setiap suku bangsa manapun di dunia. Kita, orang Indonesia, yang dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun pun sering menggunakannya.
Di Barat yang peradabannya (katanya) lebih maju juga mengenal kata-kata umpatan dalam kehidupan sehari-hari. Di dunia olahraga yang menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas juga tidak luput juga. Lihat saja acara sepakbola liga Inggris misalnya. Pemain-pemain terkenal sekalipun sering mengeluarkan kata-kata “F***” saat kesal gagal mencetak gol. Bahkan kadang ditujukan kepada wasit. Kebanyakan wasit menanggapinya dengan biasa saja. Tetapi jika sudah keterlaluan tentu dilaporkan pada komisi disiplin.
Kebiasaan buruk mencaci juga tidak mengenal kasta. Bahkan orang-orang terpelajar dan punya kedudukan bisa lebih parah untuk urusan ini. Seperti DN misalnya, prilakunya tidak mencerminkan sesorang yang punya status sosialnya pegawai negeri dengan pendidikan S2.
Tetapi bagaimanapun ada banyak orang yang tidak memiliki kamus untuk mengumpat, mencaci, atau bahkan mencakar di dalam DNA dirinya. Orang-orang yang benar-benar santun selama hidupnya. Dari air muka mereka sudah bisa kita lihat bagaimana mereka. Wajah-wajah yang teduh dan menyejukan.