Tahu bahwa film restorasi Tiga Dara diputar juga di Medan, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Apalagi ternyata dari 5 bioskop yang ada hanya satu saja yang menayangkannya. Kapan lagi bisa menyaksikan film klasik Indonesia yang dulu merajai box-office selama 8 pekan dan meraih Piala Citra 1960 itu? Cukup beruntung juga karena besoknya Tiga Dara sudah tidak tayang. Padahal dari informasi yang saya dapatkan lewat internet, film Tiga Dara diputar sampai tanggal 18 Agustus 2016.
Film ini bercerita tentang kehidupan tiga perempuan bersaudara, Nunung yang diperankan Chitra Dewi, Nana (Mieke Widjaja), dan Neni (Indriati Iskak). Status Nunung sebagai anak tertua, dengan usianya yang hampir berkepala tiga dan masih saja menjomblo itu membuat sang nenek (Fifi Young) gundah. Termasuk adik-adiknya yang tidak mungkin 'melangkahi' kakaknya.
Usaha pencarian jodoh untuk Nunung sendiri menimbulkan kelucuan-kelucuan tersendiri. Seperti permintaan nenek kepada ayah Nunung, Sukandar (Hasan Sanusi) agar ia mengundang teman kantornya main ke rumah untuk diperkenalkan kepada Nunung. Eh ternyata yang datang lelaki-lelaki tua yang sudah punya istri. Cerita semakin berkembang dengan kehadiran pria ganteng bernama Toto (Rendra Karno). Toto jatuh hati pada Nunung tetapi sikapnya yang dingin membuat Toto jadi lebih dekat dengan Nana. Di sini konflik sempat terjadi antara Nunung, Nana dan Toto.
Setelah melihat film Tiga Dara dari berbagai sisi, memang sudah layak dan pantas jika film ini menjadi pilihan bagi S.A Films untuk dihadirkan kembali kepada publik meski harus menjalani proses restorasi terlebih dahulu. Dari awal hingga akhir, film Tiga Dara menjadi film yang cukup enak untuk dinikmati. Bukankah itu alasan orang untuk datang ke bioskop? Film ini tidak berat tapi tetap menggigit terutama pada konflik yang biasanya menjadi peak sebuah cerita/film. Happy-ending film ini pun terasa smooth dengan lagu penutup yang cantik.
Akting semua pemainnya terlihat natural, sesuai dengan karakter masing-masing. Tidak ada perbedaan mencolok antara pemeran utama maupun pemeran pendukung. Sepertinya Usmar Ismail mampu mengeksplor bakat akting para pemain Tiga Dara. Blocking antar pemain di dalam rumah (studio) yang tidak terlalu luas itu tetap tampak seperti aktivitas keseharian biasa.
Karakter Nana yang suka sinis itu memang pas sekali dimainkan Mieke Widjaja. Aktris kawakan ini kita ketahui bersama disepanjang karirnya memang identik dengan karakter sebagai wanita rada-rada jutek seperti itu.
Saya pertama mengenal sosok Mieke Widjaja ketika beliau berperan sebagai “Bu Broto” dalam drama seri Losmen. Losmen yang hadir di TVRI pada era 80-an itu menjadi tayangan yang paling ditunggu masyarakat. Melihat Tiga Dara jadi tahu cantiknya Mieke Widjaja ketika masih muda.
Tokoh Nunung juga dimainkan secara luwes oleh Chitra Dewi. Dan Usmar Ismail sepertinya bukan asal memberi nama untuk karakter ini. Nama “Nunung” sendiri terdengar ngindonesia. Cocok dengan karakternya yang kalem kala bertutur dan old-fashioned ketika berpenampilan.
Usmar Ismail, sang sutradra, begitu piawai membuat penonton tidak merasa bosan melihat Tiga Dara. Dalam film ini penuh dialog-dialog lugas yang bikin kita tersenyum. Bukan model dialog-dialog serupa sinetron yang mudah ditebak itu.
Jika film Tiga Dara ini kita ibaratkan sebuah hidangan istimewa, garnish-nya adalah lagu-lagu easy-listening bergaya vintage dengan lirik-lirik yang tidak lebay. Soundtrack film Tiga Dara kaya akan berbagai warna musik, mulai dari pop, irama melayu, hingga yang jazzy.
Menariknya lagi, walau setting film Tiga Dara ini Jakarta dan Bandung tetapi Usmar Ismail berani mennyelipkan budaya Melayu. Terlihat pada adegan Nunung menemani Nana ke pesta. Kostum, tarian , dan lagu “Joged Gembira” dalam scene ini pun begitu kental dengan nuansa melayu. Baik itu liriknya yang berpantun maupun irama musiknya yang dominan dengan irama akordeon dan biola.
Terbersit dalam hati, sebuah harapan film Tiga Dara bisa hadir di rumah-rumah masyarakat Indonesia. Sebuah model hiburan yang sungguh layak tonton. Tanpa adegan dar-der-dor, dan pamer kekayaan pun film Tiga Dara akan memikat hati semua kalangan.
S.A Films sepertinya tidak setengah-setengah dalam mentransfer film dari pita seluloid ke format digital. Film Tiga Dara direstorasi ke dalam format digital 4K. Jika sejauh ini format HD (High Definition) sudah cukup bagus secara kualitas visual dan suara, tentu bisa dibayangkan kualitas film ini yang sekarang tampil dengan 4K?
Sudah pasti gambar terlihat tajam, jelas dan sangat detail. Tampilan film-film lawas yang kadang suka muncul semacam rambut dan noise sama sekali tidak terlihat. Sedangkan untuk sound, baik itu vokal maupun musiknya cukup jernih dan tidak terdengar terlalu mono. Namun kesan orisinalitas suaranya sebagai film hitam putih masih masih dijaga.
Bisa dibilang restorasi film Tiga Dara sebuah hasil yang sempurna. Usaha restorasi fisik selama 4 bulan yang dilakukan di studio L'Immagine Ritrovata Bologna, Italia dan digitalisasi ke format 4K, yang ternyata butuh waktu 11 bulan, di studio PT Render Indonesia itu hasilnya cukup sepadan. Kabarnya dana yang harus dikeluarkan untuk merestorasi film Tiga Dara mencapai 3 milyar lebih. Artinya restorasi film Tiga Dara adalah sebuah proyek serius.
Setelah menyaksikan film tersebut saya berpikir bahwa Tiga Dara (1956) ternyata tidak kalah menarik dengan film Bujang Lapok (1957) dan sekuel-sekuelnya. Film Bujang Lapok merupakan salah satu film legendaris Malaysia yang hingga kini masih membekas dalam ingatan saya sebagai penikmat film.
Ada beberapa persamaan mencolok antara film Tiga Dara dan Bujang Lapok. Pertama, kedua film itu lahir di era yang sama dimana formatnya masih hitam putih. Kedua, ada tiga karakter utama di dalam Tiga Dara maupun Bujang Lapok. Ketiga, baik Tiga Dara maupun Bujang Lapok memiliki unsur musikal dan kejenakaan. Dan yang terakhir, Tiga Dara dan Bujang Lapok adalah maserpiece dari tangan seorang legenda film, Usmar Ismail dan P. Ramlee.
Lalu mengapa film Bujang Lapok diambil sebagai referensi?
Begini, di Malaysia siapa yang tidak mengenal trio “Bujang Lapok”. Tua, muda bahkan sampai anak-anak pun mengenal betul kisah Bujang Lapok. Termasuk para aktornya yang terdiri dari P. Ramlee, S. Shamsuddin, dan Aziz Sattar itu. Kesohoran film Bujang lapok bahkan sampai Singapura, Brunei, dan Thailand.
Awal-awal tinggal di Brunei saya agak heran dengan kutipan-kutipan lucu yang kadang dilontarkan oleh orang sana termasuk anak-anak ketika mereka bercanda. Akhirnya saya mengetahui bahwa semuanya itu adalah potongan dialog-dialog yang ada di film-film lama Malaysia garapan P.Ramlee.
Tidak perlu heran warga Brunei begitu familiar dengan Bujang Lapok dan banyak film P Ramlee lainnya. Film-film klasik Malaysia boleh dibilang wira-wira di televisi lokal (RTB) maupun televisi berbayar asal Malaysia ( Astro) yang dimiliki hampir semua warga sana. Setiap keluarga di sana rata-rata memiliki koleksi film-film P Ramlee dalam bentuk keeping VCD, baik itu yang asli maupun yang bajakan.
Kesuksesan Film Bujang Lapok yang dibuat pada tahun 1957 dilanjutkan dengan film Pendekar Bujang Lapok, Seniman Bujang Lapok, dan Ali Baba Bujang Lapok. Film-film tersebut ditulis dan disutradari sendiri oleh P. Ramlee. Termasuk urusan menciptakan lagu-lagu yang dipakai dalam film tersebut.
Pernah mendengar lagu yang berjudul “Manusia” yang dipopulerkan Sheila Majid atau “Madu Tiga”-nya Ahmad Dhani yang sempat hits beberapa waktu lalu. Lagu "Manusia" muncul pertama kali pada film Bujang Lapok. Sedangkan lagu "Madu Tiga" menjadi soundtrack pada film dengan judul yang sama. Kedua lagu tersebut merupakan ciptaan P Ramlee sendiri.
Sulit untuk tidak suka film-film klasik Malaysia terutama karya-karya P.Ramlee. Baik itu film-film yang rada jenaka seperti Bujang Lapok, Madu Tiga maupun yang film-film serius besutan P.Ramlee lainnya yang sarat pesan moral. Apalagi Bahasa yang digunakan pada film-film lama Malaysia itu kosakata maupun aksen dialog-dialognya tidak jauh berbeda dengan Bahasa Indonesia. Bukan gaya Bahasa Melayu ala KL seperti di film-film Malaysia modern. Beberapa bintang film lama Malaysia pun ternyata berdarah Indonesia. Sebut saja Azis Sattar, Siti Tanjung Perak, dan Rahayu Sudarmaji.
Usaha Membangkitkan film klasik nasional
Pemunculan kembali Tiga Dara ibarat oase ditengah keringnya apresiasi film klasik nasional. Harapan bahwa masyarakat akan kembali dilekatkan dengan film-film klasik timbul ketika S.A Films berani merestori film Tiga Dara. Ini sebuah langkah yang tidak boleh disia-siakan. Padahal kita ketahui, film nasional bagi sebuah bangsa adalah bagian dari budaya dan dan identitas diri. Film menyimpan catatan-catatan sejarah dari sebuah peradaban yang tentu saja tidak boleh hilang.
Saat ini industri bioskop kita saat ini yang sedang mengalami kemajuan dengan peningkatan jumlah layar setiap tahunnya harus dijadikan momentum. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sendiri memproyeksikan akan ada 5 ribu layar bioskop hingga akhir tahun 2019.
Televisi nasional seharusnya bisa ikut menjadi media penayangan film-film klasik nasional. Apalagi ketika kita benar-benar masuk pada era televisi digital secara nasional. Sejauh ini baru ada 1 channel saja yang rutin menayangkan film-film lawas hasil restorasi. Namun sayangnya cakupannya tidak luas karena hanya tayang pada saluran televisi berbayar.
Orang mungkin tahu nama Usmar Ismail yang namanya menjadi nama gedung dari Pusat Perfiman Nasional. Tetapi bagaimana dengan karya-karyanya beliau, apakah cukup akrab ditelinga masyarakat kita? Padahal sosok Usmar Ismail sendiri cukup disegani di luar negeri. Sebuah kondisi yang tampaknya sesuai dengan ungkapan “Tak kenal maka tak sayang”.
Pekerjaan besar yang sudah dirintis oleh S.A Films dengan merestorasi Tiga Dara sudah selayaknya diapresiasi oleh pemerintah. Seluruh film-film klasik nasional harus diselamatkan demi generasi mendatang.
Bentuk apresiasi pemerintah terhadap perfilman nasional bukan sekedar hadir untuk meramaikan gala premiere film baru nasional saja. Itu tidak lebih dari bentuk apresiasi yang simbolik semata. Penyelamatan film nasional lama, baik yang masih hitam putih maupun berwarna, butuh kerja nyata dan campur tangan pemerintah.
Jangan sampai film-film lama kita, pada beberapa dekade kedepan, senasib dengan dokumen-dokumen dan benda-benda bersejarah nasional yang ternyata malah tersimpan rapi di museum-museum luar negeri. Masyarakat Indonesia, baik itu insan maupun pecinta film nasional tidak ingin hal tersebut terjadi.
Jika Malaysia mampu menjaga heritage mereka dengan terus menayangkan film-film hitam-putih dan memberi penghargaan yang tinggi terhadap seniman legendaris mereka, mengapa Indonesia tidak? Kita bisa dan harus bisa. Restorasi film Tiga Dara menjadi sebuah momen terbaik untuk membangkitkan apresiasi dan kecintaan terhadap film klasik nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H