Pernah mendengar lagu yang berjudul “Manusia” yang dipopulerkan Sheila Majid atau “Madu Tiga”-nya Ahmad Dhani yang sempat hits beberapa waktu lalu. Lagu "Manusia" muncul pertama kali pada film Bujang Lapok. Sedangkan lagu "Madu Tiga" menjadi soundtrack pada film dengan judul yang sama. Kedua lagu tersebut merupakan ciptaan P Ramlee sendiri.
Sulit untuk tidak suka film-film klasik Malaysia terutama karya-karya P.Ramlee. Baik itu film-film yang rada jenaka seperti Bujang Lapok, Madu Tiga maupun yang film-film serius besutan P.Ramlee lainnya yang sarat pesan moral. Apalagi Bahasa yang digunakan pada film-film lama Malaysia itu kosakata maupun aksen dialog-dialognya tidak jauh berbeda dengan Bahasa Indonesia. Bukan gaya Bahasa Melayu ala KL seperti di film-film Malaysia modern. Beberapa bintang film lama Malaysia pun ternyata berdarah Indonesia. Sebut saja Azis Sattar, Siti Tanjung Perak, dan Rahayu Sudarmaji.
Usaha Membangkitkan film klasik nasional
Pemunculan kembali Tiga Dara ibarat oase ditengah keringnya apresiasi film klasik nasional. Harapan bahwa masyarakat akan kembali dilekatkan dengan film-film klasik timbul ketika S.A Films berani merestori film Tiga Dara. Ini sebuah langkah yang tidak boleh disia-siakan. Padahal kita ketahui, film nasional bagi sebuah bangsa adalah bagian dari budaya dan dan identitas diri. Film menyimpan catatan-catatan sejarah dari sebuah peradaban yang tentu saja tidak boleh hilang.
Saat ini industri bioskop kita saat ini yang sedang mengalami kemajuan dengan peningkatan jumlah layar setiap tahunnya harus dijadikan momentum. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sendiri memproyeksikan akan ada 5 ribu layar bioskop hingga akhir tahun 2019.
Televisi nasional seharusnya bisa ikut menjadi media penayangan film-film klasik nasional. Apalagi ketika kita benar-benar masuk pada era televisi digital secara nasional. Sejauh ini baru ada 1 channel saja yang rutin menayangkan film-film lawas hasil restorasi. Namun sayangnya cakupannya tidak luas karena hanya tayang pada saluran televisi berbayar.
Orang mungkin tahu nama Usmar Ismail yang namanya menjadi nama gedung dari Pusat Perfiman Nasional. Tetapi bagaimana dengan karya-karyanya beliau, apakah cukup akrab ditelinga masyarakat kita? Padahal sosok Usmar Ismail sendiri cukup disegani di luar negeri. Sebuah kondisi yang tampaknya sesuai dengan ungkapan “Tak kenal maka tak sayang”.
Pekerjaan besar yang sudah dirintis oleh S.A Films dengan merestorasi Tiga Dara sudah selayaknya diapresiasi oleh pemerintah. Seluruh film-film klasik nasional harus diselamatkan demi generasi mendatang.
Bentuk apresiasi pemerintah terhadap perfilman nasional bukan sekedar hadir untuk meramaikan gala premiere film baru nasional saja. Itu tidak lebih dari bentuk apresiasi yang simbolik semata. Penyelamatan film nasional lama, baik yang masih hitam putih maupun berwarna, butuh kerja nyata dan campur tangan pemerintah.
Jangan sampai film-film lama kita, pada beberapa dekade kedepan, senasib dengan dokumen-dokumen dan benda-benda bersejarah nasional yang ternyata malah tersimpan rapi di museum-museum luar negeri. Masyarakat Indonesia, baik itu insan maupun pecinta film nasional tidak ingin hal tersebut terjadi.
Jika Malaysia mampu menjaga heritage mereka dengan terus menayangkan film-film hitam-putih dan memberi penghargaan yang tinggi terhadap seniman legendaris mereka, mengapa Indonesia tidak? Kita bisa dan harus bisa. Restorasi film Tiga Dara menjadi sebuah momen terbaik untuk membangkitkan apresiasi dan kecintaan terhadap film klasik nasional.