Terbersit dalam hati, sebuah harapan film Tiga Dara bisa hadir di rumah-rumah masyarakat Indonesia. Sebuah model hiburan yang sungguh layak tonton. Tanpa adegan dar-der-dor, dan pamer kekayaan pun film Tiga Dara akan memikat hati semua kalangan.
S.A Films sepertinya tidak setengah-setengah dalam mentransfer film dari pita seluloid ke format digital. Film Tiga Dara direstorasi ke dalam format digital 4K. Jika sejauh ini format HD (High Definition) sudah cukup bagus secara kualitas visual dan suara, tentu bisa dibayangkan kualitas film ini yang sekarang tampil dengan 4K?
Sudah pasti gambar terlihat tajam, jelas dan sangat detail. Tampilan film-film lawas yang kadang suka muncul semacam rambut dan noise sama sekali tidak terlihat. Sedangkan untuk sound, baik itu vokal maupun musiknya cukup jernih dan tidak terdengar terlalu mono. Namun kesan orisinalitas suaranya sebagai film hitam putih masih masih dijaga.
Bisa dibilang restorasi film Tiga Dara sebuah hasil yang sempurna. Usaha restorasi fisik selama 4 bulan yang dilakukan di studio L'Immagine Ritrovata Bologna, Italia dan digitalisasi ke format 4K, yang ternyata butuh waktu 11 bulan, di studio PT Render Indonesia itu hasilnya cukup sepadan. Kabarnya dana yang harus dikeluarkan untuk merestorasi film Tiga Dara mencapai 3 milyar lebih. Artinya restorasi film Tiga Dara adalah sebuah proyek serius.
Setelah menyaksikan film tersebut saya berpikir bahwa Tiga Dara (1956) ternyata tidak kalah menarik dengan film Bujang Lapok (1957) dan sekuel-sekuelnya. Film Bujang Lapok merupakan salah satu film legendaris Malaysia yang hingga kini masih membekas dalam ingatan saya sebagai penikmat film.
Ada beberapa persamaan mencolok antara film Tiga Dara dan Bujang Lapok. Pertama, kedua film itu lahir di era yang sama dimana formatnya masih hitam putih. Kedua, ada tiga karakter utama di dalam Tiga Dara maupun Bujang Lapok. Ketiga, baik Tiga Dara maupun Bujang Lapok memiliki unsur musikal dan kejenakaan. Dan yang terakhir, Tiga Dara dan Bujang Lapok adalah maserpiece dari tangan seorang legenda film, Usmar Ismail dan P. Ramlee.
Lalu mengapa film Bujang Lapok diambil sebagai referensi?
Begini, di Malaysia siapa yang tidak mengenal trio “Bujang Lapok”. Tua, muda bahkan sampai anak-anak pun mengenal betul kisah Bujang Lapok. Termasuk para aktornya yang terdiri dari P. Ramlee, S. Shamsuddin, dan Aziz Sattar itu. Kesohoran film Bujang lapok bahkan sampai Singapura, Brunei, dan Thailand.
Awal-awal tinggal di Brunei saya agak heran dengan kutipan-kutipan lucu yang kadang dilontarkan oleh orang sana termasuk anak-anak ketika mereka bercanda. Akhirnya saya mengetahui bahwa semuanya itu adalah potongan dialog-dialog yang ada di film-film lama Malaysia garapan P.Ramlee.
Tidak perlu heran warga Brunei begitu familiar dengan Bujang Lapok dan banyak film P Ramlee lainnya. Film-film klasik Malaysia boleh dibilang wira-wira di televisi lokal (RTB) maupun televisi berbayar asal Malaysia ( Astro) yang dimiliki hampir semua warga sana. Setiap keluarga di sana rata-rata memiliki koleksi film-film P Ramlee dalam bentuk keeping VCD, baik itu yang asli maupun yang bajakan.
Kesuksesan Film Bujang Lapok yang dibuat pada tahun 1957 dilanjutkan dengan film Pendekar Bujang Lapok, Seniman Bujang Lapok, dan Ali Baba Bujang Lapok. Film-film tersebut ditulis dan disutradari sendiri oleh P. Ramlee. Termasuk urusan menciptakan lagu-lagu yang dipakai dalam film tersebut.