Seorang gadis berhijab tampak tampak ragu untuk masuk ke dalam Gereja Maria Annai Velangkani Sabtu sore. Di dalam terdengar umat sudah sedang bernyanyi lagu pembukaan tanda Misa baru akan dimulai.
“Nggak apa-apa….” jawab perempuan seusianya, menjawab keraguan gadis tersebut. Rupanya gadis itu tidak datang sendirian.
Gadis berhijab itu maju-mundur untuk mengikuti temannya masuk ke dalam. Petugas gereja keturunan India, yang biasa bertugas menjaga ketertiban di situ kemudian mendekat.
“Boleh ..boleh..masuk saja.” katanya dengan ramah.
Sungguh sebuah pemandangan menarik ketika ada saudara dari agama lain mengikuti sebuah Misa. Sebenarnya cukup sering saudara yang beragama Islam, Buddha, atau Protestan berkunjung ke Gereja Maria Annai Velangkani. Karena Gereja ini sepertinya sudah menjadi obyek wisata religi bagi siapapun. Sebagian besar dari mereka memang melihat dari dekat keunikan Gereja Maria Annai Velangkani yang mengadopsi budaya India pada arsitekturnya. Dan beberapa yang lain sengaja berdoa lewat perantaraan Bunda Maria.
Saya coba menebak apa yang ada dalam pikiran gadis itu? Duduk mengamati upacara agama lain mungkin menarik. Menemukan sesuatu yang baru. Pastinya sangat berbeda dengan apa yang ada dalam agamanya. Saya pikir gadis itu punya keberanian untuk sebuah keingintahuan.
Pasti akan timbul banyak pertanyaan-pertanyaan. Sama seperti ketika dulu saya mesti ikut yasinan selama 7 hari ketika KKN dulu. Atau melihat dan mendengar ibadah Sholat Jumat dari parkiran karena menunggu teman yang sedang beribadah. Bisa juga ia menemukan jawaban-jawaban atas pertanyaan tentang orang Katolik. Atau ia merasa bahwa apa yang selama ini ia pahami tentang Kristen ternyata berbeda.
Pastinya ia pun akan mengamini tentang ajaran tentang kasih dan persaudaraan. Tentang perdamaian dunia. Nilai-nilai kebaikan universal manusia yang beradab. Tentang pentingnya kita mengucapkan syukur atas rahmat-Nya. Tentang Tuhan yang maha Rahim, maha pengampun dosa-dosa manusia yang pastinya diikuti dengan pertobatan.
Syukurlah kelompok koor pada Misa itu tampil cukup bagus sehingga tidak akan membuat siapapun yang mengikutinya menjadi mengantuk. Salah satu lagu yang mereka bawakan berjudul “Keluarga Tanda Cinta”. Dimana keluarga adalah gereja kecil (Ecclesia domestica) tempat iman tumbuh dan bersemi dalam cinta kasih. Sesuai dengan tema Sinonde VI Keuskupan Agung Medan
Rasanya kita pun setuju bahwa keluarga adalah rumah Masjid, Vihara, atau Pura kecil.Saya jadi ingat pernah seorang teman mengatakan bahwa orang yang meruntuhkan keluarga ibaratnya meruntuhkan sebuah Masjid.
Ketika menulis pengalaman ini saya tiba-tiba membayangkan situasi ketika momen “Salam Damai” sesuai Doa Bapa Kami. Pada momen tersebut umat biasanya bersalaman dengan orang-orang yang dudukya berdekatan. Apakah gadis tersebut ikut saling memberikan salam? Entahlah…
Misa usai, umat biasanya melakukan doa pribadi sejenak. Setelah berdoa saya coba melihat kebelakang. Bangku si gadis tampak kosong, sepertinya ia sudah pulang. Sebenarnya ingin rasanya menemuinya dan bertanya sedikit-sedikit tentang pengalaman barunya itu. Karena ini sungguh menarik untuk tahu alasan disebalik kehadirannya itu.
Pastinya tidak ada terlintas dalam benak bahwa gadis tersebut akan masuk Katolik. Jelas bukan sebuah perkara yang mudah untuk menjadi Katolik. Bagi saya adalah hal yang mustahil dia menjadi murtad, melepaskan hijabnya hanya karena mengikuti upacara ibadah agama lain.
Saya salut akan keberaniannya. Bagaimana jika teman-teman atau keluarganya tahu ia ‘ikut’ Misa? Salut dengan keberaniannya menjadi minoritas dalam sebuah kerumunan. Tetap pada identitasnya sebagai seorang Muslim. Seorang gadis yang berani untuk menjadi ganjil dengana alasan yang mungkin dia dan Tuhan saja yang tahu.
Salam Damai….Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H