Mohon tunggu...
Venty Nilasari
Venty Nilasari Mohon Tunggu... Guru - Guru

Belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Diary

When The Second Wave Hit Us Finally

19 April 2024   11:42 Diperbarui: 19 April 2024   11:43 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Badai pandemi yg seolah tak kunjung mereda akhirnya menyapa keluarga kami juga. Circle terdekat : diri sendiri juga suami, bukan lagi kenalan atau kerabat. Padahal masih baru berencana keluar rumah sekedar liburan tipis sebelum pemerintah menerapkan PPKM, pengen banget makan ala Korea gitu. Lhakok malah kena kopit duluan.

Kamis, 01 Juli 2021

.

Berawal dari suami yg badannya meriang, batuk, mual, dan demam. Paling cuma masuk angin biasa. Saya rawat disambi ngemong anak-anak aja. Karena diantara kami, ayahnya anak-anak ini tergolong orang yg paling seterong. Almarhumah Ibu, saya dan anak sulung pernah bergiliran masuk RS, suami terus yg jadi penunggu. Betapa supermannya dia.

Kini tiba gilirannya untuk dirawat dan dielus-elus. Menurut teori keseimbangan, sang penjaga sekarang harus dijaga. Karena nggak ada yg rewang, saya kurang bisa maksimal ngerawat park bho joo. Sekedar nganter makan, obat-obatan dan vitamin juga bertanya sekilas tentang apa keluhannya. Karena keburu ada tangisan si bungsu atau rengekan si Mas dan juga teriakan si Kakak, Ayahnya anak-anak gak pernah benar-benar saya perhatikan.

Sabtu, 03 Juli 2021

.

Dua hari tak kunjung membaik, saya sudah mulai oleng multitasking mulai terbit matahari sampai malam menjelang. Akhirnya saya menyusul ambruk juga. Demam tinggi dan bersin-bersin, tak ada tenaga untuk sekedar ngomong, hanya rebahan. 

Bala bantuan datang, Uti ngemong Adek dan anak-anak terpaksa dianterin ke rumah tukang momong meskipun kondisi rumahnya sedang tidak memungkinkan karena sedang direhab total. Satu-satunya ruang yg tersisa adalah bagian depan dan teras.

Entah berapa derajad suhu badan saya tepatnya, 4x minum parcet saya merasa udah normal kembali. Tapi saya pikir ada yg aneh. Saya nggak bisa membau dan mengecap rasa makanan, hanya dikunyah dimulut untuk ditelan. Nggak ngerasain bumbu pun aromanya. Waduhhh, salah satu gejala penyakit hits nih. 

Saya coba berbagai cara untuk menguji apakah ini benar anosmia kopit atau hanya pilek biasa, walaupun saya nggak umbelen kaya gejala flu. Segala rupa yang saya dapat dari sharing onlen di wa grup, dari mulai menghirup minyak kayu putih dalam air panas, dicuci dengan larutan NaCl (air garam), makan bawang putih, yg pada saat kita sehat berbau langu itu, di mulut saya terasa kriuk, pedes, dan sekali lagi hambar. Astaghfirulloh. Serius kali ini kopit, feeling saya.

Senin, 05 Juli 2021

.

Karena mual, makanan yg masuk ke lambung suami hanya bisa diitung sendok.  Hari ke-4 bergejala, dia udah lemes, minta ke IGD. Okey, tanpa pikir panjang saya siapin tas berikut ASIP untuk si Adek yang akan nginep di rumah Uti sementara. Jam 9.30 dia dijemput. Tanpa cipika cipiki dan jaga jarak, saya pamit sekilas dengan Adek dan Uti sembari meminta doa agar kami lekas pulih seperti sedia kala. Setelah semua barang siap dalam 2 ransel, kami berangkat motoran tengah malam menerjang dinginnya angin mbediding.

Begitu masuk IGD, ada sekuriti yg juga tetangga. Tanpa banyak kata dia udah paham dan sigap menanyai saya selaku keluarga dan menjelaskan prosedural rawat inap di masa pandemi. Tak lama kemudian, dokter jaga datang, memeriksa suami dan menanyakan keluhan, diikuti mbak perawat yg dengan cekatan memasang tensimeter dan oksimeter.

Karena saturasi oksigen bagus dan sistole, diastole juga denyut nadi normal, diagnosis dokter, ini bukan hal urgent untuk dirawat inap. Kalopun minta rawat inap, ruang isolasi cuma tinggal 1. Suami saya dengan gejala ringan begini tentu saja nggak masuk prioritas. Saya menyampaikan keinginan suami yg ingin diinfus, biar badan gak lemes banget. Dokter mengiyakan dengan syarat gak ditanggung bpjs. Oke, kita ikut jalur umum, yang penting suami bisa tertangani dengan baik.

06 Juli 2021

.

Setelah menghabiskan sebotol infus dan parcet, jam 3 dini hari kami pulang ke rumah dan suami yg sudah insomnia berhari-hari berharap tidur sepanjang hari. Tetapi jam 10 kami dianjurkan ke Poli Eksekutif untuk melakukan tes swab. Fix, rencana tidur belum bisa terealisasi. Hasil swab tidak bisa langsung diketahui, butuh beberapa hari karena antriannya amat panjang. Pandemi saat ini sedang parah-parahnya. 

Kami pulang, makan untuk memasok energi yg sudah terkuras habis-habisan dan berencana untuk "horizontal body battery saving mode", sudah seharian dan semalaman saya tidak tidur sama sekali.

Suami masih mengeluhkan badannya yg tidak fit dari ujung rambut sampe ujung kaki. Malam kedua, dia minta balik lagi ke IGD. Okey, harus siap-siap lagi begadang part 2 nih. Kami berangkat lagi dengan bawaan yg gak begitu banyak. Suasana IGD yg begitu chaos, ada korban kecelakaan, orang lahiran, dsb membuat kami ciut nyali. Suami mengajak pulang kembali sebelum meminta tindakan medis.

Tetapi jam 1.30 suami mengajak lagi ke IGD. Hmmm...saya mengiyakan, mengganti baju untuk kesekian kali, melaju motor kami menembus dinginnya udara dini hari. Perawat yg sama masih hafal dengan wajah kami, couple yg rajin sambang IGD mungkin begitu pikirnya. Kali ini dokter mengijinkan rawat inap. Padahal baju ganti dan perlengkapan lain sengaja nggak dibawa. Yasudah gampang, dipikirin nanti aja kalo itu deh.Kemudian saya diarahkan sekuriti untuk ke bagian administrasi, mengisi form terkait tracing dan tracking.

Setelah pemasangan infus, kami menunggu di depan ruang rontgen untuk mengantri dan menunggu kamar di ruang isolasi karantina disiapkan. Cuma beberapa jam saja disana, tetapi rasanya waktu seperti berjalan selamanya. Di sebelah kami terbaring seseorang yg dipasang alat bantu nafas, yg ditunggui 2 orang keluarganya, semuanya perempuan.

Bunyi nafasnya yg berderu sesuai irama jantung yg berpacu, dadanya pun kembang kempis naik turun. Bebarengan dengan bunyi alat di sebelahnya, Tit Tit Tit. Saya berbisik di telinga suami "Sudah Yah, gak usah didengerin, Ayah istirahat dulu, coba merem". Dengan anggukan lemah dia berusaha menuruti anjuran saya.

Karena saya pikir masih ada jeda waktu, secepat kilat saya menemukan ide untuk pulang dulu sebentar mengambil perlengkapan rawat inap, karena jarak rumah kami yang memang nggak begitu jauh. Sudah tak sempat lagi menghiraukan peliharaan di rumah: ayam, ikan dan tanaman-tanaman yg mungkin sudah meronta-ronta kehausan. Saya berpamitan pada rumah yang mungkin akan kosong dalam waktu lebih dari seminggu ini. Sabar ya, doakan kami kembali dengan sehat agar bisa memenuhi hak kalian kembali.

Saya kembali kurang dari setengah jam. Tak lama kemudian, notifikasi WA HP suami menyala. Dibacanya pesan singkat dari saudara ipar yang juga nakes bahwa hasil swab saya dan suami keduanya positif. Walaupun sudah tahu, suami saya masih saja shock, denial. Sorot matanya mengutuk, menyumpah serapahi keadaan kami saat itu.

Saya sadar sudah tak mendengar lagi nafas yang sedari tadi riuh itu. "Ah, mungkin saya udah mulai ngantuk", pikir saya walau tak pernah menguap sekalipun selama beberapa hari ini. Tak lama kemudian, anggota keluarga yang sedari tadi tiduran di kursi yg saya pinjamkan tergesa-gesa memanggil perawat, air matanya sudah menggenang di sudut mata. Perawat yg datang dengan cekatan melakukan RJP (Resusitasi Jantung Paru), sekali dua kali tak ada respon. Pecahlah tangis mereka berdua, meraung-raung, menyayat hati. 

Segera saya melihat suami sudah menangis sesenggukan juga dengan kesedihan yg sama. Ya Allah, mentalnya pasti sangat down. Saya besarkan hatinya dengan menggosok kepala dan mengusap punggungnya, memeluknya, mengajaknya keluar dari ruangan itu. Ah, begitu terasa kematian sedekat nadi. Walaupun ingin duduk bersimpuh dan berteriak juga menangis sekencang-kencangnya, saya memilih bertahan dan insyaallah akan kuat dan bismillah dikuatkan, karena saat ini saya menjadi satu-satunya tempat bersandar suami. Allahumma Alif Kuwwati.

Kami memasuki ambulance dan diantarkan di gedung paling belakang, Red Zone : Ruang Isolasi Karantina,  menempati lantai bawah, bagian timur, dekat gerbang masuk. Selamat datang di area pertaruhan nyawa.

Suasana gedung yg berbeda, begitu suram, tenaga medis lengkap memakai hazmat dan masker berlapis-lapis. Kamar-kamar sempit bersekat kaca. Sekilas tampak pasien mengenakan selang oksigen, ada juga suara tangisan bayi, rintihan dan isak lirih. Bismillah ya Allah asy Syafii, sembuhkan kami dari penyakit yg saat ini sedang meraja lela di negeri kami.

Lima hari empat malam kami habiskan di gedung RIK. Dengan fasilitas apa adanya tapi dengan nutrisi dan obat terjamin. Bed yg cuma disediakan 1 membuat saya dan suami berbagi tempat tidur demi kami berdua agar sama-sama bisa keluar dengan sehat. 

Malam pertama yg luar biasa rasa-rasanya mustahil akan terlewati dengan baik. Suami saya berubah menjadi orang yang tidak saya kenal. Penuh halu kalau bahasa sekarang. Semalaman saya mendengar celotehnya tentang bayangan dan mimpi aneh yg dialami, tentang apapun yg mengganjal di benaknya. Saya ajak berdzikir dan ngobrol sama Allah agar hatinya tenang dan tidak berpikiran aneh-aneh. "Buang saja semua sampah di kepalamu, bersihkan agar tidak menjadikan penyakit betah, aku siap menampung semua keluhmu". Dan malam itu menjadi tanpa ujung dan jeda. Tidak memejamkan mata selama 3 hari 3 malam, dopamin dan adrenaline sedang tinggi-tingginya, penuh awas dan siaga.

Mental suami saya sedang sakit jauh melebihi sakit fisiknya. Selama ini dia memendam berbagai masalah yang tidak dia ceritakan, merasa baik-baik saja dan tumbang dalam sekali hantam, luluh lantak. Sungguh tak sepadan jika melihat badannya yang tinggi besar. Untuk memulihkan tentu saja bukan pekerjaan instan, butuh waktu dan proses yang tidak sebentar.

Kejadian ini adalah tamparan Allah atas kelalaian kami. Banyak hikmah yang disematkan untuk kami petik dan jadikan pelajaran. Pandemi yang bagi saya selama ini adalah momen hore karena sering WFH, nyatanya Allah pampangkan di hadapan kami dengan gamblang bahwa betapa mengerikan medan tempur yang nakes hadapi setiap hari. Pasien yg datang dan pergi silih berganti, ada yang sembuh, atau mati. Corona itu bukan besok atau nanti, bukan disana tapi juga disini. Bersimpati dan berempati atas kehilangan ribuan nyawa yg sudah berjuang. Semoga ada pelangi yang menanti kami dibalik badai dahsyat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun