Tetapi jam 1.30 suami mengajak lagi ke IGD. Hmmm...saya mengiyakan, mengganti baju untuk kesekian kali, melaju motor kami menembus dinginnya udara dini hari. Perawat yg sama masih hafal dengan wajah kami, couple yg rajin sambang IGD mungkin begitu pikirnya. Kali ini dokter mengijinkan rawat inap. Padahal baju ganti dan perlengkapan lain sengaja nggak dibawa. Yasudah gampang, dipikirin nanti aja kalo itu deh.Kemudian saya diarahkan sekuriti untuk ke bagian administrasi, mengisi form terkait tracing dan tracking.
Setelah pemasangan infus, kami menunggu di depan ruang rontgen untuk mengantri dan menunggu kamar di ruang isolasi karantina disiapkan. Cuma beberapa jam saja disana, tetapi rasanya waktu seperti berjalan selamanya. Di sebelah kami terbaring seseorang yg dipasang alat bantu nafas, yg ditunggui 2 orang keluarganya, semuanya perempuan.
Bunyi nafasnya yg berderu sesuai irama jantung yg berpacu, dadanya pun kembang kempis naik turun. Bebarengan dengan bunyi alat di sebelahnya, Tit Tit Tit. Saya berbisik di telinga suami "Sudah Yah, gak usah didengerin, Ayah istirahat dulu, coba merem". Dengan anggukan lemah dia berusaha menuruti anjuran saya.
Karena saya pikir masih ada jeda waktu, secepat kilat saya menemukan ide untuk pulang dulu sebentar mengambil perlengkapan rawat inap, karena jarak rumah kami yang memang nggak begitu jauh. Sudah tak sempat lagi menghiraukan peliharaan di rumah: ayam, ikan dan tanaman-tanaman yg mungkin sudah meronta-ronta kehausan. Saya berpamitan pada rumah yang mungkin akan kosong dalam waktu lebih dari seminggu ini. Sabar ya, doakan kami kembali dengan sehat agar bisa memenuhi hak kalian kembali.
Saya kembali kurang dari setengah jam. Tak lama kemudian, notifikasi WA HP suami menyala. Dibacanya pesan singkat dari saudara ipar yang juga nakes bahwa hasil swab saya dan suami keduanya positif. Walaupun sudah tahu, suami saya masih saja shock, denial. Sorot matanya mengutuk, menyumpah serapahi keadaan kami saat itu.
Saya sadar sudah tak mendengar lagi nafas yang sedari tadi riuh itu. "Ah, mungkin saya udah mulai ngantuk", pikir saya walau tak pernah menguap sekalipun selama beberapa hari ini. Tak lama kemudian, anggota keluarga yang sedari tadi tiduran di kursi yg saya pinjamkan tergesa-gesa memanggil perawat, air matanya sudah menggenang di sudut mata. Perawat yg datang dengan cekatan melakukan RJP (Resusitasi Jantung Paru), sekali dua kali tak ada respon. Pecahlah tangis mereka berdua, meraung-raung, menyayat hati.Â
Segera saya melihat suami sudah menangis sesenggukan juga dengan kesedihan yg sama. Ya Allah, mentalnya pasti sangat down. Saya besarkan hatinya dengan menggosok kepala dan mengusap punggungnya, memeluknya, mengajaknya keluar dari ruangan itu. Ah, begitu terasa kematian sedekat nadi. Walaupun ingin duduk bersimpuh dan berteriak juga menangis sekencang-kencangnya, saya memilih bertahan dan insyaallah akan kuat dan bismillah dikuatkan, karena saat ini saya menjadi satu-satunya tempat bersandar suami. Allahumma Alif Kuwwati.
Kami memasuki ambulance dan diantarkan di gedung paling belakang, Red Zone : Ruang Isolasi Karantina, Â menempati lantai bawah, bagian timur, dekat gerbang masuk. Selamat datang di area pertaruhan nyawa.
Suasana gedung yg berbeda, begitu suram, tenaga medis lengkap memakai hazmat dan masker berlapis-lapis. Kamar-kamar sempit bersekat kaca. Sekilas tampak pasien mengenakan selang oksigen, ada juga suara tangisan bayi, rintihan dan isak lirih. Bismillah ya Allah asy Syafii, sembuhkan kami dari penyakit yg saat ini sedang meraja lela di negeri kami.
Lima hari empat malam kami habiskan di gedung RIK. Dengan fasilitas apa adanya tapi dengan nutrisi dan obat terjamin. Bed yg cuma disediakan 1 membuat saya dan suami berbagi tempat tidur demi kami berdua agar sama-sama bisa keluar dengan sehat.Â
Malam pertama yg luar biasa rasa-rasanya mustahil akan terlewati dengan baik. Suami saya berubah menjadi orang yang tidak saya kenal. Penuh halu kalau bahasa sekarang. Semalaman saya mendengar celotehnya tentang bayangan dan mimpi aneh yg dialami, tentang apapun yg mengganjal di benaknya. Saya ajak berdzikir dan ngobrol sama Allah agar hatinya tenang dan tidak berpikiran aneh-aneh. "Buang saja semua sampah di kepalamu, bersihkan agar tidak menjadikan penyakit betah, aku siap menampung semua keluhmu". Dan malam itu menjadi tanpa ujung dan jeda. Tidak memejamkan mata selama 3 hari 3 malam, dopamin dan adrenaline sedang tinggi-tingginya, penuh awas dan siaga.