Mohon tunggu...
Venty Nilasari
Venty Nilasari Mohon Tunggu... Guru - Guru

Belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Menjadi Guru adalah Jalan Ninjaku (Part 2)

18 April 2024   15:16 Diperbarui: 18 April 2024   15:19 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image Courtesy: Foto Pribadi

Sepuluh tahun lebih yang lalu, saya mendaftar program nasional pengiriman guru ke luar jawa yang kabarnya saya peroleh dari ikatan alumni kampus via sms. Bonek, bondo nekat memang waktu itu karena saya tidak meminta ijin Mama. Setelah ada pengumuman diterima barulah saya memohon doa restu beliau agar rela melepas putri sulungnya pergi merantau selama setahun. 

Berhasil melalui berbagai seleksi, kami akhirnya diberangkatkan secara resmi ke berbagai penjuru negeri yang kemudian disebut daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal). Setelah sebelumnya kami dididik dan dilatih ala militer selama seminggu lebih sebagai bekal agar jiwa ketahanmalangan kami terlatih. Ini adalah salah satu program terobosan pemerintah untuk menyetarakan pendidikan di nusantara yang memakan tidak sedikit anggaran. Bahkan kami digadang-gadang menjadi solusi peningkatan SDM guru Indonesia. Harapan yang terlalu tinggi menurut saya. Padahal kalau dibandingkan, jumlah kami adalah bagian yang sangat kecil dari himpunan raksasa guru-guru di Indonesia Raya.

Memperoleh fasilitas yang lumayan terjamin juga teman-teman seperjuangan dari kampus lain di tempat pengabdian menjadikan waktu yang kami lewati berjalan sedikit lebih cepat. Tentu saja rindu pada keluarga tak dapat terobati dengan bertukar kabar via telepon, tak ada video call seperti saat ini. Saya hanya bisa bersabar dan bertahan sambil menghitung hari.

Kami ditempatkan di satu-satunya SMA yang muridnya mencapai seribu lebih, sampai dibuat dua shift karena kurang ruang kelas. Bertujuh, kami ibu-ibu guru yang masih membujang menempati sebuah rumah mungil semi permanen di dataran tinggi di desa Benteng Todo, kecamatan Cibal, kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Beratap seng dan berdinding bambu juga tidur beralaskan papan kayu. Air bersih hanya menyala dari pagi sampai sore. Kalau musim hujan, kami senang bukan kepalang karena persediaan air melimpah. Kami menampung air hujan dalam timba dan bak untuk mandi, cuci baju dan cuci piring.

Budaya, agama, adat dan geografis yang berbeda membuat saya semakin mencintai Indonesia yang sangat kaya. Bertoleransi dan berbaur dengan masyarakat menjadikan kami dan penduduk sekitar cepat akrab. Kami sudah fasih berbahasa dan berlogat lokal dalam hitungan minggu. Ibu guru molas jawa kata mereka. Artinya ibu guru cantik dari jawa.

Saya orang pesisir yang dipaksa beradaptasi dengan udara dingin. Tiap malam harus bergelut dengan selimut tipis dan kaus kaki yang sepertinya tak banyak membantu menghangatkan badan. Tidur menggigil dan ditemani nyanyian nyamuk dan jangkrik.

Jauh dari sanak saudara, menjalani hidup sederhana dan terasing membuat saya lebih bersyukur menjalani kehidupan saya selama ini. Kami masih jauh lebih beruntung ditempatkan di daerah yang ramai penduduk. Teman-teman kami bahkan harus menyekat ruang kelasnya untuk dijadikan kamar. 

Mengangkut jerigen-jerigen air, mengungsi ke desa lain untuk sekedar mandi dan bersuci adalah cerita yang sering kami dengar dari rekan kami. Mengerjakan shalat dengan berpatok pada matahari dan jam, karena kami tidak mendengar suara adzan. Untuk mencapai masjid, kami harus menempuh waktu satu jam perjalanan paling cepat ke arah kota. Memang kami sedang menjadi kaum minoritas dalam masyarakat Katolik.

Berjalan kaki berpuluh kilometer jaraknya untuk mencari pohon sinyal demi lancarnya komunikasi dengan keluarga di kampung halaman biasa dilakukan di hari Minggu. Handphone juga harus rajin di charge karena listrik di tempat kami tidak bisa diprediksi. Jika sedang padam, kami akan menyalakan ublik yang kami buat sendiri dari botol kaca bekas minuman bervitamin. Praktis pada pagi hari saat kami bangun tidur, hidung kami sudah hitam penuh jelaga. Hahaha.

Jika sedang ada pesta di kampung, entah itu Sambut Baru (anak menerima komuni suci pertama, istilah umumnya aqil baligh), Masuk Minta (lamaran) dan Antar Belis (mengantar mas kawin) kami dipersilakan untuk memasak sendiri makanan kami karena dalam menu mereka sudah pasti ada daging babi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun