Mohon tunggu...
Ajie Marzuki Adnan
Ajie Marzuki Adnan Mohon Tunggu... profesional -

Manusia biasa, suka tidur, suka browsing internet, suka baca komik Doraemon juga. Getting older but still a youth!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Media Sosial dan Gilanya Euforia Beragama Kita

17 Oktober 2016   09:41 Diperbarui: 17 Oktober 2016   17:40 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: economist.com

Kafir, Kristenisasi, Angelina Jolie Masuk Islam, Konspirasi Yahudi & Freemason dan berita berita berkaitan agama penuh sesak mengisi linimasa facebook, sampai-sampai karena merasa enough is enough saya terpaksa mengambil langkah drastis: Unfollow mereka yang sharing berita soal politik agama, tidak perduli saudara, sahabat, teman atau sekedar kenalan; bahkan beberapa akun dengan berat hati harus saya unfriend karena sudah keterlaluan walaupun pada akhirnya saya follow kembali (beberapa di antaranya, demi menjaga tali persaudaraan). 

But don't get me wrong, saya juga mem-follow page group Facebook seperti FPI, HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), & ICMS (Indonesian Congress of Muslim Students) yang oleh sebagian orang disebut sebagai kelompok konservatif only for the sake of menjaga objektivitas saya melihat permasalahan yang muncul. Ya, dalam tulisan ini seperti biasa saya akan melihat dari kaca mata netral, alias melihat agama hanya sebagai objek observasi dengan melucuti segala afiliasi sistem kepercayaan apapun dengan diri saya.

'Muak' di sini tentu tidak sama maknanya dengan muak saat saya di-bully teman sebangku SMP dulu hingga akhirnya saya melayangkan tinju ini ke wajahnya & mematahkan hidungnya lalu akhirnya dipanggil ke ruang BP. Muak di sini sekadar idiom hiperbolik semiotik untuk menunjukkan betapa berlebihannya orang Indonesia menyikapi fenomena yang berkorelasi dengan sistem kepercayaannya. Ditambah dengan meleknya media dengan mass hysteria agama ini membuat eksploitasi irrasional terhadap berita berita soal agama semakin menggila.

Tengok saja media media online yang bahkan tidak paham etika jurnalistik yang banyak di-share kawan-kawan kita di medsos, bahkan mungkin Anda sendiri khilaf pernah membagikan artikelnya. Kombinasi maut antara eksploitasi berlebihan media, ketidakmampuan bersikap inklusif dan kurangnya kemampuan rasionalisasi masyarakat kita pada umumnya menghasilkan apa yang saya pribadi menyebutnya Euforia Beragama.

'Semua harus berkaitan dengan agamaku' adalah prinsip nomor 1 dalam euforia beragama di negeri ini. Ingin mengirim manusia ke luar angkasa? Harus dikaitkan dengan agama. Bumi itu bulat atau trapesium? Harus dikaitkan dengan agama. Memilih Pemimpin administratif? Harus dikaitkan dengan agama. Makan kerbau atau kelinci? Harus dikaitkan dengan agama. Hormat ke bendera atau ke setumpukan batu? Harus dikaitkan dengan agama. Search saja semua hal yang eksis di semesta alam ini di google dengan Bahasa Indonesia, pasti setidaknya muncul (banyak) hasil yang mengaitkan hal tersebut dengan agama. Mungkin karena itulah saya berhenti melakukan penelurusan via google dengan Bahasa Indonesia sejak saya lulus SMA 10 tahun silam, karena hasil yang keluar tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah; semuanya melulu dikaitkan dengan reliji. Seakan tidak ada hal yang lebih penting ketimbang beringar bingar soal agama ini yang bahkan Tuhan pun mungkin akan geleng-geleng kepala andai saja kita bisa melihat wujud-Nya.

Pun juga agama di negeri ini seakan menjadi satu satunya hal yang paling penting menurut standarnya. "Pokoknya semua hal yang berkaitan dengan hidup harus identik dengan interpretasi saya mengenai apa yang agama saya perintahkan," mungkin begitu kurang lebih pemikiran mereka. "Persetan dengan orang lain yang tidak sejalan dengan interpretasi gue!" lanjutnya. Bahasa kerennya abad kegelapan di Eropa "Heresy!" Perasaan paling benar adalah salah satu trait/karakteristik paling menonjol (setidaknya menurut observasi saya) dari orang orang yang menganut mengalami sindrom euforia beragama. Hasilnya? Sama-sama satu agama bertengkar satu sama lain karena beda mahzab.

Sama-sama satu mahzab saling pukul pukulan karena berbeda aliran. Sama sama satu aliran saling memaki karena berbeda pilihan calon pemimpin. "Pokoknya kalau ngga identik sama gue itu salah," salaknya. Kalau dulu seorang inkuisitor (inkuisitor: orang yang berhak menentukan bid'ah/heresy terhadap seseorang) di Eropa hanya bisa ditunjuk oleh otoritas Takhta Suci Vatikan, maka di Indonesia siapapun yang merasa paham agama boleh menjadi seorang inkuisitor atau bahkan seorang eksekutor.

Ada dua penyakit utama yang diidap oleh bangsa ini: theophobia dan xenophobia. Theophobia adalah rasa takut terhadap agama lain (merasa agama lain ingin menghancurkan agama dan umat agama yang dia anut). Xenophobia adalah rasa takut terhadap orang asing/negara asing (merasa negara lain ingin selalu menghancurkan/merusak negaranya sendiri). Keduanya merupakan hal yang berbahaya bagi negara di zaman yang serba mobile dan cepat ini.

Theophobia berpotensi memecah negara ini menjadi kelompok kelompok agama kecil atau bahkan bisa menggiring ke konflik sektarian seperti di banyak negara Timur Tengah seperti Irak, Suriah dan Afghanistan. Xenophobia bisa membuat negara ini tertutup dengan berfalsafah pada adagium kadaluwarsa 'berdiri di kaki sendiri': Tidak ada satupun negara di bumi yang bisa berdiri sendiri. Semua negara di dunia ini butuh negara lainnya, suka atau tidak suka. Ingin tahu contoh negara yang merasa bisa berdiri sendiri? Cukup kunjungi Korea Utara dan anda akan tahu rasanya. Kombinasi dua phobia ini bisa jadi petaka besar: bayangkan sebuah negara yang tertutup seperti Korut sekaligus penuh dengan konflik sektarian seperti Syria atau Irak..

Kembali ke persoalan awal.

Tentu kita sama sama tahu hulu dari alasan mengapa saya membuat tulisan ini. Ya benar, tidak lain dan tidak bukan karena hiruk pikuk Pilgub DKI ini. Saya, sekali lagi, muak dengan kampanye soal jangan memilih pemimpin beda agama entah itu di Facebook, Twitter dan Whatsapp. Fakta ilmiah yang saya pelajari selama lebih dari 4 tahun dalam studi politik dan hubungan internasional menunjukkan bahwa pemimpin yang memiliki agama sama bukan segala-galanya dalam peradaban apapun di planet ini. 

Sumber gambar: economist.com
Sumber gambar: economist.com
Bahkan dalam paradigma realisme, dijelaskan dengan cukup gamblang bahwa agama hanyalah sekadar instrumen untuk meraih konsensus dalam berbagai level masyarakat, terutama negara, baik itu negara-bangsa ataupun negara majemuk. Romawi tidak akan bisa meraup kemenangan begitu besar di Eropa dan Asia Timur tanpa bantuan folklore dewa dewi-nya. Jepang tidak akan sanggup menguasai hampir setengah Asia pada masa PD II jika tidak berkat fanatisme Shintoism-nya.

Perang salib selama beratus-ratus tahun tidak akan pernah terjadi bila kedua umat agama, yang mana salah satunya berteriak "Deus vult!" dan pihak satunya lagi berseru "Allahuakbar!", sama sama tidak terjangkiti virus fanatisme kegilaan agama hanya untuk merebut sebuah kota bernama Jerusalem. Pembantaian umat Protestan oleh Gereja Katolik di Eropa pada abad kegelapan pun merupakan saksi dari betapa euforia beragama berpotensi membawa tragedi kemanusiaan bahkan di benua yang paling dianggap maju sekalipun.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah euforia beragama hanya muncul di Indonesia? Sayangnya tidak. Kita ambil contoh saja di Amerika Serikat & Eropa terkait dengan polemik arus imigran Muslim. Ketakutan atas proses Islamisasi di AS & Eropa turut menghantui beberapa kelompok masyarakat di sana. Kelompok-kelompok Republikan di AS dan ultra-nasionalis di Eropa berargumen bahwa dengan mengalirnya imigran dari Timteng yang notabene mayoritas muslim bisa menimbulkan clash of culture di negara negara penerima imigran. Selain itu juga ada ketakutan bahwa basically para imigran ingin menciptakan pemerintahan berbasis hukum Sharia di negara negara Eropa dan AS.

Jika di Indonesia theophobia-nya adalah takut kepada Kristenisasi, maka sebaliknya, di Eropa dan AS yang terjadi adalah theophobia terhadap islamisasi. Tentu kita tahu betapa popularitas kanselir Jerman Angela Merkel yang merosot setahun belakangan karena menerima secara besar-besaran arus pengungsi dari Suriah. Begitu pun dengan ribut-ribut menjelang pemilu di negeri Paman Sam di mana salah satu kandidat Capresnya, Donald Trump, sempat menciptakan polemik panas dengan mengatakan bahwa jika dia terpilih maka AS akan melarang imigran yang beragama Islam dan uniknya, rencana ini tetap didukung baik oleh partai ataupun pendukungnya. 

Di Australia pun sama saja; Pauline Hanson, seorang senat negara bagian Queensland yang terpilih secara demokratis, mengajukan rancangan regulasi untuk melarang imigran Islam masuk ke negeri Kangguru tersebut. Bedanya hanya jika kebanyakan bangsa barat mampu 'menyeimbangkan' antara urusan agama dengan urusan duniawi, maka Indonesia terlalu sibuk hanya dengan urusan agama. Sains telah membawa negara-negara barat ke bulan serta Mars dan berhasil menciptakan nyaris semua produk pionir teknologi elektronik yang kita pakai hari ini, sedangkan heboh soal agama ini telah membawa negeri ini berkutat di situ-situ saja soal syarat mutlak pemimpin harus seagama.

Namun untungnya Indonesia bukan Timur Tengah, bukan pula Eropa pada zaman dark ages, Indonesia adalah Indonesia. Walaupun sejak era reformasi banyak lahir kelompok non-pluralis namun banyak pula gerakan yang berkonsenstrasi pada isu-isu kontemporer dan pluralis yang muncul. Tercipta kesetimbangan antara gerakan konservatif dengan gerakan moderat: dalam sudut pandang pro-pluralis, resistensi masyarakat Indonesia terhadap faham faham anti-pluris cukup masih bisa dianggap baik jika dibandingkan dengan negara-negara serumpun seperti Malaysia & Singapura. 

Hal ini juga di dukung dengan fakta bahwa pada dasarnya Indonesia sejak ribuan tahun silam telah berada dalam situasi yang penuh keanekaragaman: Suku, bahasa, adat istiadat, kebiasaan, sistem kepercayaan yang beraneka ragam dalam scope de facto negara Indonesia seperti yang kita kenal sekarang ini telah membentuk karakteristik unik yang mungkin hanya terdapat di Indonesia. Kita cenderung masih terbuka atau memaklumi atas perbedaan dalam masyarakat, termasuk dengan kelompok minoritas sekalipun. Dalam agama-agama tradisional (non-samawi), perbedaan dewa-dewi berserta roh nenek moyang adalah hal yang wajar.

Dalam bukunya "Sejarah Para Tuhan", Karen Armstrong menerangkan dengan sangat jelas bahwa agama-agama kuno/tradisional, dimana penganutnya masih menyembah banyak dewa-dewi beserta roh nenek moyang, adalah sistem kepercayaan yang paling toleran, paling tenggang rasa. Penganut sistem kepercayaan tradisional meyakini bahwa dewa-dewinya bersifat lokal yang artinya mereka mempersepsikan bahwa mungkin saja mereka yang tidak satu suku/pemukiman dengan mereka (si penganut) memang memiliki dewa-dewi nyata yang berbeda dengan apa yang mereka sembah. 

Berkebalikan dengan agama samawi (Yahudi, Kristen & Islam) yang disebut oleh Karen Armstrong sebagai agama-agama egois: Agama Samawi wajib meyakini bahwa ajarannyalah yang paling benar di dunia, tidak boleh ada ajaran kepercayaan lain yang dianggap benar. Mereka yang mempercayai sistem kepercayaan lain adalah salah, dan mereka yang beralih mempercayai sistem kepercayaan lain adalah heresy dan layak dihukum. Tidak ada kebenaran selain kebenaran absolut agama ini, Tuhan lain selalu salah dan hanya Tuhan khayalan.

Dibandingkan dengan sistem kepercayaan tradisional yang sudah beribu-ribu tahun di Nusantara, agama-agama samawi baru tiba di Indonesia pada abad ke-16. Percampuran antara agama samawi dengan non-samawi tanpa konflik yang berarti ini yang membuat Indonesia berbeda dengan negara-negara Arab atau Eropa. Di Arab dan Eropa, penyebaran agama samawi dilakukan dengan cara koersif atau pemaksaan (perang, invasi, agresi). Sedangkan di Indonesia penyebaran agama samawi dilakukan dengan cara perdagangan, pendidikan, pentas seni, dan perkawinan. 

Menyamakan metode sejarah penyebaran agama samawi di Indonesia dengan di Eropa dan Arab tentu saja kelewat ngawur, dan maka dari itu tidak bisa serta merta kita menarik premis bahwa output dari agama-agama samawi sekarang, termasuk Islam, akan sama persis seperti di Arab atau di Eropa (negara dengan banyak penduduk Islam di Eropa adalah Bosnia).

Maka dari itu saya tidak habis pikir dengan mereka yang ingin menyeret karakter negeri ini jadi seperti ke-Timur Tengah-an. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari negara negara Timur Tengah: sejak zaman peradaban Sumeria sekitar 3500 SM hingga tahun 2016 M ini, tidak pernah ada saat di mana Timur Tengah bebas dari peperangan, tanpa mempedulikan pihak kombatan yang terlibat. Negeri ini ingin dikotak-kotakkan, sektarian, seperti di Irak, Oman, Yaman atau Suriah. Sedangkan Indonesia (Nusantara) dengan kekayaan kultural, sistem kepercayaan, dan budaya jauh di atas negara-negara Arab bisa bertahan puluhan dekade tanpa ada perang terhadap sesama adalah hal yang membanggakan, dimana bahkan negara asing pun turut memuji Indonesia dalam hal ini.

Tapi selalu ada anomali dalam setiap fenomena: Tidak semua orang terjangkiti virus kegilaan beragama ini. Banyak teman teman & kerabat saya yang religius yang masih berpikiran terbuka soal perbedaan pendapat dan tidak merasa paling benar sendiri. Mereka bisa menerima perbedaan walaupun mungkin itu tidak sama persis dengan apa yang mereka yakini dan bisa memisahkan mana urusan ilmu pengetahuan (sains) dengan urusan agama. 

Di Twitter pun ada seorang ustadz yang mungkin tidak terlalu populer walaupun beliau sering mengisi ceramah di TV yang dengan sangat rendah hati bisa menerima perbedaan pendapat dan (sepengetahuan saya) tidak pernah menghakimi seseorang masuk surga atau neraka, sebuah kesejukan yang sudah lama tidak saya dengar atau baca dari seorang pemuka agama. Walaupun begitu mungkin juga justru saya yang salah, bisa saja ternyata di luar sana lebih banyak orang yang sehat dari virus kegilaan ini daripada mereka yang berpenderita, hanya saya saja yang kurang wawasan dan terlalu bodoh untuk melihat hal tersebut. 

Menurut hemat saya pribadi, sudah saatnya kegilaan euforia beragama ini mulai direm. Tempatkan agama pada tempatnya, yakni pada ranah pribadi dan kelompok. Negara, yang mana dalam konteks ini adalah negara majemuk Indonesia, sudah selayaknya dilepaskan dari kepentingan-kepentingan pribadi agama tertentu. Sudah saatnya di abad ke-21 ini kita mulai berpikir ilmiah, mulai bisa membatasi diri mana yang perlu dikaitkan dengan agama dan mana yang tidak, sehingga kelak saat saya melakukan penelusuran lewat google dengan bahasa Indonesia tidak lagi terus-terusan dicekoki dengan artikel-artikel yang selalu dikaitkan dengan agama. Perlu ada pola pikir yang berusaha menyeimbangkan pentingnya urusan duniawi dan urusan afterlife, salah satunya dengan pendidikan yang berkualitas. Namun entahlah, saya pun tidak tahu persis kapan orang orang negeri ini mulai paham bahwa sains yang membuat mereka bisa berselancar di internet dan membaca tulisan ini, bukan agama....

Ditayangkan pula di blog pribadi dengan judul asli 'IndonGama'

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun