Mohon tunggu...
Ajie Marzuki Adnan
Ajie Marzuki Adnan Mohon Tunggu... profesional -

Manusia biasa, suka tidur, suka browsing internet, suka baca komik Doraemon juga. Getting older but still a youth!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Media Sosial dan Gilanya Euforia Beragama Kita

17 Oktober 2016   09:41 Diperbarui: 17 Oktober 2016   17:40 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: economist.com

Maka dari itu saya tidak habis pikir dengan mereka yang ingin menyeret karakter negeri ini jadi seperti ke-Timur Tengah-an. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari negara negara Timur Tengah: sejak zaman peradaban Sumeria sekitar 3500 SM hingga tahun 2016 M ini, tidak pernah ada saat di mana Timur Tengah bebas dari peperangan, tanpa mempedulikan pihak kombatan yang terlibat. Negeri ini ingin dikotak-kotakkan, sektarian, seperti di Irak, Oman, Yaman atau Suriah. Sedangkan Indonesia (Nusantara) dengan kekayaan kultural, sistem kepercayaan, dan budaya jauh di atas negara-negara Arab bisa bertahan puluhan dekade tanpa ada perang terhadap sesama adalah hal yang membanggakan, dimana bahkan negara asing pun turut memuji Indonesia dalam hal ini.

Tapi selalu ada anomali dalam setiap fenomena: Tidak semua orang terjangkiti virus kegilaan beragama ini. Banyak teman teman & kerabat saya yang religius yang masih berpikiran terbuka soal perbedaan pendapat dan tidak merasa paling benar sendiri. Mereka bisa menerima perbedaan walaupun mungkin itu tidak sama persis dengan apa yang mereka yakini dan bisa memisahkan mana urusan ilmu pengetahuan (sains) dengan urusan agama. 

Di Twitter pun ada seorang ustadz yang mungkin tidak terlalu populer walaupun beliau sering mengisi ceramah di TV yang dengan sangat rendah hati bisa menerima perbedaan pendapat dan (sepengetahuan saya) tidak pernah menghakimi seseorang masuk surga atau neraka, sebuah kesejukan yang sudah lama tidak saya dengar atau baca dari seorang pemuka agama. Walaupun begitu mungkin juga justru saya yang salah, bisa saja ternyata di luar sana lebih banyak orang yang sehat dari virus kegilaan ini daripada mereka yang berpenderita, hanya saya saja yang kurang wawasan dan terlalu bodoh untuk melihat hal tersebut. 

Menurut hemat saya pribadi, sudah saatnya kegilaan euforia beragama ini mulai direm. Tempatkan agama pada tempatnya, yakni pada ranah pribadi dan kelompok. Negara, yang mana dalam konteks ini adalah negara majemuk Indonesia, sudah selayaknya dilepaskan dari kepentingan-kepentingan pribadi agama tertentu. Sudah saatnya di abad ke-21 ini kita mulai berpikir ilmiah, mulai bisa membatasi diri mana yang perlu dikaitkan dengan agama dan mana yang tidak, sehingga kelak saat saya melakukan penelusuran lewat google dengan bahasa Indonesia tidak lagi terus-terusan dicekoki dengan artikel-artikel yang selalu dikaitkan dengan agama. Perlu ada pola pikir yang berusaha menyeimbangkan pentingnya urusan duniawi dan urusan afterlife, salah satunya dengan pendidikan yang berkualitas. Namun entahlah, saya pun tidak tahu persis kapan orang orang negeri ini mulai paham bahwa sains yang membuat mereka bisa berselancar di internet dan membaca tulisan ini, bukan agama....

Ditayangkan pula di blog pribadi dengan judul asli 'IndonGama'

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun