Mohon tunggu...
Ni Nyoman Vena Riana Dewi
Ni Nyoman Vena Riana Dewi Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger

Currently studying Communication Science. Food and beauty enthusiast. Interested in Journalism. :) Email: venariana.dewi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Bumi Manusia: Kehidupan Pelik Bangsa Indonesia di Era Kolonialisme

11 November 2020   10:25 Diperbarui: 11 November 2020   11:04 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bumi manusia merupakan film karya Hanung Bramantyo yang diangkat dari novel terkenal tulisan Pramoedya Ananta Toer. Film ini berdurasi 3 jam dan ditayangkan pada 15 Agustus 2019, mendekati hari kemerdekaan Indonesia. 

Film ini diperankan oleh Iqbaal Ramadhan sebagai Minke, Mawar Eva De Jongh sebagai Annelies Mellema dan Nyai Ontosoroh sebagai gundik serta Ibu kandung Annelies. 

Bumi Manusia ingin mengangkat perjuangan rakyat Indonesia di masa kolonialisme dalam melawan penindasan bangsa Eropa, dimana pada saat itu Eropa masih menjajah Indonesia dan pribumi diinjak-injak di negerinya sendiri.

Dalam Costanzo (2014) dituliskan bahwa nasionalisme merupakan kepercayaan akan keunggulan bangsanya sendiri. 

Para kaum nasionalis kerap bersikap defensif terhadap budaya dan bangsa lain, serta menolak percampuran budaya melalui arus migrasi lintas batas.

Pada masa penjajahan Eropa, nasionalisme di Indonesia terlihat dalam perlawanan para rakyat terhadap bentuk-bentuk tindakan kolonialisme yang menindas bangsa pribumi. Kesadaran nasionalisme ini timbul karena adanya keinginan untuk membebaskan diri dari penindasan tersebut.

Nasionalisme dalam film Bumi Manusia dapat kita lihat dari beberapa cuplikan adegan berikut ini.

1. Adegan Minke menggunakan bahasa Belanda

Sumber: Raria Media
Sumber: Raria Media
Minke beberapa kali diperlihatkan menggunakan bahasa Belanda dan melawan ketika direndahkan oleh para kaum Eropa. Namun, Minke tidak mau diam begitu saja, ia berani melawan. 

Bahkan jika sudah sangat emosi, ia akan melawan menggunakan bahasa Belanda yang pada saat itu dianggap tidak sopan karena tidak setara.

Disini, Minke ingin memperlihatkan bahwa ia dengan para kaum Eropa seharusnya mendapatkan kesetaraan. Terlebih, ia bersekolah di HBS (Hoogere Burgerschool) dan sama-sama mengenyam pendidikan dengan para kaum Eropa.

Sikap nasionalisme Minke dapat terlihat bahwa ia ingin memperjuangkan kesetaraan akan bangsanya. Rasanya, ia tak rela jika kaumnya diinjak-injak oleh penjajah di negerinya sendiri.

2."Kita akan jadi pribumi pertama yang melawan pengadilan putih, Nyo. Bukankah itu suatu kehormatan juga?"
Adegan ini mungkin masih terkenang di ingatan para penonton. Ketika Tuan Mellema meninggal dunia, harta warisan dan kekayaan keluarga Mellema pun mulai diributkan. 

Seharusnya, kekayaan yang sudah diperjuangkan oleh Nyai Ontosoroh dapat turun terhadapnya. 

Namun, tidak semudah itu bagi Nyai Ontosoroh yang kala itu hanya sebagai gundik dari Mellema, yang derajatnya dianggap setara dengan binatang.

Sumber: Youtube Falcon Pictures
Sumber: Youtube Falcon Pictures
Mereka pun harus melalui proses pengadilan yang pada masa itu hanya berpihak terhadap kaum Eropa dan penuh dengan diskriminasi. 

Hak Minke sebagai suami sah Annelies di mata agama direnggut, hak Nyai Ontosoroh sebagai Ibu kandung Annelies juga direnggut. 

Nyai Ontosoroh kala itu sudah tidak peduli lagi jika harta kekayaannya harus diambil oleh anak sah Mellema dari Belanda, asal Annelies masih bersamanya. 

Namun, pengadilan tetap mengesahkan Annelies untuk dirawat oleh wali Annelies di Belanda, tidak peduli Nyai adalah Ibu kandungnya.

3.
"Bagi mereka Pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih, jadi Pribumi pun sudah salah."

Dialog ini dicetuskan oleh Nyai Ontosoroh ketika Nyai dan Minke harus menghadapi pengadilan Eropa. Hal ini terlihat bahwa di era kolonialisme dulu, pribumi masih terinjak-injak harga dirinya dan selalu salah di mata Eropa. 

Apapun kejadiannya, siapapun yang salah dan benar, tetap bangsa Eropa pemenangnya. 

Sumber: detikHOT
Sumber: detikHOT

Nasionalisme dapat terlihat disini, bahwa walau Nyai Ontosoroh dan Minke sudah tahu bahwa akhirnya mereka akan kalah, namun mereka tetap ingin memperjuangkan hak dan keadilan bagi pribumi.

4. Para pribumi yang mendukung Nyai Ontosoroh dan Minke

Sumber: Falcon Pictures
Sumber: Falcon Pictures

Pada masa itu, hampir tidak ada pribumi seberani Minke dan Nyai Ontosoroh dalam melawan kaum Eropa. Mereka memilih untuk diam dan tunduk dalam pemerintahan yang kerap melakukan diskriminasi terhadap para pribumi.

Ketika Minke dan Nyai Ontosoroh ramai diperbicarakan karena akan menjadi pribumi pertama yang melawan di Pengadilan Eropa, para pribumi ini pun lantas mendukung mereka. 

Bahkan, mereka juga membantu melindungi rumah Nyai dan Annelies ketika di serang paksa oleh kaum Eropa.

Kalah dengan terhormat

Film Bumi Manusia ditutup oleh sebuah kalimat dari Nyai Ontosoroh yang cukup menohok hati para penonton, "Kita sudah melawan, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya."

Dari Bumi Manusia, kita bisa melihat bahwa Minke dan Nyai Ontosoroh membuktikan bahwa mereka berusaha mempertahankan hak pribumi mereka, dan melawan dengan cerdas melalui tindakan yang menohok sehingga kaum Eropa kesal.

Di akhir cerita, memang akhirnya Nyai Ontosoroh dan Minke kalah melawan pengadilan Eropa. Tentu, tidak mengherankan lagi karena pada masa kolonial, Eropa selalu benar dan pribumi selalu salah. 

Sekuat-kuatnya melawan, bagaimanapun perjuangannya, pada masa kolonial, kesetaraan akan bangsa memang masih belum ada.

Nasionalisme di luar Film Bumi Manusia

Ketika tayang di bioskop, para penonton Bumi Manusia harus menyanyikan lagu Indonesia Raya terlebih dahulu sebelum film dimulai. 

Hal ini juga salah satu sisi nasionalisme yang ingin diperlihatkan oleh tim film Bumi Manusia, agar sebelum menonton, masyarakat dapat merasakan terlebih dahulu suasana nasionalisme ini.

Sumber: Uzone.id
Sumber: Uzone.id

Dikutip dari suara.com, Hanung Bramantyo selaku sutradara mengatakan bahwa rilisnya film yang berdekatan dengan perayaan hari ulang tahun Indonesia ini merupakan momen yang pas untuk merenungi apa yang telah kita lakukan selama ini. 

Perenungan mengingat kembali, bagaimana Indonesia dulu dalam Bumi Manusia.

Dari film ini, kita bisa belajar bahwa di masa lampau, rakyat Indonesia berjuang mati-matian untuk mengejar kesetaraan dan melawan ketidakadilan dari para bangsa Eropa. 

Harapannya, dari sini kita bisa menghargai sikap nasionalisme dan bersyukur akan kehidupan di masa sekarang, mengingat bagaimana perjuangan masyarakat dulu dalam melawan penindasan penjajah.

Lantas, bagaimana pendapatmu mengenai Bumi Manusia? Apakah pesan nasionalisme ini tersampaikan dengan baik? Semoga kita selalu dapat menjunjung nasionalisme di era globalisasi ini ya!

Sampai jumpa di tulisan berikutnya! :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun