Monad adalah entitas spiritual yang tak terhingga dan tak berkeluasan. Bagi Leibniz, semua entitas tersusun dari banyak Monad yang masing-masing memiliki prinsip. Keharmonisan antara setiap monad bukan dipahami sebagai interaksi yang cocok atau dalam bahasanya Aristoteles sebagai relasi kausalitas. Keharmonisan itu tidak lain sudah ditentukan oleh Monad Purba, yakni Allah sendiri. Sebetulnya apa yang diuraikan oleh Leibniz sudah menyentuh persoalan metafisis. Afirmasi atas eksistensi Allah yang ditegaskannya seolah menjadikan  metafisika sebagai puncak dari segala disiplin ilmu pengetahuan.
Kritik atas Pemikiran Leibniz
Doktrin tentang Dasar Eksistensi yang dideklarasikan olen Leibniz memiliki konsekuensi etis yang amat memilukan. Leibniz yang menegasi prinsip kausalitas tentu saja bertentangan dengan realitas keseharian hidup manusia. Meskipun Leibniz berdalih bahwa kausalitas hanyalah fenomena yang menipu mata atau sebatas persepsi subyek, namun harus diakui bahwa kausalitas atau prinsip sebab-akibat adalah fenomena yang dialami oleh setiap manusia dari zaman ke zaman.Â
Fenomena ini memiliki hubungan yang erat dengan aktivitas  manusia dalam memaknai hidupnya. Meskipun Leibniz mengatakan bahwa manusia memiliki monad-monad yang secara alamiah tertuju kepada Allah, namun hal itu hanya mungkin kalau manusia juga mengakui bahwa fenomena kesehariannya adalah bagian per bagian sejarah hidup yang memiliki hubungan sebab-akibat antara satu sama lainnya. Sebab, refleksi atas Allah pun melulu membutuhkan refleksi atas keseharian hidup yang bagian per bagiannya memiliki hubungan sebab akibat.
Tanpa kausalitas, seorang manusia takkan mampu membuat refleksi atas hidupnya. Dikatakan demikian, lantaran refleksi adalah aktivitas yang membutuhkan daya ingat akan peristiwa masa lalu hingga kini. Armada Riyanto menegaskan bahwa fenomen atau realitas itu naratif, berkesinambungan. Â Dalam aktivitas berefleksi, antara masa lalu dan masa sekarang melulu dilihat dalam hubungan sebab-akibat. Masa sekarang tidak lain adalah fenomena yang disebabkan oleh masa lalu. Sulit untuk mengadakan sebuah refleksi mendalam tatkala melihat masa lalu sebagai pengalaman yang secara kebetulan berada sebelum masa sekarang. Padahal, makna hidup diperoleh berdasarkan pengalaman masa lalu yang secara kronologis bergerak menuju kekinian. Dan itu tentu saja berimbas pada pemaknaan atas masa sekarang dan atas identitas Allah. Manusia adalah dia yang menciptakan sejarah hidupnya sendiri.
Tanpa kausalitas, kenyataan sosial bukanlah sebuah keniscayaan. Maksudnya, bila halnya setiap realitas partikulir -- dalam hal ini setiap subyek sosial -- memiliki prinsip yang tidak saling berhubungan satu sama lain, maka kehidupan bersama menjadi kenyataan yang tak berangkat dari motivasi subyek, melainkan sebatas kenyataan yang sudah ditentukan atau sudah "disetel" oleh Monad Purba. Kehendak bebas dengan demikian telah dibatasi oleh kehendak Monad Purba.
Perbuatan baik dalam hal ini sama sekali tidak berangkat dari kehendak bebas setiap subyek. Temuan ini sulit diterima, sebab dalam kenyataannya, perbuatan baik itu melulu relasional. Artinya, perbuatan baik itu tidak pernah berada dalam dirinya sendiri, melainkan melulu bergerak keluar. Atau dalam pandangan Levinas, aktivitas kebaikan itu melulu terjadi ketika berhadapan dengan "wajah" yang lain, yang tidak membiarkan orang lepas bebas tidak bereaksi. Â Dengan kata lain, kehendak untuk berbuat baik melulu disebabkan oleh kenyataan hubungan sebab-akibat setiap subyek sosial. Atau sebagaimana yang ditegaskan oleh Habermas, "Kesepakatan bersama hanya mungkin kalau ada pertimbangan intersubjektif". Â Relasi intersubjektif mustahil tanpa ada hubungan sebab-akibat antara setiap subjek.
Doktrin ini juga punya konsekuensi yang berbahaya bagi kehidupan bersama. Jika tetangga kita sedang dilanda kesusahan akibat kemiskinan, mana mungkin kita berdalih bahwa hati kita tidak tergerak untuk membantu mereka dengan alasan bahwa sebetulnya perasaan belas kasih tersebut sama sekali tidak disebabkan oleh kenyataan bahwa tetangga kita membutuhkan pertolongan. Atau bila rumah tetangga kita tersulut api yang datang dari dapur rumah kita; apakah kemudian kita mengatakan bahwa kebakaran tersebut hanya peristiwa yang secara kebetulan terjadi setelah api dari dapur rumah kita menyulut ke rumah tetangga.
Perlu diketahui bahwa manusia, selain memiliki dimensi rasional, pada saat yang sama, ia juga memiliki dimensi relasional. Artinya, manusia tidak pernah tanpa pengalaman berelasi dengan yang lain. Bila doktrin Leibniz tentang dasar eksistensi dipahami dalam keseharian, maka kejahatan bukanlah sebuah fenomena yang diselidiki dalam pola: siapa pelaku dan siapa korban. Sebab, dalam logika Leibniz, pengalaman korban sama sekali tidak pernah disebabkan oleh pengalaman pelaku.
Ketika aktivitas memperkosa hanyalah fenomena yang ada sebelum pengalaman memperkosa atau diperkosa, maka, pelaku pemerkosaan tidak pernah dipersalahkan. Sebab, pengalaman diperkosa sama sekali tidak ada hubungannya dengan kegiatan pelaku saat memperkosa korban. Aktivitas memperkosa dalam hal ini hanya dilihat sebatas peristiwa yang terjadi sebelum korban mengalami trauma yang akut. Dalam Leibniz, kedua peristiwa itu hanyalah sebuah fenomena yang sifatnya koinsidensif. Bukankah hal demikian memilukan?
Harus diakui pula bahwa produk pemikiran Leibniz juga telah membantu penulis dalam menumbuhkan daya kritis atas fenomena sosial dan politik di Indonesia dewasa ini. Politik pencitraan dan kecenderungan KKN dewasa ini bisa dipahami sebagai fenomena yang menipu massa. Dalam hal ini, pencitraan diri sama sekali tidak disebabkan oleh kebutuhan rakyat, melainkan berangkat dari keinginan untuk memperbesar pundi-pundi pribadi para koruptor. Sejalan dengan logika Leibniz, prinsip politik para koruptor sama sekali tidak memiliki hubungan sebab-akibat etis dengan prinsip politik rakyat yang merindukan pemimpin yang jujur.
                Daftar Pustaka