Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Inkulturasi dan Penyebaran Iman Kristiani

2 Februari 2021   19:27 Diperbarui: 2 Februari 2021   19:43 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsili Vatikan II menuntut agar suatu misi ditempatkan kembali pada pusat kehidupan Gereja. Misi dan pelaksanaannya tidak boleh hanya dilihat sebagai aspek hidup Gereja yang ditempelkan secara parsial pada bagian luar Gereja. Misi Gereja harus dipandang sebagai bagian hakiki dari keberadaan Gereja.

 Pembicaraan tentang misi tidak boleh hanya terbatas pada soal-soal administratif, yuridis-konstitusional, dan finansial. Misi harus terintegrasi utuh ke dalam pelaksanaan dan hakikat keberadaan Gereja. Karena itu pembicaraan tentang Gereja memuat refleksi tentang perutusan Gereja. Dokumen Vatikan II yang secara khusus membahas tentang hakikat dan pelaksanaan karya misi ialah Ad Gentes, Lemen Gentium, Dei Verbum, Sacrosanctum Concillium, Gaudium et Spes, dan sebagainya.
Keterkaitan ini sekaligus menunjukkan bahwa misi memang suatu unsur integral Gerejawi (eklesiologis) yang selalu ada dan ikut menjiwai serta diikutsertakan pada setiap tindakan Gereja. Konsili Vatikan II membahas banyak hal tentang identitas Gereja di tengah dunia. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa Gereja merupakan suatu kenyataan sakramental untuk mengenal Allah dan sekaligus menghadirkan Allah.
Korelasi Antara Misi, Antropologi, dan Inkulturasi.


Misi Kristiani yang dibahas dalam Kitab Suci telah dipahami dengan baik oleh Gereja. Hal ini tampak melalui penafsiran yang dibuat Gereja dalam berbagai dokumen. Pemahaman misi dalam Kitab Suci paling tampak pada kenyataan bahwa hingga saat ini iman Kristiani sudah tersebar ke seluruh dunia. Iman Kristiani yang tersebar ke berbagai wilayah di dunia membuktikan betapa misi Kristiani itu berhasil menarik umat untuk mencintai Kristus. Namun, kita juga perlu mengetahui bahwa keberhasilan misi Kristiani tidak terlepas dari kerja keras para misionaris yang tanpa kenal lelah mewartakan Kristus di tengah beragam kultur. Salah satu tantangan misi Kristiani ialah berhadapan dengan penolakan dan tuduhan Kristenisasi. Tuduhan ini tentu saja tak dapat disangkal begitu saja mengingat destinasi misi Kristiani pun sudah terbiasa dengan kebudayaan beserta keyakinan religius tradisional. Berhadapan dengan  kenyataan ini, apa yang datang dari luar tentu saja dianggap sebagai ancaman lantaran dianggap bertentangan dengan keyakinan religius yang mereka pegang sejak lama.  

 Inkulturasi: Anak Kandung dari Antropologi dan Misi Kristiani


Inkulturasi tidak lain adalah produk pertemuan ilmu antropologi dan misi Kristiani. Inkultutasi ditemukan saat para misionaris berhadapan dengan manusia dan kebudayaan di mana ia mengadakan misi. Untuk itu, para misionaris berupaya mengenal manusia dan kebudayaan di mana misi sedang dijalankan melalui ilmu antropologi. Temuan Antropologi penting agar iman Kristiani dapat diwartakan dengan bahasa yang inkulturatif.


Tuduhan yang paling sering datang ialah dari para antropolog. Para antropolog sering kali menuduh para misionaris sebagai pelaku imperialisme agama yang fungsinya tidak lebih daripada memiskinkan ketimbang memperkaya. Akan tetapi di beberapa tahun terakhir ada upaya untuk menghapus beragam prasangka di antara para misionaris dan antropolog. Sebetulnya, kebencian atau lebih tepat tuduhan di anatara kedua pihak ini tidak bersifat alamiah, melainkan dibuat berdasarkan apriori semata. Paul Hiebert bahkan mengatakan bahwa hubungan karya misi dan antropologi adalah "relasi cinta tapi benci". Tuduhan para antropolog tidak sepenuhnya beralasan mengingat banyak pula dari antara para misionaris yang juga adalah seorang antropolog. Jauh sebelum antoropologi dideklarasikan sebagai suatu disiplin ilmu, yakni abad ke-19, beberapa misionaris bahkan sudah melakukan temuan dalam bidang etnografi. Salah satunya ialah seorang misionaris Fransisikan bernama Wilhelm von Rubruk (1215-1270) yang mendapatkan laporan paling berharga dan rinci tentang bangsa-bangsa asia pedalaman. Relasi akrab yang pada mulanya terjadi di antara para anropololog dan misionaris dengan amat jelas dapat disaksikan di Inggris. Pada tahun 1843 himpunan para etnolog London didirikan.


Meskipun demikian, berbagai tuduhan atas misionaris masih sering dilakukan oleh para antropolog. Tuduhan para antropolog atas misionaris juga terkait disposisi Barat para misionaris. Bagi para antropolog, meskipun tesis tentang universalitas umat manusia sudah menjadi disposisi misi, para misionaris tetap saja memiliki tendensi superior budaya Barat atas budaya yang menjadi destinasi misi Kristiani. Selain itu, para antropolog juga menuding bahwa sering kali para misionaris diperalat oleh para penjajah. Namun, perlu diketahui bahwa kemesraan antara para antropolog dan para misionaris berangkat dari kenyataan bahwa mereka berasal dari latar belakang budaya Barat yang sama. Para atropolog juga sebetulnya jatuh pada tendensi yang sama. Para antropolog Inggris tidak perlu merahasiakan bahwa demi mendapatkan gelar profesor mereka berusaha menelorkan gagasan Antropologis yang membantu upaya kolonisasi negaranya. Demikianpun halnya yang dilakukan oleh para antropolog Jerman.

Tudingan yang gencar dilakukan oleh para antropolog kemudian dijawab secara lantang oleh para misionaris melalui inkulturasi. Inkulturasi bukan disiplin ilmu lain yang berusaha menandingi antropologi. Tak dapat dipungkiri bahwa inkulturasi  adalah bagian dari antropologi atau yang seperti yang kami kemukakan di bagian judul: Inkulturasi sebagai Strategi Suksesi Misi Kristiani tidak lain adalah anak kandung dari pertemuan Misi Kristiani dan Antropologi. Melalui Inkulturasi, manusia di mana misi sedang berlangsung tidak lagi dijadikan objek ilmu Antropologi.
Istilah inkulturasi pertama-tama muncul dalam bahasa Prancis pada tahun 1953 sebagai terjemahan kata Inggris "Enculturation". Istilah ini memiliki kemiripan dengan istilah Jerman dan Inggris yaitu "Socialization".

 Beberapa tahun kemudian muncul istilah "Penginjilan dan Inkulturasi". Ini tidak lama setelah istilah inkulturasi muncul dalam beberapa dokumen Gereja (Catechesin Tradendae AAS 71, 1979:  1277-1340). Istilah ini kemudian menjadi istilah yang sangat misiologis. Dikatakan demikian lantaran istilah ini erat kaitannya dengan upaya penyebaran iman Kristiani tanpa jatuh pada upaya pemaksaan keyakinan. Kekuatan istilah "Inkulturasi" terletak pada kemiripannya dengan "Inkarnasi". Dengan kata lain, inkarnasi menjadi model inkulturasi.
Dasar pelaksanaan inkulturasi ialah bahwa Allah yang mengatasi segala kebudayaan dunia mewahyukan diri-Nya lewat suatu kebudayaan tertentu. Semua manusia dapat mengenal Yesus Kristus melalui kebudayaan mereka sendiri. Inkulturasi dengan demikian adalah usaha membahasakan iman Kritiani dalam bahasa budaya di mana misi itu berlangsung. Dalam inkulturasi "mendengarkan" mendapat tempat lebih penting ketimbang "berbicara". 

Pernyataan ini memaksudkan bahwa dalam misi Kristiani yang lebih penting ialah penghargaan atas kebudayaan di mana misi itu berlangsung. Iman Kritiani yang diwartakan harus dapat dihayati sesuai dengan konteks kebudayaan di mana iman itu sedang ditabur. Hal ini ditegaskan secara khusus oleh para Uskup di Zaire, Afrika dalam Konferensi wali Gereja tahun 1977 yang menegaskan bahwa iman Kristiani itu harus "Di-afrika-nisasikan" baik dalam teolog dan liturgi. Pernyataan ini hendak mengatakan bahwa iman Kristiani -- melalui inkulturasi -- harus dapat diungkapkan dalam konteks kebudayaan masyarakat Zaire. Dengan kata lain, iman Kristiani yang bernuansa Barat tidak akan berhasil dipaksakan untuk dihayati dalam masyarakat yang menjadi lokus misi tanpa inkulturasi.
Sampai di sini kita dapat menyimpulkan bahwa inkulturasi adalah suatu tugas penting untuk setiap Gereja lokal. Inkulturasi harus selalu merupakan perpaduan antara Injil, Iman, Gereja, hidup Kristiani dan kebudayaan. 

Studi tentang inkulturasi mau tidak mau menuntut para Misionaris antara Teologi, Misi dan Antropologi. Dengan demikian kemseraan antara misi Kristiani pada akhirnya melahirkan apa yang disebut dengan inkulturasi. Dan relasi ini adalah sebuah keniscayaan. Sebagaimana inkarnasi adalah peristiwa di mana Sang Sabda berusaha menghargai umat manusia dengan lahir dan hidup dalam kebudayaan manusia, demikianpun halnya inkultrasi. Inkulturasi tidak lain adalah upaya misi Kristiani dengan pertama-tama menghargai budaya lokus misi sebagai itu yang juga memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan warta Injil. Inkulturasi meniscayakan corak beriman yang dari konteks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun