Upaya penyebaran iman Kristiani pernah dituduh sebagai usaha pemaksaan keyakinan atas bangsa-bangsa. Tuduhan ini berangkat dari kenyataan bahwa penyebaran iman Kristiani bersamaan dengan kolonisasi bangsa Eropa atas beberapa negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuduhan ini diperkuat oleh semboyan misionaris Kristiani yang provokatif, yakni "Di Luar Gereja Tidak Ada Keselamatan" (Extra Ecclessiam Nulla Salus). Semboyan ini tidak lain adalah konsekuensi teologis dari salah satu dogma Kristiani yang mendeklarasikan Kristus sebagai penyelamat universal. Yang tidak beriman Kristiani dengan demikian tidak dapat diselamatkan.
Seruan ini menjadi problematis ketika berhadapan dengan bangsa-bangsa yang sama sekali tidak mengenal Kristus. Bangsa yang dimaksud di sini tidak lain adalah bangsa-bangsa yang menjadi destinasi misi Kristiani. Bangsa-bangsa ini sama sekali tidak pernah mendengar tokoh heroik yang bernama Kristus. Tidak mungkin mereka beriman tanpa mengenal-Nya. Seruan penyemangat upaya ekspansi iman Kristiani pun menjadi problematis. Dapatkah mereka yang tak bersalah tidak dapat diselamatkan hanya lantaran tidak mengenal Kristus?
Untuk menjawab pertanyaan problematis ini, kita perlu memahami konteks pernyataan "di luar gereja tidak ada keselamatan". Pada dasarnya, pernyataan ini sama sekali tidak bermaksud mengklaim bahwa mereka yang di luar Kristianitas tidak dapat diselamatkan. Yang dimaksudkan dengan pernyataan ini sebetulnya berkaitan dengan persoalan beriman orang-orang Kristiani itu sendiri dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan mereka yang berkeyakinan lain. Pernyataan ini sebenarnya ditujukan kepada orang-orang Kristiani yang sudah dibaptis lalu dengan tahu dan mau meninggalkan Kristus. Dalam Kristianitas, meninggalkan Kristus dengan tahu dan mau sama dengan menyangkal keselamatan yang dilakukan hanya oleh Kristus sendiri.
Dalam tulisan ini, saya akan menguraikan bagaimana misi Kristiani dilakukan agar penyebaran iman yang diwartakan oleh para misionaris Kristiani tidak dituduh sebagai pemaksaan dalam bentuk indoktrinasi dan usaha katolikisasi. Untuk itu, saya akan mendeklarasikan antropologi sebagai salah satu disiplin ilmu yang mumpuni dalam mengenal manusia dan kebudayaan di mana iman Kristiani diwartakan. Dengan demikian iman yang ditaburkan di tempat misi benar-benar kontekstual dengan kultur di mana iman Kritiani diwartakan.Â
Upaya misi Kristiani yang dikawinkan dengan disiplin ilmu antropologi melahirkan apa yang disebut dengan inkulturasi. Inkulturasi dengan demikian adalah upaya suksesi misi Kritiani. Melalui inkulturasi, iman Kristiani benar-benar berangkat dari konteks. Hal ini penting agar tidak memahami iman Kristiani sebagai produk impor yang kemudian diinternalisasi oleh umat di mana iman itu ditaburkan.
Di bagian ini, saya hendak memaparkan gagasan fundamental mengapa misi Kristiani adalah usaha yang mendesak. Untuk itu, saya perlu menyampaikan beberapa data biblis yang berhubungan dengan kemendesakan misi Kristiani sepanjang zaman. Lalu, saya juga memaparkan beberapa Dokumen Gereja dan tentu saja dokumen Konsili Vatikan II terkait misi Kristiani.
Dasar Biblis
Baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, misi melulu dipahami sebagai Allah yang mengutus Putera-Nya ke tengah dunia. Perutusan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru melulu berorientasi pada rencana Allah untuk menyelamatkan dunia di mana Allah sendiri "meraja" atas dunia, dan menjadi segalanya dalam segalanya (1 Kor 15, 28).
Pertama, misi dalam Perjanjian Lama. Dalam Perjanjian Lama, misi dipahami sebagai perutusan diri Allah sejak penciptaan sekaligus usaha penyebaran iman Kristiani dalam sejarah Gereja. Analisa C. Stuhlmueller dan L. Legrand dapat digunakan untuk menjelaskan kedua pemahaman misi di atas. Stuhlmueller memahami misi dalam Perjanjian Lama sebagai Allah yang hadir di tengah bangsa Israel. Dalam hal ini, bangsa Israel dilihat sebagai tanda yang membuka mata dunia bagi tawaran keselamatan yang datang dari Allah. Iman bangsa Israel dengan demikian dipahami sebagai sarana yang dapat mengantar umat manusia pada Allah.
Legrand kemudian memahami misi dalam Perjanjian Lama sebagai usaha untuk menarik orang kafir untuk datang kepada Allah sekali dan pada saat yang sama, menjadikan bangsa Israel sebagai tanda yang menarik bangsa lain kepada Allah. Legrand juga memahami misi sebagai karya Allah yang menyertai bangsa Israel untuk sampai ke tanah terjanji. Perlu diketahui bahwa bangsa Israel adalah satu-satunya bangsa yang meyakini Allah yang monoteis secara tradisional. Hal ini berbeda dengan bangsa-bangsa lain yang meyakini politeisme. Bangsa Israel mempunyai kekhasan dalam kayakinan akan Yang Transenden.
Mereka memiliki kemampuan untuk memahami, menilai dan mengalami peristiwa-peristiwa harian sebagai rahmat. Kekhasan ini membuat bangsa Israel tidak pernah berupaya menyebarkan keyakinannya kepada bangsa lain. Misi dalam Perjanjian Lama -- terutama pada kultur religius bangsa Israel - dipahami sebagai perutusan di tengah bangsa Israel sendiri (Missio Interna) dan reksa pastoral dalam umat (lih. Yeh 2,3 dst.). Singkat kata, misiologi dalam Perjanjian Lama dipahami sebagai karya Allah di tengah umat Israel. Perutusan tokoh tertentu dipahami sebagai perutusan dalam kelompok Israel sendiri. Dalam perutusan seperti ini, "yang diutus" berperan sebagai juru bicara (mulut) atau juru karya Allah (lih. Yes 6,7; Yer 1,9; 15,19). Kita dapat menyaksikan perutusan semacam ini dalam perutusan Abraham (Kej 12, 1 dst.), Musa (Kej 12, 1 dst.), Yeremia (Yer 1,4-10).
Keistimewaan Israel sebagai bangsa terpilih tentu saja memiliki dimensi misiologis yang tidak terbatas pada bangsa Israel sendiri. Keistimewaan relasi antara Allah dan bangsa Israel menjadi sakramen bagi bangsa-bangsa lain akan Allah yang mengasihi secara universal. Bangsa Israel mengemban tugas misioner baik untuk secara aktif "menceritakan" pengalaman (penyelamatannya) kepada keturunannya (missio interna) dan kepada bangsa-bangsa di sekitarnya (missio externa, bdk. Yes 49,8 dst). Pengalaman bangsa Israel menjadi tanda bagi bangsa-bangsa lain untuk menghayati kehidupan sehari-hari sebagai peristiwa keselamatan yang dilakukan oleh Allah sendiri. Iman bangsa Israel dengan demikian memberikan kesaksian kepada dunia tentang Allah yang menyelamatkan semua umat manusia. Keselamatan itu dengan demikian tidak terbatas pada bangsa Israel, melainkan berlaku secara universal. Bangsa Israel dalam hal ini adalah contoh sekaligus tanda bagiamana Allah mau menyelamatkan umat manusia tanpa terkecuali.
Kedua, misi dalam Perjanjian Baru. Yesus Kristus tidak pernah secara eksplisit mendirikan Gereja. Tentang Misiologi Kristiani dengan demikian hanya dapat dibicarakan dalam pengertian "eklesiologi implisit". Meskipun demikian, tema sentral Perjanjian Baru tidak lain adalah tentang perutusan. Perutusan yang dimaksudkan di sini merujuk  baik pada perutusan Yesus Kristus ke dunia maupun pertusan Yesus kepada para murid-Nya kepada bangsa-bangsa lain sebelum dan setelah kebangkitan-Nya. Boleh dikata, seluruh isi Kitab Suci Perjanjian Baru ialah "Karya Sastra" atau "dokumen" tentang misi".
Bagi pengarang Injil Markus, misi begitu mendesak lantaran mengajak orang untuk percaya dan bertobat (Mrk 6,12; 16,16; bdk. Mrk 1,15b). Dalam Matius, misi tidak lain adalah usaha pewartaan yang punya daya mempertobatkan. Misi dalam Markus dapat dipahami sebagai "latihan" bagi para murid untuk kemudia mewartakan karunia keselamatan kepada bangsa-bangsa lain setelah kebangkitan Kristus (bdk. Mrk 13,10; 14:9; 16,15). Pengarang Injil Matius memahami  misi sebagai usaha untuk menjadikan semua bangsa menjadi murid Kristus. Bagi pengaring Injil Matius, zaman Gereja adalah zaman di mana gerak Injil bergerak dari Israel menuju ke bangsa-bangsa di luar Israel. Masa itu tidak lain adalah masa setelah kebangkitan hingga zaman sekarang (bdk Mrk 9,9; 13;10; 14,9; 16,15).
Sebagaimana pengarang Injil lainnya, Lukas dan Kisah Para Rasul juga melihat kedatangan Yesus pertama-tama untuk menyelamatkan bangsa Yahudi, meskipun pada hakikatnya keselamatan-Nya bersifat universal. Namun demikian, Lukas tetap menyadari bahwa kedatangan Yesus ke tengah bangsa Yahudi tidak lain adalah bagian dari persiapan para murid untuk mewartakan keselaman-Nya ke tengah bangsa kafir setelah peristiwa kebangkitan  ( Luk 4, 25; 24, 1; Kis 1,8 dst.). Dengan kata lain, Lukas memahami misi sebagai tugas perutusan untuk memberikan kesaksian tentang peribadatan dan pengampunan dosa (Luk 24, 27; bdk Kis 2, 38) demi keselamatan (2, 40). Sedangkan penginjil Yohanes memahami misi sebagai kedatangan Yesus ke tengah dunia dan dengan demikian Ia juga mengutus para murid-Nya ke tengah dunia. Yesus memang bukan dari dunia tetapi Dia adalah Juru selamat dunia (bdk. Yoh 4, 42).
Tokoh Perjanjian Baru yang mulai mengadakan misi ke tengah-tengah bangsa di luar Yahudi ialah Paulus. Paulus bahkan berani mewartakan iman Kristiani di tengah orang-orang Yunani. Dalam arti tertentu, Paulus telah mulai melakukan metode inkulturasi untuk kepentingan misi Krsitiani. Di atas semua itu, dalam Kitab Suci terdapat banyak Sabda Yesus sendiri yang mendorong para murid-Nya untuk bermisi, baik itu sebelum kebangkitan maupun sesudah kebangkitan. Inti misi dalam seluruh Kitab Suci tidak lain adalah usaha memperkenalkan Allah yang menyelamatkan di tengah umat manusia. satu-satunya tokoh yang mengutus tidak  lain adalah Allah sendiri.
Misi dalam Dokumen-Dokumen Gereja
Pertama, Maximum Illud. Dokumen ini dikeluarkan oleh Paus Benediktus XV pada 30 November 1919. Ensiklik ini menekankan agar para misionaris memiliki kesadaran bahwa mereka adalah duta Kristus dan bukan utusan dari negara mereka. Karena itu, kehidupan mereka harus menjadi khotbah yang hidup mngenai hidup iman Kristen dan universalitas agama Kristen. Ada tiga tujuan pokok misi menurut Maximum Illud, yakni penyebaran iman, pendirian Gereja, dan perluasan Kerajaan Allah.
Kedua, Rerum Ecclesiae. Dokumen ini dikeluarkan oleh Paus Pius ke XI pada tanggal 28 Februari 1926. Ensiklik ini menegaskan bahwa misi Kristiani tidak lain adalah aktifitas misioner, di mana iman Katolik di sebarkan, Gereja didirikan, dan manusia diselamatkan. Sebab, masih ada sekian banyak orang yang berada jauh dan di luar Gereja, yang duduk dalam kegelapan dan bayangan maut. Hal lain yang diusung oleh ensiklik ini ialah pengetahuan mngenai kebudayaan di mana misi itu berlangsung. Hal ini perlu agar iman Kristiani dapat dibahasakan secara kontekstual.
Ketiga, Evangelii Praecones. Ensiklik ini dikeluarkan oleh Paus Pius XII yang dikeluarkan pada 2 Juni 1951. Ensiklik ini menegaskan mengembang tugas perluasan Kerajaan Allah. Karena itu, kaum awam oun dengan bermacam-macam kegiatan mengusahakan tercapainya tujuan karya misi ini. Dengan pertama-tama menghargai kebudayaan asli setempat, kultur Kristiani datang untuk melengkapi kebudayaan setempat dan menjadikannya luhur.
Masih banyak dokumen-dokumen sebelum Konsili Vatikan II yang membahas tentang misi Kristiani seperti, Ad Sinarum Gentem (Paus Pius XII, 7 Oktober 1955), Fidei Donum (Pius XII, 21 April 1957), Ad Apostolorum Principiis (Pius XII, 29 Juni 1958), dan Princeps Pastorum (Yohanes XXIII, 28 November 1959). Semua dokumen ini berisi uraian tentang misi Kristiani yang tidak lain adalah usaha menghadirkan Allah yang menyelamatkan semua umat manusia.
 Misi dalam Konsili Vatikan II
Konsili Vatikan II menuntut agar suatu misi ditempatkan kembali pada pusat kehidupan Gereja. Misi dan pelaksanaannya tidak boleh hanya dilihat sebagai aspek hidup Gereja yang ditempelkan secara parsial pada bagian luar Gereja. Misi Gereja harus dipandang sebagai bagian hakiki dari keberadaan Gereja.
 Pembicaraan tentang misi tidak boleh hanya terbatas pada soal-soal administratif, yuridis-konstitusional, dan finansial. Misi harus terintegrasi utuh ke dalam pelaksanaan dan hakikat keberadaan Gereja. Karena itu pembicaraan tentang Gereja memuat refleksi tentang perutusan Gereja. Dokumen Vatikan II yang secara khusus membahas tentang hakikat dan pelaksanaan karya misi ialah Ad Gentes, Lemen Gentium, Dei Verbum, Sacrosanctum Concillium, Gaudium et Spes, dan sebagainya.
Keterkaitan ini sekaligus menunjukkan bahwa misi memang suatu unsur integral Gerejawi (eklesiologis) yang selalu ada dan ikut menjiwai serta diikutsertakan pada setiap tindakan Gereja. Konsili Vatikan II membahas banyak hal tentang identitas Gereja di tengah dunia. Konsili Vatikan II menyatakan bahwa Gereja merupakan suatu kenyataan sakramental untuk mengenal Allah dan sekaligus menghadirkan Allah.
Korelasi Antara Misi, Antropologi, dan Inkulturasi.
Misi Kristiani yang dibahas dalam Kitab Suci telah dipahami dengan baik oleh Gereja. Hal ini tampak melalui penafsiran yang dibuat Gereja dalam berbagai dokumen. Pemahaman misi dalam Kitab Suci paling tampak pada kenyataan bahwa hingga saat ini iman Kristiani sudah tersebar ke seluruh dunia. Iman Kristiani yang tersebar ke berbagai wilayah di dunia membuktikan betapa misi Kristiani itu berhasil menarik umat untuk mencintai Kristus. Namun, kita juga perlu mengetahui bahwa keberhasilan misi Kristiani tidak terlepas dari kerja keras para misionaris yang tanpa kenal lelah mewartakan Kristus di tengah beragam kultur. Salah satu tantangan misi Kristiani ialah berhadapan dengan penolakan dan tuduhan Kristenisasi. Tuduhan ini tentu saja tak dapat disangkal begitu saja mengingat destinasi misi Kristiani pun sudah terbiasa dengan kebudayaan beserta keyakinan religius tradisional. Berhadapan dengan  kenyataan ini, apa yang datang dari luar tentu saja dianggap sebagai ancaman lantaran dianggap bertentangan dengan keyakinan religius yang mereka pegang sejak lama. Â
 Inkulturasi: Anak Kandung dari Antropologi dan Misi Kristiani
Inkulturasi tidak lain adalah produk pertemuan ilmu antropologi dan misi Kristiani. Inkultutasi ditemukan saat para misionaris berhadapan dengan manusia dan kebudayaan di mana ia mengadakan misi. Untuk itu, para misionaris berupaya mengenal manusia dan kebudayaan di mana misi sedang dijalankan melalui ilmu antropologi. Temuan Antropologi penting agar iman Kristiani dapat diwartakan dengan bahasa yang inkulturatif.
Tuduhan yang paling sering datang ialah dari para antropolog. Para antropolog sering kali menuduh para misionaris sebagai pelaku imperialisme agama yang fungsinya tidak lebih daripada memiskinkan ketimbang memperkaya. Akan tetapi di beberapa tahun terakhir ada upaya untuk menghapus beragam prasangka di antara para misionaris dan antropolog. Sebetulnya, kebencian atau lebih tepat tuduhan di anatara kedua pihak ini tidak bersifat alamiah, melainkan dibuat berdasarkan apriori semata. Paul Hiebert bahkan mengatakan bahwa hubungan karya misi dan antropologi adalah "relasi cinta tapi benci". Tuduhan para antropolog tidak sepenuhnya beralasan mengingat banyak pula dari antara para misionaris yang juga adalah seorang antropolog. Jauh sebelum antoropologi dideklarasikan sebagai suatu disiplin ilmu, yakni abad ke-19, beberapa misionaris bahkan sudah melakukan temuan dalam bidang etnografi. Salah satunya ialah seorang misionaris Fransisikan bernama Wilhelm von Rubruk (1215-1270) yang mendapatkan laporan paling berharga dan rinci tentang bangsa-bangsa asia pedalaman. Relasi akrab yang pada mulanya terjadi di antara para anropololog dan misionaris dengan amat jelas dapat disaksikan di Inggris. Pada tahun 1843 himpunan para etnolog London didirikan.
Meskipun demikian, berbagai tuduhan atas misionaris masih sering dilakukan oleh para antropolog. Tuduhan para antropolog atas misionaris juga terkait disposisi Barat para misionaris. Bagi para antropolog, meskipun tesis tentang universalitas umat manusia sudah menjadi disposisi misi, para misionaris tetap saja memiliki tendensi superior budaya Barat atas budaya yang menjadi destinasi misi Kristiani. Selain itu, para antropolog juga menuding bahwa sering kali para misionaris diperalat oleh para penjajah. Namun, perlu diketahui bahwa kemesraan antara para antropolog dan para misionaris berangkat dari kenyataan bahwa mereka berasal dari latar belakang budaya Barat yang sama. Para atropolog juga sebetulnya jatuh pada tendensi yang sama. Para antropolog Inggris tidak perlu merahasiakan bahwa demi mendapatkan gelar profesor mereka berusaha menelorkan gagasan Antropologis yang membantu upaya kolonisasi negaranya. Demikianpun halnya yang dilakukan oleh para antropolog Jerman.
Tudingan yang gencar dilakukan oleh para antropolog kemudian dijawab secara lantang oleh para misionaris melalui inkulturasi. Inkulturasi bukan disiplin ilmu lain yang berusaha menandingi antropologi. Tak dapat dipungkiri bahwa inkulturasi  adalah bagian dari antropologi atau yang seperti yang kami kemukakan di bagian judul: Inkulturasi sebagai Strategi Suksesi Misi Kristiani tidak lain adalah anak kandung dari pertemuan Misi Kristiani dan Antropologi. Melalui Inkulturasi, manusia di mana misi sedang berlangsung tidak lagi dijadikan objek ilmu Antropologi.
Istilah inkulturasi pertama-tama muncul dalam bahasa Prancis pada tahun 1953 sebagai terjemahan kata Inggris "Enculturation". Istilah ini memiliki kemiripan dengan istilah Jerman dan Inggris yaitu "Socialization".
 Beberapa tahun kemudian muncul istilah "Penginjilan dan Inkulturasi". Ini tidak lama setelah istilah inkulturasi muncul dalam beberapa dokumen Gereja (Catechesin Tradendae AAS 71, 1979:  1277-1340). Istilah ini kemudian menjadi istilah yang sangat misiologis. Dikatakan demikian lantaran istilah ini erat kaitannya dengan upaya penyebaran iman Kristiani tanpa jatuh pada upaya pemaksaan keyakinan. Kekuatan istilah "Inkulturasi" terletak pada kemiripannya dengan "Inkarnasi". Dengan kata lain, inkarnasi menjadi model inkulturasi.
Dasar pelaksanaan inkulturasi ialah bahwa Allah yang mengatasi segala kebudayaan dunia mewahyukan diri-Nya lewat suatu kebudayaan tertentu. Semua manusia dapat mengenal Yesus Kristus melalui kebudayaan mereka sendiri. Inkulturasi dengan demikian adalah usaha membahasakan iman Kritiani dalam bahasa budaya di mana misi itu berlangsung. Dalam inkulturasi "mendengarkan" mendapat tempat lebih penting ketimbang "berbicara".Â
Pernyataan ini memaksudkan bahwa dalam misi Kristiani yang lebih penting ialah penghargaan atas kebudayaan di mana misi itu berlangsung. Iman Kritiani yang diwartakan harus dapat dihayati sesuai dengan konteks kebudayaan di mana iman itu sedang ditabur. Hal ini ditegaskan secara khusus oleh para Uskup di Zaire, Afrika dalam Konferensi wali Gereja tahun 1977 yang menegaskan bahwa iman Kristiani itu harus "Di-afrika-nisasikan" baik dalam teolog dan liturgi. Pernyataan ini hendak mengatakan bahwa iman Kristiani -- melalui inkulturasi -- harus dapat diungkapkan dalam konteks kebudayaan masyarakat Zaire. Dengan kata lain, iman Kristiani yang bernuansa Barat tidak akan berhasil dipaksakan untuk dihayati dalam masyarakat yang menjadi lokus misi tanpa inkulturasi.
Sampai di sini kita dapat menyimpulkan bahwa inkulturasi adalah suatu tugas penting untuk setiap Gereja lokal. Inkulturasi harus selalu merupakan perpaduan antara Injil, Iman, Gereja, hidup Kristiani dan kebudayaan.Â
Studi tentang inkulturasi mau tidak mau menuntut para Misionaris antara Teologi, Misi dan Antropologi. Dengan demikian kemseraan antara misi Kristiani pada akhirnya melahirkan apa yang disebut dengan inkulturasi. Dan relasi ini adalah sebuah keniscayaan. Sebagaimana inkarnasi adalah peristiwa di mana Sang Sabda berusaha menghargai umat manusia dengan lahir dan hidup dalam kebudayaan manusia, demikianpun halnya inkultrasi. Inkulturasi tidak lain adalah upaya misi Kristiani dengan pertama-tama menghargai budaya lokus misi sebagai itu yang juga memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan warta Injil. Inkulturasi meniscayakan corak beriman yang dari konteks.
Kontekstualisasi Iman Kristiani
Tujuan utama misi Kristiani adalah mewartakan Kristus ke tengah-tengah dunia. Di bagian awal telah ditegaskan bahwa inkarnasi adalah model inkulturasi. Dengan kata lain, inkarnasi adalah legitimasi teologis atas inkulturasi. Inkarnasi dapat kita pahami sebagai awal mula terjadinya misi, yakni Allah hadir dalam diri Yesus Kristus ke tengah umat manusia. Yesus Kristus dilahirkan dan dibesarkan dalam kultur kebudayaan tertentu. Dengan demikian, Allah yang transenden mampu dipahami oleh manusia dalam kultur Yahudi. Allah sebagai YHW (Yahwe).
Peristiwa inkarnasi hendak mengatakan bahwa Allah menghargai kebudayaan manusia (kebudayaan Yahudi). Hal ini merupakan suatu jalan yang digunakan Allah agar manusia memiliki pemahaman akan Allah. Perlu diketahui bahwa satu-satunya bangsa di dunia yang dalam kepercayaan tradisionalnya berkeyakinan monoteisme adalah bangsa Yahudi. Kenyataan ini ditafsir oleh Gereja dalam berbagai dokumennya terutama Konsili Vatikan II sebagai dimensi sakramental Gereja. Gereja dipandang sebagai tanda bagi bangsa-bangsa lain untuk mengenal Allah, sekaligus sebagai cara Allah untuk dikenal.
Kita perlu melihat cikal bakal inkulturasi atau kontekstualisasi iman Kristiani jauh sebelum Gereja terbentuk sebagai sebuah institusi yakni pada sosok Paulus. Paulus boleh dikata adalah tokoh biblis pertama yang mengadakan kontekstualisasi iman Kristiani di tengah orang-orang Yunani. Dalam terminologi yang modern apa yang telah dilakukan oleh Paulus dapat disebut sebagai usaha inkulturasi iman Kristiani.
Kontekstualisasi iman Kristiani dapat dilakukan melalui inkulturasi. Inkulturasi dapat didefinisikan sebagai relasi dinamis antara Kabar Gembira Kristiani dengan suatu kebudayaan atau kebudayaan-kebudayaan; suatu integrasi kehidupan Kristen ke dalam suatu budaya; suatu proses yang berkelanjutan dari interaksi dan asimilasi yang kritis serta timbal balik. Gereja melalui Catechesi Tradendae yang dikeluarkan pada tahun 1979 dengan tegas mengatakan demikian:
Inkulturasi Gereja adalah integrasi pengalaman Kristen dari suatu Gereja lokal ke dalam kebudayaan umatnya sedemikian rupa, sehingga pengalaman ini tidak hanya menyatakan dirinya dalam unsur-unsur kebudayaan tersebut tetapi menjadi suatu kekuatan yang menjiwai, mengarahkan, serta membaharui kebudayaan tersebut sampai menciptakan kesatuan dan persekutuan baru tidak hanya dalam kebudayaan tertentu tetapi juga sebagai pengayaan Gereja universal.
Pernyataan di atas hendak mengatakan bahwa di satu sisi warta Kristiani berusaha menghargai kebudayaan di mana pewarrtaan berlangsung. Tetapi, di sisi lain warta Kristiani berusaha menyempurnakan kebudayaan tersebut. Dikatakan demikian, lantaran kebudayaan-kebudayaan lokal setiap bangsa tidak lain adalah ciptaan manusia.
 Kebudayaan-kebudayaan itu, memiliki nilai-nilai yang sejalan dengan warta Injil namun dipahami sebagai persiapan kedatangan warta Injil. Hal itu berarti inkulturasi berarti warta Kristiani disampaikan dan dihayati dalam kebudayaan lokal, dan kedua bahwa kebudayaan lokal mengalami Kristenisasi. Hal ini dapat dijelaskan demikian, ketika iman Kristiani diwartakan ke tengah-tengah orang Flores, metode inkulturasi dapat dirumuskan demikian, Kristianisasi atas kebudayaan Flores dan pada saat yang sama Floresisasi terhadap Kristianitas. Artinya pertemuan kedua kebudayaan tersebut tidak bisa dibaca dalam level superioritas.
 Antropologi dan Locus Misi Kristiani
Pada bagian awal saya telah menjelaskan bahwa para antropolog menuding para misionaris telah melakukan pemaksaan keyakinan atas warga pribumi. Tudingan lain juga bahwa para misionaris dinilai bersekongkol dengan para penjajah untuk kepentingan kolonisasi atas bangsa pribumi. Tudingan ini pada dasarnya tidak beralasan lantaran antropolog Inggris dan Jerman juga hanya melakukan demi mendapatkan gelar profesor.
Misi Kristiani melulu membutuhkan disiplin ilmu antropologi. Upaya pewartaan iman Kristiani ke bangsa-bangsa dunia ketiga (Amerika Latin, Asia, Afrika, dsb.) memiliki konsekuensi kultural yang tak dapat disangkal. Para misionaris yang datang dari budaya Barat harus berhadapan dengan manusia dan kebudayaan yang sama sekali berbeda. Para misionaris yang datang membawa suatu kebudayaan tertentu dalam hal ini kebudayaan Kristiani tentu saja harus mampu berdialog dengan keyakinan-keyakinan religius tradisional di mana misi Kristiani dijalankan. Di titik ini, ilmu antropologi begitu mendesak dalam upaya misi Kristiani.Â
Antropologi sebagai suatu ilmu khusus mengenai kebudayaan merupakan suatu sumber kebudayaan yang tak terkira nilainya bagi siapapun yang terlibat sebagai misionaris lintas budaya. Dianggap begitu penting lantaran ilmu antropologi membantu para misionaris mengenal dan menghargai setiap atribut simbolis dan praktik-praktik kebudayaan budaya setempat. Dengan pengenalan yang mendalam terhadap kebudayaan melalui ilmu antropologi, para misionaris kemudian dapat melihat pintu masuk iman Kristiani. Dalam hal ini para misionaris "masuk" melalui pintu kebudayaan dan "ke luar" melalui pintu Kristiani.
Antropologi perlu untuk mengenal locus misi Kristiani. Locus memaksudkan posisi dan disposisi dari suatu kebudayaan lokal ketika dihadapkan dengan warta Kristiani. Maksdunya iman Kristiani yang dibahas secara inkulturatif dapat ditempatkan pada posisi dan disposisi yang tepat sebagai mana yang dikehendaki oleh Yesus Kristus sendiri dalam sabda-Nya baik sebelum maupun sesudah kebangkitan. Singkat kata, warta iman Kristiani harus ditempatkan pada posisi dan disposisi yang menghantar umat sampai pada iman kepada Yesus Kristus.
              Daftar Pustaka
Kirchberger, George & John Mansford Prior (eds.). Iman dan Transformasi Budaya. Ende: Nusa Indah, 1996. Â
Woga, Edmund. Dasar-Dasar Misiologi. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
___ . Misi, Misiologi, dan Evangelisasi di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Oleh: Venan Jalang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H