Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Seni Memahami a la Schleiermacher

27 Januari 2021   19:41 Diperbarui: 28 Januari 2021   00:45 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Seni Memahami" merupakan istilah yang dideklarasikan oleh Schleiermacher dalam hermeneutiknya. Beliau memandang hermeneutik sebagai "Seni Memahami". Memahami tentu saja berbeda dengan mengetahui. Orang yang mengetahui belum sampai pada memahami. Memahami adalah aktivitas menangkap makna. Sementara mengetahui tidak lebih dari tindakan mengumpulkan data. Data dapat diketahui oleh sesuatu, misalnya: gen, neuron dan komputer, sedangkan makna hanya dapat dipahami oleh seorang. Apa artinya "memahami" dan mengapa aktivitas ini dipandang sebagai sebuah "seni"? Kita akan menemukan jawabannya dalam gagasan filosofis yang diusung oleh Schleiermacher.

Sekilas tentang Hidup Schleiermacher

Kali ini saya ingin mengajak para pembaca untuk berfilsafat bersama Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768 - 1834). Schleiermacher dikenal sebagai filsuf sekaligus pendiri teologi protestan modern yang hidup di zaman romantik. Romantisme tidak lain adalah gerakan kritis atas pencerahan abad ke-18. Para pemikir romantisme melihat kemajuan sains, industri  dan teknologi Eropa di kala itu sebagai sebuah kemerosotan daripada kemajuan peradaban. Atas dasar itu, para pemikir romantisme lebih meminati mitos, tradisi dan agama sebagai obyek studi interpretasi. Mereka berusaha menggali makna di balik kebijaksanaan kuno tersebut untuk kemudian dihayati secara baru. Schleiermacher secara mendalam dipengaruhi oleh gerakan romantisme.

Schleiermacher lahir pada 21 November 1768 di Breslau, Silesia yang sekarang dikenal Polandia. Ia dibesarkan dalam keluarga protestan. Orang tuanya bahkan berencana agar Schleiermacher dipersiapkan sedini mungkin untuk menjadi seorang pengkotbah. Schleiermacher kemudian dimasukkan ke sebuah seminari di Barby/Elbe. Di seminari, Schleiermacher berkenalan dengan literatur filosofis, teologi dan roman-roman non-religius. Hal ini membuatnya bimbang, antara menjadi seorang pengkotbah atau ilmuwan. Kebimbangan ini mendorong Schleiermacher untuk menekuni filsafat, teologi dan filologi di Universitas Halle. Di sana, ia malah - untuk pertama kalinya - berkenalan dengan filsafat kritis Kant. Sejak Schleiermacher mengajar di Halle pada 1805, ia mulai menyibuki diri dengan hermeneutik. Ia wafat di Berlin pada 06 Februari 1834. Sejak saat itu, Schleiermacher dikenal sebagai bapak pendiri Hermeneutik Modern.

Perihal Hermeneutik

F. Budi Hardiman dalam bukunya yang berjudul "Seni Memahami: Dari Schleiermacher Sampai Derrida", menegaskan bahwa terminologi "Hermeneutik" sebetulnya bukan istilah yang baru muncul di zaman modern. Istilah ini bahkan dapat ditelusuri dalam kultur keagamaan Yunani kuno. Etimologi Hermeneutik terkait dengan sosok Hermes yang menjadi pengantara antara dewa/dewi dengan manusia. 

Dalam mitologi Yunani, Hermes bertugas sebagai pihak yang menyampaikan pesan dewi-dewi kepada manusia. Namun, sebelum Hermes menyampaikan pesan tersebut, ia terlebih dahulu memahami atau menafsir pesan tersebut bagi dirinya sendiri. Setelah ia memahami maksud pesan tersebut, barulah ia mengartikulasikan maksud pesan tersebut dalam bahasa yang dimengerti oleh manusia. Kesenjangan antara pemberi pesan, penyampai pesan dan penerima pesan harus dijembatani oleh kegiatan yang bernama "hermeneutik" itu.

Hermeneutik dalam bahasa Inggris disebut "Hermeneutics". Istilah ini diasalkan dari kata Yunani, yaitu: "hermeneuein" yang berarti "menerjemahkan" atau "bertindak sebagai penafsir". Kegiatan menerjemahkan satu bahasa ke bahasa lain sebetulnya tidak lain adalah apa yang kita sebut sebagai "Hermeneutik". 

Aktivivitas menerjemahkan sebenarnya bukan sekadar menukar bahasa asing ke bahasa kita. Lebih dari itu, menerjemahkan adalah menafsirkan untuk kemudian dapat diartikulasikan dalam cita rasa bahasa kita. Dengan kata lain, menerjemahkan adalah aktivitas menangkap makna sesuai dengan maksud penulis dalam bahasa yang dimengerti para pembaca.

Perlu diketahui bahwa hermeneutik awali tidak lebih dari sebuah aktivitas yang dilakukan oleh para rohaniwan dalam rangka menafsir teks-teks sakral, seperti kitab-kitab suci. Aktivitas ini bertujuan menyingkap maksud Wahyu Ilahi yang tertulis dalam teks-teks suci. Perbedaan cara atau metode menafsir kemudian melahirkan tafsiran yang berbeda dan bahkan bertentangan. 

Hal ini terjadi di awal-awal perkembangan kekristenan. Sudah sejak awal, kekristenan sudah dibumbui dengan polemik  hermeneutis. Jemaat Kristiani di kota Alexandria memiliki cara interpretasi atas kitab suci yang berbeda dengan jemaat Kristiani yang ada di Antiokhia. Perpecahan yang terjadi dalam kekristenan barat, yakni: antara Gereja Katolik Roma dengan  para reformans protestan berakar dari perbedaan cara interpretasi Kitab Suci.

Lalu, sejak kapan hermeneutik menjadi problem filosofis? Kita patut berterima kasih kepada para pemikir renaisans di abad ke-18 yang telah mengeluarkan aktivitas hermeunetis dari kerangkeng keagamaan abad pertengahan. Jika para rohaniwan abad pertengahan membatasi hermeunetik pada aktivitas interpretasi atas kitab suci, maka para pemikir pencerahan memperluas wilayah interpretasi ke teks-teks profan. Para pemikir pencerahan bahkan memandang kitab suci sama seperti teks-teks profan lainnya. Dalam kepala para pemikir pencerahan, teks suci tidak lebih istimewa dari teks-teks lain. 

Para pemikir pencerahan mencabut sakralitas dari kitab-kitab yang dianggap suci oleh para rohaniwan abad pertengahan. Para pemikir pencerahan ingin melampaui cara-cara radikal abad pertengahan dalam menafsir sebuah teks. Dengan kata lain, mereka menggunakan rasionalitas -tanpa terdorong untuk meneguhkan iman - dalam rangka menangkap makna di balik teks-teks suci. Hal itulah yang akan dilakukan oleh Schleiermacher.

Seni Memahami a la Schleiermacher

Kita pertama-tama mengerti apa yang dimaksud Schleiermacher dengan istilah "memahami" (verstehen). Menurut Schleiermacher, memahami tidak lain adalah aktivitas menangkap pehamanan (verständis). Sementara pemahaman adalah hasil dari proses memahami. Obyek aktivitas memahami a la Schleiermacher tidak lain adalah bahasa. Namun perlu diketahui bahwa apa yang ditangkap dari bahasa bukan kata sejauh kata atau kalimat sejauh kalimat. Di dalam kehidupan sehari-hari kita sering kali berusaha menangkap maksud di balik kata-kata orang yang sedang berbicara kepada kita. Sebab bagi Schleiermacher, kata yang diucapkan tidak pernah terpisah dari pemikiran sang penuturnya.

Lebih lanjut ia menegaskan bahwa manusia tidak berpikir tentang hal yang sama, meski memakai kata yang sama.  Seorang filsuf dan dokter sama-sama menggunakan kata "manusia" tetapi cara pandang keduanya atas satu kata ini tentu saja berbeda dan bahkan bertentangan. Memahami dalam Schleiermacher dengan demikian adalah aktivitas menangkap apa yang dipikirkan ketimbang makna gramatikal dari bahasa yang sedang diucapkan oleh si penutur. Oleh karena itu, kita perlu membedakan antara "memahami apa yang dikatakan dalam konteks bahasa dengan kemungkinan-kemungkinannya" dan "memahami (apa yang dikatakan itu) sebagai sebuah fakta di dalam pemikiran si penuturnya".

Hermeneutik a la Schleiermacher justru berusaha menangkap apa yang dipahami penutur atas kata yang sedang diucapkannya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menjumpai kesenjangan antara teks dengan maksud teks, antara kata dengan pemikiran penutur kata dan antara teks dan maksud penulis. Kesenjangan ini cenderung menimbulkan kesalahpahaman. Keasalahpahaman kemudian berpotensi menimbulkan konflik rasial, sosial, religius dst.

Lalu mengapa memahami a la Schleiermacher dianggap sebagai sebuah seni (kunst)? Untuk memahami istilah ini, kita pertama-tama perlu membedakan dua jenis memahami, yakni: "memahami secara spontan dan memahami dengan usaha". Memahami secara spontan dapat dirasakan dalam kehiduapan kita setiap hari. Kita akan dengan mudah memahami kata-kata orang tua kita, karena kita lahir dan hidup di lingkungan sosial, kultural dan religius yang sama. Dalam konteks ini, kita saling memahami secara spontan.

Namun, Schleiermacher tidak mengembangkan hermeneutik yang demikian. Titik tolak hermeneutik a la Schleiermacher tidak lain adalah kesalahpahaman atau ketidak-salingpahaman. Bagi Schleiermacher, kesalahpahaman menjadi ciri-ciri masyarakat modern. Modernitas yang ditandai dengan kemajemukan cara berpikir, cara hidup, keyakinan religius, keyakinan filosofis dan kemajemukan ideologis, rentan akan terjadinya kesalahpahaman.  Atau dalam bahasa Schleiermacher, "di zaman modern, kesalahpahaman sudah menjadi barang tentu". Kesalahpahaman sudah menjadi fakta yang tak terbantahkan di zaman modern.

Lebih lanjut Schleiermacher menandaskan bahwa kesalahpahaman sering kali disebabkan oleh prasangka (vorurteil). Prasangka terjadi ketika pembaca atau pendengar merasa perspektifnya superior atas maksud penulis atau penutur kata. Oleh karena itu, memahami dalam hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah seni karena dua hal: Pertama, karena usaha mengatasai kesalahpahaman umum itu selalu dengan metode yang "canggih" dan tidak secara spontan saja. Kedua, karena mengatasi kesalahpahaman umum selalu dilakukan dengan kaidah-kaidah tertentu. Seni dalam hal ini diartikan sebagai 'kepandaian'. Hal ini sama halnya ketika seniman musik menghasilkan harmoniasasi nada yang indah.

Seni memahami dengan demikian adalah aktivitas menangkap makna (dengan metode canggih) untuk mengatasi kesalahpahaman umum. Yang dicari adalah pemikiran di balik sebuah ungkapan. Dalam arti ini, hermeneutik tidak lain adalah seni mendengarkan daripada seni berbicara, seni membaca ketimbang seni menulis. Schleiermacher menegaskan bahwa hermeneutik tidak lain adalah seni berpikir dan oleh karena itu bersifat filosofis.

Dengan cara berpikir seperti itu, Schleiermacher menjadikan hermeneutik sebagai metode dalam rangka menangkap makna di balik tuturan atau tulisan. Pemakaian metodologi hermeneutisnya tidak terbatas pada teks-teks khusus. Baginya, semua teks, baik tuturan maupun tulisan bisa diinterpretasi secara sama. Bahkan, interpretasi sudah menjadi kemampuan yang dimiliki oleh setiap manusia.

Seni memahami yang diusung Schleiermacher tidak lain adalah usaha menangkap makna teks (tulisan maupun tuturan) baik dari segi gramatikal maupun kondisi objektif si penulis atau penutur. Jika si penulis membahasakan pikirannya melalui sebuah tulisan dalam bentuk kalimat-kalimat, maka penafsir berusaha memanfaatkan bahasa (kalimat-kalimat) tersebut untuk memahami kondisi objektif mental sang penulis atau penutur. Dengan demikian, penafsir mampu memahami setiap tulisan dan tuturan berdasarkan perspektif si penulis atau penutur. Menurut Schleiermacher, metodologi hermeneutis semacam ini, efektif mengatasi kesalahpahaman dalam kehidupan sosial, kultural dan religius modern.

Oleh: Venan Jalang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun