Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menyoal Term "Pelacur"

14 Agustus 2020   18:49 Diperbarui: 12 November 2021   12:42 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah Singkat Pelacuran 

Fenomena pelacuran bukanlah kenyataan baru. Pelacuran sudah ada sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Praktik pelacuran tidak terlepas dari pergolakan politik, agama, ekonomi, dan budaya manusia dari zaman ke zaman. Dalam budaya Yunani Kuno, pelacur umumnya dikenal dengan sebutan "pornoi". Di samping itu, sebutan untuk pelacur Yunani kuno juga adalah "hierodouli".

"Hierodouli" adalah para pelacur kuil. Disebut pelacur kuil, lantaran hasil dari kerjanya disumbangkan kepada pihak kuil Aphrodite dengan harapan akan mendapat imbalan dari para dewi. Menarik bahwa motivasi melacur di zaman Yunani kuno sangat religius. Mereka melacurkan diri untuk mendapat "anugerah" dari Yang Transenden.

Dalam kebudayaan Babilonia kuno pun terdapat praktik pelacuran. Bahkan dalam budaya Babilonia kuno, pelacur termasuk profesi para perempuan terdidik. Sebab, satu-satunya profesi yang dengan mudah memperoleh kekeayaan di zaman itu adalah dengan melacurkan diri. Pelacur dalam zaman Babilonia kuno disebut "kizrete". Para "kizrete" bahkan disanjung-sanjung sebagai wanita terhormat.

Di Jepang, para pelacur diperlakukan secara istimewa dengan menempatkan mereka pada lokasi yang bernama "Geisha". Lain halnya di Yunani, Jepang, dan di babilonia, pelacur di Romawi dipandang sangat negatif. Sebab, keberadaan mereka dianggap berbahaya bagi anak-anak. Pihak kekaisaran membuat hukuman yang tegas terhadap pelacur yang berkeliaran di sekitar wilayah permainan anak-anak. Dalam budaya India Kuno, para pelacur disebut "khumbadasi". Mereka datang dari kaum kelas rendah. Opsi hidup mereka hanya dua, yaitu: menikah atau menjadi pelacur.

Namun perlu diketahui bahwa pelaku pelacuran dalam beberapa budaya kuno di atas sama sekali tidak terbatas pada kaum perempuan. Dalam budaya Yunani kuno, ada seorang filsuf yang pada masa mudanya dipaksa menjadi seorang pelacur. Dia adalah Phaedo dari Elis. Ia kemudian bertemu dengan Sokrates dan selanjutnya menjadi seorang filsuf.

Pelacuran lelaki berkembang dengan pesat di Amerika Serikat sejak abad ke-17. Meskipun harus diakui bahwa kebanyakan pelacur di zaman itu didominasi oleh kaum perempuan. Hal ini berangkat dari pandangan zaman yang sering kali menempatkan kaum perempuan sebagai pemuas birahi lelaki. 

 Barulah pada perang dunia II, pelacuran berkembang secara masif di Eropa. Kebanyakan dari para pelacur ialah para wanita yang berniat memenuhi kebutuhan ekonomi dengan menjajakan tubuh mereka kepada para tentara. Tercatat, sekitar 600 wanita dikirim untuk menjadi pelacur yang memuaskan hasrat seks para tentara Amerika Serikat. Akibatnya, banyak tentara yang terkena penyakit kelamin.

Pelacuran di Indonesia

Pelacuran di Indonesia sudah ada sejak zaman kerajaan. Raja adalah seorang yang memiliki kekuasaan mutlak. Dengan embel-embel kesetiaan, para bangsawan biasanya menyerahkan puteri mereka untuk menjadi selir sang raja. Para selir raja biasanya didistribusi dari daerah yang dikenal memiliki para gadis yang cantik dan molek.

Disinyalir, ada beberapa daerah di Indonesia yang menjadi penghasil selir terbaik untuk kerajaan, di antaranya ialah: Indramayu, Karawang, Jepara, Pati, Blitar, Malang, Banyuwangi, Lamongan, Grobogan dan wonogiri, dan Kuningan. Kecamatan Gabus Wetan di Indramayu dikenal sebagai tempat dengan produk gadis terbanyak untuk dikirim menjadi selir sultan Cirebon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun