Mohon tunggu...
Konstantinus Jalang
Konstantinus Jalang Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang

Berfilsafat dari Bawah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menyoal Term "Pelacur"

14 Agustus 2020   18:49 Diperbarui: 12 November 2021   12:42 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Term tertentu sering kali dimengerti secara diskriminatif. Itulah yang terjadi dengan pemahaman atas term "pelacur". Sering kali term ini direduksifasi secara sempit pada kaum perempuan. Ketidakadilan ini dilatarbelakangi oleh budaya, tradisi dan situasi politik yang sedang berkembang di tempat dan zaman tertentu. 

Sebagain besar kebudayaan menghayati tradisi patriarkal, di mana kaum lelaki dianggap "superior" atas kaum perempuan. Istilah "pelacur" sebetulnya merujuk pada siapapun yang melakukan tindakan asusila (amoral), entah lelaki atau perempuan.

Perlu disadari bahwa  term selalu menjelaskan identitas dan kekhasan sesuatu yang lain. Yang lain akan memiliki nama oleh karena dinamai dengan term. Term dengan demikian itu yang identik dengan apa yang dinamai. Term kuda misalnya. Term ini digunakan untuk menamai seekor binatang berkaki empat dan pemakan rumput, katakanlah demikian. Ketika seseorang menyebut "kuda", reaksi spontan otak seseorang langsung merujuk pada binatang berkaki empat dan pemakan rumput tersebut. Term selalu menginformasikan identitas suatu entitas tertentu.

Namun, sering kali pola pikir, tradisi, dan budaya tertentu mengidentifikasi sebuah term sacara sempit dan terbatas. Seorang feminis bernama Gadis Arivia bahkan menandaskan bahwa term-term tertentu sering kali mencerminkan mentalitas menindas dan diskriminatif. Akibatnya, pengguna term memahami dan memaknai term tersebut secara serampangan. Hal ini akan berpotensi destruktif apabila term yang dimaksud hendak menjelaskan hal-hal yang menyentuh langsung perkara kemanusiaan, keadilan dan kebaikan.

Sebut saja, term "kebaikan". Term ini bisa saja direduksi oleh kelompok tertentu secara sempit, sehingga aplikasi atas kebaikan pun cenderung mengorbankan nyawa yang lain. Demikianpun yang terjadi dengan pemahaman atas term "pelacur". Pemahaman atas term ini mengusung sikap diskriminatif dan menindas atas kaum perempuan di Indonesia. 

Istilah "pelacur" sering kali diidentikan begitu saja dengan kaum perempuan. Untuk menganalisis pemahaman masyarakat Indonesia terhadap term "pelacur", penulis pernah membuat sebuah riset sederhana. Riset tersebut dilakukan dengan membuat pertanyaan dan pernyataan kepada beberapa kenalan penulis. Pertanyaannya demikian: "Ketika anda mendengarkan istilah "pelacur", apa yang spontan muncul dalam benak anda?

Penulis menemukan bahwa reaksi spontan beberapa orang yang ditanyai, langsung merujuk pada perempuan yang moralnya tidak baik. Di samping itu, ketika penulis bergurau dengan teman lelaki dengan mengatakan: "Hei pelacur!", ada teman-teman yang menggerutu: "Hei saya bukan perempuan!". 

Analisis sederhana ini setidaknya membuktikan betapa naifnya pemahaman orang Indonesia terhadap term "pelacur". Dianggap aneh bila kita menyebut seorang lalaki sebagai pelacur. Seolah-olah pelacur melulu dan terbatas pada pada kaum perempuan. Term dalam dirinya sendiri sebenarnya tidak bermasalah. Pengguna termlah yang bermasalah. Harus diakui bahwa identifikasi yang demikian picik sangat dipengaruhi oleh budaya dan tradisi kegamaan yang berkembang di Indonesia. 

Pemahaman ini berbanding terbalik dengan fenomena pemerkosaan yang terjadi di tanah air. Hampir pasti, pelaku pemerkosaan adalah kaum lelaki. Kita jarang mendengar berita, di mana seorang perempuan memperkosa lelaki. Kalaupun ada, mungkin prosentasenya tidak mampu mengalahkan jumlah lelaki pemerkosa. Komisaris komnas perempuan, Adriana Venny mengatakan bahwa dalam catatan tahunan Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan setiap tahun. Tahun 2017 tercatat 348.446 kasus. Jumlah ini melonjak jauh bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 259.150 kasus. 

Dalam tulisan ini, penulis berusaha menganalisis term "pelacur" dengan tujuan: agar pembaca dapat memahami term ini secara komprehensif dan tidak berat sebelah. Untuk lebih mempertajam penjelasan, penulis juga berusaha mengurai sejarah pelacuran yang kemudian dilanjutkan dengan uraian tentang pelacuran di Indonesia. Kemudian, penulis menyampaikan alasan reduksi term  "pelacur" yang amat sempit dalam masyarakat Indonesia.

Lalu, selanjutnya diuraikan pula perihal identitas pelacur yang sesungguhnya. Lantaran term "pelacur" cenderung disamakan dengan PSK, maka penulis juga akan memaparkan sedikit informasi tentang siapakah PSK (pekerja seks komersial) itu?

 Kemudian penulis akan mengusulkan sikap yang perlu dimiliki oleh seorang perempuan berhadapan dengan segala macam bentuk diskriminasi atas kaum perempuan. Tentu saja, penulis juga akan menyampaikan gagasan tentang sikap menghargai terhadap kaum perempuan. Tulisan akan ditutup dengan kesimpulan yang berisi relevansi dengan zaman sekarang.

Memahami Terminilogi "Pelacur" 

 Dalam kamus besar bahasa Indonesia, istilah "pelacur" berasal dari kata dasar "lacur". Lacur itu sendiri diartikan sebagai kelakuan tidak baik (tentang perempuan). Dari kata dasar ini, muncul kata kerja "melacur" yang berarti berbuat lacur; menjual diri (sebagai tunasusila atau pelacur). Subyek yang melacur disebut "pelacur" yang mengacu pada perempuan yang melacur; sundal; wanita tunasusila.

Dalam konteks yang ilmiah, "lacur" berarti penyelewengan dalam dunia pendidikan. Sedangkan dalam konteks keagamaan, lacur merujuk pada ritual keagamaan yang keramat. Menarik bahwa dalam kamus yang sama, juga ditulis kata "tunasusila". Tunasusila itu sendiri adalah bentukan dari kata "tuna" yang berarti luka; rusak; kurang; dan tidak memiliki, dan "susila" yang berarti baik budi bahasanya, beradab, sopan, dan beradab. 

Kemudian, di tempat lain, penyusun kamus yang sama mengartikan kata "tunasusila" sebagai yang tidak mempunyai susila, lonte, dan pelacur: wanita tunasusila. Rupanya, untuk mengartikan kata "tunasusila", penyusun kamus menambah satu term baru, yaitu: "lonte". Kata "lonte" dalam kamus yang sama diartikan sebagai perempuan jalang, wanita tunasusila, pelacur, dan sundal.

Lebih lanjut, dalam mengartikan kata "lonte", penyusun kamus lagi-lagi menambah satu term baru, yaitu "sundal". "Sundal" diartikan sebagai yang buruk kelakuannya (tentang perempuan), lacur, dan jalang. Sekali lagi, penyusun kamus menambah satu term baru lagi, yaitu: "jalang" yang berarti nakal (tentang perbuatan yang melanggar susila), perempuan jalang atau pelacur.

Berdasarkan penelitian leksikal ini, penulis menemukan bahwa ternyata terdapat begitu banyak istilah yang mengacu pada pada term "pelacur". Semua term itu sebenarnya mau mengatakan satu hal, yaitu: yang tidak baik susilanya atau moralnya. Dan, semua term yang merujuk pada istilah "pelacur" selalu ditambahi keterangan tentang perempuan yang disematkan dalam tanda kurung setelah term ditulis. Dalam mengartikan term-term tersebut, penyusun kamus juga sama sekali tidak menyinggung soal hal yang spesifik perihal pelacur dan tindakan melacurkan itu. 

Yang disampaikan kamus hanya sebatas definisi umum, misalnya ketika kamus mengartikan kata "melacur". Kamus hanya sebatas menyampaikan bahwa melacur itu berarti berbuat lacur dan menjual diri. Apakah menjual diri di sini dimengerti sebagai penjualan jasa sebagai pencuri, pembunuh ataukah sebagai perampok. Kata "tunasusila" pun diartikan dengan sangat umum, yaitu yang tidak baik susilanya, entah susilanya tidak baik lantaran apa, sama sekali tidak dijelaskan. Yang paling memilukan ialah bahwa dalam mengartikan setiap term yang berkaitan dengan term "pelacur", keterangan tentang lelaki, luput dari perhatian kamus. Padahal ada banyak lelaki yang melacurkan diri.

Menarik bahwa dalam kamus Indonesia-Inggris uang ditulis John M. Echols dan Hassan Shadily yang disusun oleh John Echols dan Hassan Shadily, kata "lacur" diterjemahkan dengan "immoral", "indecent". Kemudian "Melacur" diterjemahkan dengan "carry on or perfom prostitution". Dalam kamus yang sama, kata "jalang" diterjemahkan dengan "wild", "untamed", "undomesticated" (of animals). Kemudian kata "lonte" diterjemahkan dengan "prostitute", "male prostitute". Dan kata "sundal" diterjemahkan dengan "prostitute", "lewd", "whore", dan "fornication". Berdasarkan informasi ini, penulis menyimpulkan bahwa dalam bahasa Inggris, term "pelacur" tidak melulu direduksi pada kaum perempuan.

 Kita perlu perhatikan baik-baik bahwa dalam kamus Indonesia-Inggris tersebut, kata "jalang" lebih dikaitkan dengan binatang (animal), sedangkan kata "sundal" bahkan diterjemahkan dengan "male prostitute" yang berarti pelacur laki-laki.

Kemudian mengapa dalam kamus besar bahasa Indonesia term "pelacur" dan yang berkaitan dengannnya lebih dihubungkan dengan kaum perempuan? Hal ini membuktikan betapa diskriminasinya kamus orang Indonesia dalam memahami term "pelacur". Mungkin kenyataan ini belum disadari oleh semua orang. Bahkan pemahaman yang demikian naf telah menjadi pemahaman yang pakem dalam benak orang -orang Indonesia. Konsekuensinya, ketika terjadi kasus perselingkuhan misalnya, orang-orang Indonesia lebih mempersoalkan moralitas kaum perempuan. Seolah-olah kalau lelaki nakal, itu wajar! Kaum perempuan selalu dikambinghitamkan.

Sejarah Singkat Pelacuran 

Fenomena pelacuran bukanlah kenyataan baru. Pelacuran sudah ada sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Praktik pelacuran tidak terlepas dari pergolakan politik, agama, ekonomi, dan budaya manusia dari zaman ke zaman. Dalam budaya Yunani Kuno, pelacur umumnya dikenal dengan sebutan "pornoi". Di samping itu, sebutan untuk pelacur Yunani kuno juga adalah "hierodouli".

"Hierodouli" adalah para pelacur kuil. Disebut pelacur kuil, lantaran hasil dari kerjanya disumbangkan kepada pihak kuil Aphrodite dengan harapan akan mendapat imbalan dari para dewi. Menarik bahwa motivasi melacur di zaman Yunani kuno sangat religius. Mereka melacurkan diri untuk mendapat "anugerah" dari Yang Transenden.

Dalam kebudayaan Babilonia kuno pun terdapat praktik pelacuran. Bahkan dalam budaya Babilonia kuno, pelacur termasuk profesi para perempuan terdidik. Sebab, satu-satunya profesi yang dengan mudah memperoleh kekeayaan di zaman itu adalah dengan melacurkan diri. Pelacur dalam zaman Babilonia kuno disebut "kizrete". Para "kizrete" bahkan disanjung-sanjung sebagai wanita terhormat.

Di Jepang, para pelacur diperlakukan secara istimewa dengan menempatkan mereka pada lokasi yang bernama "Geisha". Lain halnya di Yunani, Jepang, dan di babilonia, pelacur di Romawi dipandang sangat negatif. Sebab, keberadaan mereka dianggap berbahaya bagi anak-anak. Pihak kekaisaran membuat hukuman yang tegas terhadap pelacur yang berkeliaran di sekitar wilayah permainan anak-anak. Dalam budaya India Kuno, para pelacur disebut "khumbadasi". Mereka datang dari kaum kelas rendah. Opsi hidup mereka hanya dua, yaitu: menikah atau menjadi pelacur.

Namun perlu diketahui bahwa pelaku pelacuran dalam beberapa budaya kuno di atas sama sekali tidak terbatas pada kaum perempuan. Dalam budaya Yunani kuno, ada seorang filsuf yang pada masa mudanya dipaksa menjadi seorang pelacur. Dia adalah Phaedo dari Elis. Ia kemudian bertemu dengan Sokrates dan selanjutnya menjadi seorang filsuf.

Pelacuran lelaki berkembang dengan pesat di Amerika Serikat sejak abad ke-17. Meskipun harus diakui bahwa kebanyakan pelacur di zaman itu didominasi oleh kaum perempuan. Hal ini berangkat dari pandangan zaman yang sering kali menempatkan kaum perempuan sebagai pemuas birahi lelaki. 

 Barulah pada perang dunia II, pelacuran berkembang secara masif di Eropa. Kebanyakan dari para pelacur ialah para wanita yang berniat memenuhi kebutuhan ekonomi dengan menjajakan tubuh mereka kepada para tentara. Tercatat, sekitar 600 wanita dikirim untuk menjadi pelacur yang memuaskan hasrat seks para tentara Amerika Serikat. Akibatnya, banyak tentara yang terkena penyakit kelamin.

Pelacuran di Indonesia

Pelacuran di Indonesia sudah ada sejak zaman kerajaan. Raja adalah seorang yang memiliki kekuasaan mutlak. Dengan embel-embel kesetiaan, para bangsawan biasanya menyerahkan puteri mereka untuk menjadi selir sang raja. Para selir raja biasanya didistribusi dari daerah yang dikenal memiliki para gadis yang cantik dan molek.

Disinyalir, ada beberapa daerah di Indonesia yang menjadi penghasil selir terbaik untuk kerajaan, di antaranya ialah: Indramayu, Karawang, Jepara, Pati, Blitar, Malang, Banyuwangi, Lamongan, Grobogan dan wonogiri, dan Kuningan. Kecamatan Gabus Wetan di Indramayu dikenal sebagai tempat dengan produk gadis terbanyak untuk dikirim menjadi selir sultan Cirebon.

Jumlah selir sering kali dikaitkan dengan wibawa dan harga diri sang raja. Semakin banyak selirnya, semakin ia dianggap sebagai seorang raja yang hebat dan kuat. Bahkan, selir yang banyak dianggap sebagai sebagai kejayaan spiritual. Rupanya kepentingan politis juga mewarnai kecenderungan kebanyakan raja memperbanyak selir.

Dalam kerajaan Mataram misalnya, para gadis dianggap sebagai upeti kepada sang raja. Di kerajaan Bali, seorang janda yang tidak mendapat dukungan dari keluarganya, secara otomatis menjadi milik raja. Namun bila ia tidak diterima sang raja, sang janda akan dikirim keluar kota untuk menjadi seorang pelacur. Dan hasil kerjanya itu harus diserahkan secara teratur kepada pihak kerajaan.

Pelacuran di Indonesia berkembang secara terorganisisr sejak zaman kolonial. Di zaman kolonial, terdapat banyak perempuan Indonesia yang bekerja sebagai pemuas kebutuhan seksual para serdadu dan pedagang yang datang dari luar negeri. Pada 1852, pekerja seksual disebut "perempuan publik". Para "perempuan publik" di kala itu perlu mengontrol kondisi kesehatannya secara rutin. Jika sang perempuan terdiagnosa penyakit kelamin, maka perempuan tersebut akan dibawa ke sebuah lembaga yang bernama "Inrigiting voor Zieke Publike Vrouwen". Lembaga ini secara khusus menangani "perempuan publik" yang terdiagnosa penyakit kelamin. 

Aktivitas pelacuran di Indonesia meningkat secara drastis sejak abad ke-19. Hal ini dipengaruhi oleh pembenahan hukum agraria pada 1870, di mana negara jajahan memberi ruang terhadap penanaman modal swasta. Perluasan area perkebunan di Jawa Barat, perkembangan industri di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pembangunan perkebunan di Sumatera, dan pembangunan jalan raya dan rel kerata api menimbulkan migrasi pekerja lelaki secara besar-besaran.

Situasi ini dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk mendirikan tempat prostitusi di sekitar stasiun kereta api yang kemudian dapat memuaskan kebutuhan seksual para pekerja. Dapat dipahami kemudian mengapa kebanyakan tempat prostitusi di Indonesia umumnya terletak sekitar stasiun kereta api. 

Reduksi Serampangan: Konsekuensi Budaya Patriarkal 

Reduksi term "pelacur" pada kaum perempuan telah menimbulkan sikap diskriminatif atas kaum perempaun khususnya di Indonesia. Harus diakui bahwa reduksi ini berangkat dari tradisi patriarkal yang sejak zaman dahulu sudah melekat erat dalam benak orang-orang Indonesia, bahkan dalam benak kaum perempuan Indonesia itu sendiri.

Secara umum, budaya-budaya di tanah air sangat menekankan dominasi lelaki atas kaum perempuan. Dalam bukunya yang berjudul "Ketimpangan Gender dalam Jurnalistik", Thamrin Amal Tomagolo menandaskan bahwa sitilah jawa "konco wingking" misalnya, termuat pesan: sang suami adalah pimpinan sedangkan istri sebatas pelengkap. Keberadaan istri berada di bawah kekuasaan sang suami. 

Tradisi mengenakan jilbab bagi perempuan muslim juga mengungkapkan kecenderungan patriarkal yang amat jelas. Dikatakan bahwa jilbab dikenakan untuk menutup aurat agar tidak menggoda kaum lelaki. Seolah-olah perempuanlah sumber kesalahan ketika lelaki tergoda. Bahkan ada agama tertentu yang merestui suami beristri lebih dari satu.

Dalam iklim berfilsafat pun, kaum perempuan masih ditempatkan sebagai "yang tidak sama" dengan pria, atau dalam terminologi filosofis, perempuan adalah "yang lain" (the other), sementara pria adalah "diri" (the self)(Donatus Sermada Kelen, "Perempuan dan Filsafat, dalam Geliat Membela Martabat Perempaun", eds. Merry Teresa dan Agung Wahyudianto, Malang: STFT Widya Sasana,2006). Kisah penciptaan yang dilukiskan oleh perjanjian Lama, juga menampilkan kehadiran perempuan 'setelah' lelaki; Perempuan adalah tulang rusuk yang diambil dari lelaki.

Film Indonesia juga rupanya menggambarkan perempuan dengan identitas yang terkesan vulgar. Perempuan sering kali digambarkan sebagai daya tarik, kekuatan, dan gairah seks (Widjajanti M. Santoso,  "Sosiologi Feminisme: Konstruksi Perempuan dalam Industri Media", Yogyakarta:LKIS, 2011).

 Dalam beberapa film, kehadiran perempuan merupakan bagian dari penokohan lelaki. Dengan demikikan, pemirsa dapat melihat tokoh perempuan sebagai objek erotik-pemandangan yang sesuai dengan keinginan lelaki ketika menikmati sebuah tontonan. Dalam beberapa iklan, perempuan ditampilkan sensual dalam rangka promosi produk tertentu.

Perempuan yang ditampilkan media cenderung sebatas pemuas mata kaum lelaki dan demi kepentingan lelaki. Misalnya iklan yang mengusung tubuh yang langsing. Sebenarnya iklan mau mengatakan bahwa tubuh yang langsing sangat dibutuhkan oleh kaum lelaki.

Apa yang telah dipaparkan di atas setidaknya memberikan pemahaman kepada kita, mengapa term "pelacur" entah dalam teks atau pun dalam konteks orang Indonesia, melulu direduksi pada kaum perempuan. Sebenarnya, bila dibuat perbandingan, jumlah pelacur lebih banyak adalah kaum lelaki ketimbang perempuan. Bayangkan, satu perempuan pekerja seks komersial yang bekerja satu minggu akan melayani lelaki yang berbeda dalam setiap jam. Ada beberapa lelaki yang telah melacurkan diri dengan satu perempuan tersebut? Bukankah kaum lelaki lebih banyak?

Siapakah Pelacur itu?

Berdasarkan apa yang telah diulas sebelumnya, kita dapat membuat definisi yang lebih komprehensif dan adil atas apa yang kita sebut sebagai pelacur. Sebetulnya pelacur sama sekali tidak identik dengan perempuan. Lelaki yang melacurkan diri juga adalah seorang pelacur. Lelaki yang demikian disebut gigolo. Mereka menjajakan dirinya pada para perempuan yang membutuhkan pemuasan seksual. Namun lebih dari itu, "pribadi pelacur" tidak lain ialah siapapun yang melacurkan diri demi kejahatan. 

Dalam artian, siapapun yang "menjual" dirinya, kemampuannya, kelebihannya, popularitasnya, jabatannya, ideologinya, demi kepentingan asusila (amoral), termasuk dalam kategori "pelacur". Seorang ustad yang berkotbah tentang belas kasih, namun mengusung tindakan pembunuhan terhadap yang lain adalah ustad yang "melacur". Seorang pastor yang berkotbah tentang pengampunan, tetapi berselingkuh dengan janda adalah seorang "pelacur" yang sesungguhnya. 

Perlu diketahui bahwa istilah yang merujuk pada tindakan melacurkan diri dalam arti seksual ialah WTS (wanita tunasusila). Kemudian istilah ini diganti dengan istilah PSK (pekerja seks komersial). Istilah PSK tampaknya lebih adil, karena tidak menyertai keterangan jenis kelamin manapun. Memang demikianlah sebenarnya, istilah "pelacur" harus merangkum baik perempuan ataupun kaum lelaki. 

PSK: Profesi atau Libido

Di bagian ini, penulis sama sekali tidak membahas penilaian moral atas tindakan seksual para PSK. Ulasan penulis tidak berdasarkan otoritas ajaran agama manapun. Memang sulit mengambil kesimpulan tanpa terlebih dahulu mengadakan penelitian lapangan yang ketat. Namun, di sini penulis mencoba menganalisa relasi antara para PSK dan penyewa PSK. Biasanya, PSK dibayar oleh pengunjung. Nah, bisa dipastikan bahwa seorang pekerja seks komersial takkan pernah memberikan tubuhnya seandainya pengujung tidak memberikan bayaran yang sesuai. Antara PSK dan pengunjung memiliki kepantingan masing-masing. 

PSK dalam hal ini memiliki kepentingan untuk mendapatkan biaya dari pekerjaanya. Di sisi lain, pengunjung memiliki kepentingan untuk memenuhi impian seksualnya. Dalam konteks ini, penulis membuat kesimpulan bahwa PSK di sini menghadirkan diri sebagai pekerja. Baginya, menjajakan tubuh bagi pengunjung adalah profesi yang mendatangkan uang. Sebaliknya, pengunjung menghadirkan diri sebagai penikmat seks. 

Berdasarkan logika ini, dapat disimpulkan lebih jauh, bahwa keduanya, entah PSK atau pengunjung sama-sama melacurkan diri. Sebab, mereka melakukan hubungan seksual tidak berdasarkan pernikahan. Namun, keduanya memiliki motivasi tindakan yang berbeda. Pelacuran yang dilakukan oleh PSK bisa jadi didorong oleh desakan ekonomi. Baginya, tidak ada pilihan lain selain menjadi PSK. Ia terpaksa menjadi seorang PSK. 

Sebaliknya, sudah barang pasti, para pengunjung yang datang  pasti didorong oleh libido yang tak dapat dikendalikan lagi. Dalam perspektif filosofis Plato, seorang manusia yang tak mampu menahan nafsunya, masih barada dalam taraf yang setara dengan hewan. Dalam logika yang demikian, boleh dikata, pengunjung masih setara dengan hewan. Berdasarkan analisis ini, pengunjung ditempatkan sebagai pelaku yang berlibido, sedangkan PSK adalah pribadi yang berprofesi (bekerja).

Kaum perempuan: Harus pro-aktif

Kaum perempuan hendaknya lebih pro-aktif untuk mengkritisi segala bentuk diskriminasi atasnya. Misalnya, anggapan yang mengatakan bahwa perempuan hanya bisa bekerja di dapur dan di kasur, perempuan itu hanya bisa memasak, menghias bunga, perempuan itu hanya bisa mengurus anak dan istilah "pelakor" (perebut laki orang), perlu dikritisi secara tegas.

Perempuan tidak boleh menunggu kaum lelaki. Bila melulu kaum lelaki yang memulai, maka, pada saat yang sama, keberadaan perempuan masih akan dianggap berada di bawah kaum lelaki. Masalah perempuan harus pertama-tama dipahami oleh perempuan sendiri. Seorang perempuan harus memiliki kesadaran bahwa dia berbeda sekaligus sama dengan kaum lelaki. Keberbedaannya tampak dalam pengalaman melahirkan dan menyusui. Kesamaannya ialah bahwa keduanya adalah pribadi manusia.

 Di sini, penulis akan menyampaikan beberapa sikap yang perlu dimiliki oleh seorang perempuan yang sungguh mencintai keadilan. Sikap-sikap itu disari dari apa yang telah direfleksikan oleh Gadis Arivia. Pertama, sikap peduli. Dengan kepedulian memaksudkan sensitifitas. Seorang perempuan yang sensitif mampu menjadi pendengar dan pemerhati yang baik dalam bidang apapun. Kedua, toleransi. Toleransi menjadi senjata yang ampuh menghadapi agresivitas, konflik, dan fundamentalisme. Membangun sikap toleransi berarti mencintai pluralisme.

 Ketiga, membebaskan. Seorang perempuan perlu menghargai partner dialognya. Dia tidak boleh meninggalkan rasa bersalah, ketakutan, dan penolakan pada partner dialognya. Keempat, antipoligami. Seorang perempuan harus menjunjung tinggi nilai keadilan dan kesetaraan hak dan martabat. Seorang yang paham apa artinya keadilan akan "menggonggong" budaya poligami. Kebebasan seorang perempuan dipertanggungjawab dengan loyalitas terhadap pasangannya

Menghargai Kaum Perempuan 

Menghargai perempuan adalah sebuah keharusan. Ketika kita berhadapan dengan perempuan, tidak ada sikap yang lain selain menghargainya. Penghargaan terhadap perempuan pertama-tama berangkat dari kesadaran bahwa setiap manusia dilahirkan oleh seorang perempuan. Lelaki mungkin mampu melakukan segala hal sebagaimana dilakukan oleh seorang perempuan. Namun, satu hal yang takkan pernah dilakukan oleh kaum lelaki, yaitu kemampuan mengandung dan melahirkan manusia baru. Kaum lelaki takkan pernah menggantikan peran ini. 

Menghargai perempuan berarti menghargai dia sebagai subjek. Ia diberi kebebasan untuk menentukan hidupnya. Seorang perempuan tidak perlu dipaksa atau dituntut untuk menjadi seorang perempuan menurut standar tertentu. Ia diberi ruang untuk menentukan sendiri standar kecantikannya, fashionnya, dan kecakapan intelektualnya.

Cara menghargai perempuan harus dipahamai secara "aku menghargai diriku sendiri". Artinya, cara kita memperlakukan diri kita haruslah diterapkan saat kita memeperlakukan kaum perempuan. Bila kita merawat dan menjaga tubuh kita, maka kita pun harus merawat dan menjaga tubuh perempuan. Perempuan dengan demikian adalah "aku yang lain" dan bukan "dia yang lain".

Kejahatan baru di era digital ini ialah penyebaran hoax (berita bohong). Pelaku kejahatan ini datang dari berbagai kalangan, entah itu religius, pejabat ataupun mahasiswa. Apapun alasannya, memberitakan apa yang tidak benar merupakan sebuah tindakan "melacurkan" diri. Dalam hal ini, pejabat politik yang menyebarkan hoax tentang lawan politiknya adalah seorang pelacur. Ia telah melacurkan dirinya demi kepentingan politis tertentu. Hidup moral seorang pekerja seks komersial yang jujur, lebih baik ketimbang sang pejabat penyebar hoax.

Pejabat yang korup dengan demikian termasuk dalam kategori pelacur. Agama yang melegalkan tindakan membunuh demi kebahagiaan surgawi adalah agama yang sedang melacurkan diri. Dalam hal ini, para teroris termasuk oknum yang melacurkan diri. Seorang religius yang melanggar hidup kaulnya dengan sendirinya sedang melacurkan dirinya. 

Venan Jalang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun