G20) awalnya dibentuk sebagai wadah diskusi bersama untuk membahas berbagai isu ekonomi global. Forum ini merupakan hasil transformasi dari Forum G8, yang sebelumnya hanya melibatkan delapan negara dengan ekonomi maju, yaitu Kanada, Inggris, Amerika Serikat, Italia, Prancis, Jerman, Jepang, dan Rusia.
Group of Twenty (Berbeda dengan G8 yang terbatas pada negara-negara elit ekonomi, G20 mencakup negara-negara dengan perekonomian maju dan berkembang. Anggota G20 terdiri dari Amerika Serikat, Argentina, Brasil, Australia, Kanada, Meksiko, Turki, Indonesia, Korea Selatan, Jepang, China, Jerman, Inggris, India, Arab Saudi, Afrika Selatan, Italia, Prancis, Rusia, serta Uni Eropa. Keanggotaan ini memungkinkan representasi lebih luas, mencakup lima benua, dibandingkan G8 yang hanya melibatkan negara dari tiga benua.
Secara kolektif, negara-negara anggota G20 menguasai sekitar 90% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia, 80% volume perdagangan global, serta dua pertiga populasi global. Dengan demikian, G20 menjadi cerminan dari kekuatan ekonomi global dan arus perdagangan internasional yang besar.
Meski memiliki pengaruh besar, G20 bukanlah organisasi internasional dengan struktur formal seperti Bank Dunia, IMF, ADB, atau WTO dan karena tidak memiliki sekretariat permanen, struktur G20 bersifat fleksibel Kepemimpinannya bersifat bergilir di antara anggota, yang dikenal dengan istilah presidensi. Negara yang memegang presidensi bertanggung jawab menyelenggarakan seluruh rangkaian pertemuan selama masa tugasnya. Pada tahun 2022, Indonesia berperan sebagai presidensi, dengan masa tugas dari 1 Desember 2021 hingga 22 November 2022. Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menjadi anggota G20 dan sebagai negara berkembang dengan ekonomi terbesar di Kawasan. Indonesia memainkan peran penting dalam mewakili kepentingan negara-negara berkembang lainnya dalam diskusi global mengenai isu-isu ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Keberadaan Indonesia dalam G20 memberikan kesempatan untuk menyuarakan tantangan dan peluang yang dihadapi oleh negara berkembang.
Sepanjang tahun, G20 secara rutin mengadakan berbagai pertemuan, yang dirancang untuk mendiskusikan isu-isu global yang mendesak. Pertemuan ini melibatkan para pejabat tingkat tinggi dari negara-negara anggota, termasuk menteri keuangan, gubernur bank sentral, dan menteri lainnya yang relevan. Pertemuan G20 mencakup Working Groups (kelompok kerja), Ministerial & Deputies Meetings (Pertemuan Tingkat Menteri dan Deputi) dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) adalah puncak dari proses pertemuan G20, yaitu rapat tingkat kepala negara/pemerintahan. KTT ini mempertemukan kepala negara atau pemerintahan untuk membahas isu-isu strategis dan membuat keputusan penting.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, pembahasan utama terbagi menjadi dua jalur, yaitu jalur keuangan (finance track) dan non-keuangan (sherpa track). Isu keuangan mencakup krisis global, reformasi lembaga keuangan internasional, perpajakan, korupsi, dan perdagangan. Sementara itu, isu non-keuangan meliputi berbagai topik, seperti kemiskinan, perubahan iklim, kesetaraan gender, terorisme, geopolitik, energi, hingga imigrasi.
Pengembangan Anak Usia Dini dalam Fokus G20
Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 tahun 2018 yang lalu diselenggarakan di Buenos Aires, Argentina, dengan tema “Building Consensus for Fair and Sustainable Development” (Membangun Kesepakatan untuk Pembangunan yang Adil dan Berkelanjutan). Pertemuan tingkat tinggi G20 ini melahirkan sebuah komunike atau kesepakatan bersama “G20 Leaders’ declaration Building consensus for fair and sustainable development” yang terdiri dari 31 butir kesepakatan. Selain itu, dihasilkan pula 11 persetujuan di tingkat kementerian dan 20 dokumen kelompok kerja. Khusus pembahasan permasalahan anak usia dini masuk kedalam isu Pembangunan berkelanjutan.
Para pemimpin dunia menekankan pentingnya pengembangan anak usia dini sebagai salah satu prioritas. Mereka meluncurkan Initiative for Early Childhood Development (ECD) yang bertujuan meningkatkan akses terhadap layanan pendidikan dan perawatan anak usia dini yang berkualitas. Inisiatif ini menyoroti perlunya pendekatan holistik yang mencakup aspek kesehatan, gizi, pendidikan, dan perlindungan anak. Hal yang menjadi G20 inisiatif salah satunya di poin ke 8 yaitu “bertekad untuk berkontribusi dalam memastikan bahwa semua anak – dengan penekanan pada 1.000 hari pertama kehidupan mereka memperoleh gizi dan kesehatan yang baik, menerima perawatan, stimulasi dan kesempatan yang tepat untuk pembelajaran dan pendidikan dini dan tumbuh dalam lingkungan yang baik” juga di poin ke 11 “menekankan pentingnya gizi yang baik sejak dini dalam kehidupan seorang anak, dan bahkan sebelum kelahiran melalui peningkatan gizi ibu sebelum dan selama kehamilan, yang menjamin dasar bagi perkembangan otak dan tubuh anak. Kami juga menekankan pentingnya pemberian ASI sebagai sarana penting untuk menjamin keamanan pangan dan gizi bagi bayi. Kami tetap prihatin bahwa akibat kekurangan gizi.”
Realitas Masalah Gizi Anak di Indonesia
Namun, setelah enam tahun berlalu dari kesepakatan di atas, laporan terbaru menunjukkan bahwa realitas di lapangan jauh dari harapan. Masalah kekurangan gizi, khususnya pada anak usia dini di Indonesia masih menjadi tantangan serius. Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting—kondisi di mana anak mengalami pertumbuhan yang terhambat akibat kekurangan gizi kronis—berada pada angka 21,6%. Meskipun angka ini menunjukkan penurunan sebesar 2,8% dari tahun sebelumnya, target penurunan stunting menjadi 14% pada tahun 2024 masih memerlukan upaya yang signifikan.