Ketika memori kolektif bangsa ini, yang telah dibentuk oleh sejarah panjang perjuangan, terkadang terasa memudar, kita perlu menemukan cara untuk menjembatani gap tersebut agar dapat memahami tantangan masa kini dengan lebih bijak, serta mempersiapkan diri menuju masa depan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
  Salah satu isu politik yang terus berkembang di Indonesia adalah politisasi identitas. Fenomena ini bukan hal baru, tetapi telah semakin mempengaruhi cara kita berpolitik. Ketika pemilu-pemilu terakhir semakin menguatkan kesan bahwa identitas agama, etnis, dan bahkan suku digunakan sebagai senjata untuk meraih kekuasaan, kita seolah melupakan tujuan utama dari sebuah politik, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Â
Pada pemilu 2019, misalnya, politisasi identitas begitu kental dalam kampanye yang menonjolkan perbedaan, bukan persatuan. Hal ini tidak hanya mengancam persatuan bangsa, tetapi juga mengarah pada fragmentasi sosial yang memperlebar kesenjangan antara kelompok-kelompok masyarakat.
  Melihat ke belakang, kita tahu bahwa Indonesia lahir dari keberagaman yang disatukan oleh semangat nasionalisme. Ingatan kolektif ini penting untuk mengingatkan kita bahwa politik tidak seharusnya dipandang hanya sebagai alat untuk kekuasaan, tetapi sebagai sarana untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang perbedaan.Â
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2023), sebanyak 72,5% masyarakat Indonesia mengidentifikasi dirinya dengan kelompok agama tertentu yang sering kali dijadikan alat politik. Hal ini membuktikan betapa politisasi identitas masih sangat kental dan bisa berdampak pada stabilitas sosial kita.
  Di sektor ekonomi, meskipun Indonesia telah mengalami banyak kemajuan, ketimpangan sosial-ekonomi masih menjadi tantangan besar. Data dari Bank Dunia (2023) menunjukkan bahwa meskipun ekonomi Indonesia tumbuh stabil dengan angka pertumbuhan GDP sebesar 5,3% pada 2022, kesenjangan pendapatan antar kelompok masyarakat tetap tinggi.Â
Menurut laporan yang sama, rasio Gini, yang mengukur ketimpangan pendapatan, tercatat sebesar 0,38 pada 2022, menunjukkan adanya ketimpangan yang belum dapat diselesaikan secara efektif.Â
Fenomena ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang lebih menekankan pada pertumbuhan jangka pendek ketimbang distribusi yang lebih merata. Ketika hanya sebagian kecil kelompok yang menikmati hasil pembangunan, sementara kelompok lainnya terus terpinggirkan, maka pertumbuhan ekonomi tersebut tidak akan pernah mencapai tujuan yang sesungguhnya, yaitu menciptakan keadilan sosial.
  Namun, ada secercah harapan. Seiring dengan meningkatnya kesadaran mengenai pentingnya ekonomi berkelanjutan dan pemerataan, beberapa kebijakan telah mulai menunjukkan perubahan.Â
Pada 2022, pemerintah meluncurkan program Program Keluarga Harapan yang secara langsung menyasar masyarakat miskin, dengan alokasi anggaran sebesar Rp 30 triliun untuk memberikan bantuan tunai dan akses pendidikan bagi keluarga miskin. Di bidang sosial-budaya, Indonesia dikenal dengan keragaman budaya yang luar biasa.Â
Namun, di era digital yang serba cepat ini, banyak kebudayaan lokal yang terancam punah atau tergerus oleh budaya global yang cenderung homogen. Di satu sisi, perkembangan teknologi dan informasi membuka peluang bagi kebudayaan lokal untuk lebih dikenal dan dihargai di dunia internasional. Namun, di sisi lain, generasi muda yang lebih terpapar pada budaya global sering kali melupakan akar budaya mereka sendiri.
  Contohnya, beberapa tradisi lokal, seperti upacara adat atau seni pertunjukan tradisional, semakin jarang dijumpai di kehidupan sehari-hari, terutama di kota-kota besar. Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2022) menunjukkan bahwa sekitar 38% kebudayaan lokal di Indonesia terancam punah dalam beberapa dekade terakhir, terutama karena kurangnya minat generasi muda terhadap budaya tradisional.Namun, ada pula optimisme.Â
Banyak komunitas di seluruh Indonesia yang mulai sadar akan pentingnya menjaga warisan budaya mereka.
 Inisiatif lokal untuk menghidupkan kembali kebudayaan lokal, seperti Festival Budaya, pertunjukan seni, hingga kampanye pelestarian bahasa daerah, menunjukkan bahwa memori kolektif ini masih hidup dan dapat berkembang jika diberikan ruang dan perhatian.
  Sebagai bangsa, kita harus terus-menerus melakukan refleksi terhadap kondisi sosial, politik, dan ekonomi kita saat ini. Kita perlu mengingat dan memahami bahwa sejarah dan memori kolektif adalah kunci untuk memahami masa kini, namun itu tidak berarti kita harus terjebak di dalamnya.Â
Masa depan yang lebih baik hanya akan tercipta jika kita mampu mengambil hikmah dari pengalaman-pengalaman masa lalu, sambil mengadaptasi diri dengan perubahan zaman.Untuk itu, kita perlu berbicara lebih banyak tentang solusi, bukan hanya permasalahan.Â
Mengingatkan kita bahwa kebijakan politik yang inklusif, ekonomi yang berkeadilan, dan pelestarian budaya bukanlah sesuatu yang harus menjadi pilihan, tetapi kewajiban kita sebagai bangsa yang ingin maju bersama. Data dari Forum Ekonomi Dunia (2023) menunjukkan bahwa Indonesia berpotensi menjadi salah satu ekonomi terbesar di dunia pada 2045, dengan proyeksi PDB mencapai USD 8 triliun.Â
Namun, pencapaian ini hanya akan terwujud jika kita dapat menanggulangi ketimpangan sosial dan ekonomi, serta memastikan keberlanjutan budaya yang menjadi ciri khas bangsa ini. Dengan begitu, memori kolektif bangsa ini tidak hanya akan dikenang sebagai bagian dari masa lalu, tetapi juga sebagai landasan kokoh bagi pembangunan masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H