Mohon tunggu...
Antoni Wijaya
Antoni Wijaya Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis blog, creative writer

Loves writing, reading.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Umat Kristen Dirugikan dengan Pasal UU Perkawinan Ini

24 Mei 2022   19:27 Diperbarui: 24 Mei 2022   19:36 1182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang kita ketahui, bahwa untuk warga Negara non-muslim, maka ketentuan tentang perkawinan di atur oleh undang-undang yang bersifat umum. Jika Islam memiliki asas undang-undang perkawinan sendiri, maka bagi non-muslim menggunakan asas undang-undang yang umum.

Sebetulnya, untuk tahapan menikah itu sendiri tidak ada masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika sebuah rumah tangga terjadi konflik yang bisa berakibat pada perceraian.

Dalam hal ini, tidak ada perlindungan yang sesuai dengan bunyi Alkitab dalam hal perceraian. Karena pada dasarnya, perceraian adalah dilarang dalam Kristen maupun Katolik.

Bunyi Pasal 39 (1) UU No. 1 th 1974, yaitu:

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Secara hukum, bunyi pasal ini tidak salah. Tetapi bagi umat Kristen, maka bunyi pasal ini sangat tidak melindungi iman Kristen yaitu:

Matius 19:6

Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.

Secara eksplisit, sudah jelas bahwa Alkitab melarang perceraian.

Hari-hari ini, dengan alasan yang disyaratkan oleh UU Perkawinan tentang perceraian yang popular dipilih oleh pasangan yang ingin bercerai adalah, karena terjadinya pertengkaran yang terus menerus. Sungguh secara iman Kristen, alasan tersebut sangat tidak masuk diakal. Bahkan jika terjadi KDRT pun, Kristen masih meminta untuk tidak bercerai.

Tetapi, ada hal yang sangat substansial yang perlu dikaji dari bunyi pasal-pasal dalam UU No.1 th 1974.

Pasal 2(1) UU No. 1 th 1974, yaitu:

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Artinya, agama diletakkan sebagai asas pertama dalam perkawinan. Pertanyaannya, kenapa pada saat perkawinan didasarkan pada hukum agama, sementara pada saat perceraian tidak?

Dalam Kristen, ketika seseorang menikah di Gereja tanpa di catat di catatan sipil, mereka sah dan dapat disebut sebagai suami istri. Sementara hukum Negara tidak melindungi pernikahan yang tidak tercatat, sehingga Negara juga tidak dapat melakukan tindakan perceraian.

Pertanyaannya. Jika pasangan Kristen menikah dan pernikahan mereka didaftarkan di catatan sipil, kemudian mereka melakukan perceraian lewat pengadilan negri, apakah pasangan ini bisa disebut sebagai TELAH BERCERAI?

Karena kalau dilihat, fungsi Negara disini hanyalah MENCATAT dan bukan MENIKAHKAN. Hal ini juga sesuai dengan:

Pasal 2(2) UU Perkawinan No. 1 th 1974, yaitu:

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jadi jelas, fungsi Negara dalam perkawinan adalah mencatat perkawinan (yang dilangsungkan di Gereja), kemudian perkawinan yang tercatat harus mengikuti hak dan kewajiban seperti yang tercantum dalam UU Perkawinan.

Sementara dalam Kristen, perkawinan bukan hanya soal menyatukan laki-laki dan perempuan, beranak pinak kemudian diberiakan hak dan kewajiban.

Perkawinan dalam Kristen adalah tentang pengorbanan, yaitu bagaiaman 2 orang yang bertemu setelah dewasa, kemudian saling mengabdi satu sama lain melebihi pengabdian terhadap orang tua.

Perkawinan dalam Kristen adalah ibadah yang paling tinggi, sesuai dengan Firman Tuhan:

Efesus 5:22

Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan.

Efesus 5: 25

Hai suami, kasihilah istrimu sebagaiaman Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya.

Kedua ayat di atas secara jelas menunjukkan bagaimana hubungan suami istri itu memerlukan pemahaman yang dalam, kesetiaan yang luar biasa, dan pengorbanan tanpa batas.

Jadi bagaimana mungkin dan bagaimana masuk akal, bunyi Firman itu bisa dikalahkan oleh UU Perkawinan sebagai berikut:

Pasal 39 (2) Perkawinan No. 1 th 1974:

Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.

Dalam Alkitab, bahkan sudah dibatasi alasannya, yaitu Berzina.

Artinya, Negara secara konstitusional telah melalaikan HAK Umat Kristen untuk melakukan kewajibannya dalam beragama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun