Tetapi, ada hal yang sangat substansial yang perlu dikaji dari bunyi pasal-pasal dalam UU No.1 th 1974.
Pasal 2(1) UU No. 1 th 1974, yaitu:
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Artinya, agama diletakkan sebagai asas pertama dalam perkawinan. Pertanyaannya, kenapa pada saat perkawinan didasarkan pada hukum agama, sementara pada saat perceraian tidak?
Dalam Kristen, ketika seseorang menikah di Gereja tanpa di catat di catatan sipil, mereka sah dan dapat disebut sebagai suami istri. Sementara hukum Negara tidak melindungi pernikahan yang tidak tercatat, sehingga Negara juga tidak dapat melakukan tindakan perceraian.
Pertanyaannya. Jika pasangan Kristen menikah dan pernikahan mereka didaftarkan di catatan sipil, kemudian mereka melakukan perceraian lewat pengadilan negri, apakah pasangan ini bisa disebut sebagai TELAH BERCERAI?
Karena kalau dilihat, fungsi Negara disini hanyalah MENCATAT dan bukan MENIKAHKAN. Hal ini juga sesuai dengan:
Pasal 2(2) UU Perkawinan No. 1 th 1974, yaitu:
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jadi jelas, fungsi Negara dalam perkawinan adalah mencatat perkawinan (yang dilangsungkan di Gereja), kemudian perkawinan yang tercatat harus mengikuti hak dan kewajiban seperti yang tercantum dalam UU Perkawinan.
Sementara dalam Kristen, perkawinan bukan hanya soal menyatukan laki-laki dan perempuan, beranak pinak kemudian diberiakan hak dan kewajiban.