Mohon tunggu...
Dea Avega Editya
Dea Avega Editya Mohon Tunggu... Penulis - Manajer Layanan Lembaga Rating dan Pemberi Pinjaman di Kemenkeu RI

Menulis agar tidak dilupakan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Perekonomian Berbiaya Tinggi

13 Juni 2024   18:40 Diperbarui: 14 Juni 2024   08:05 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada akhir Mei 2024, Kompas memberitakan mengenai sulitnya generasi Z yang baru lulus kuliah mencari pekerjaan berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Februari tahun 2009, 2014, 2019, dan 2024  (tautan berita). Ada beberapa hal yang menarik untuk disoroti, pertama angka serapan tenaga kerja formal secara umum pada periode 5 tahun terakhir ternyata mengalami penurunan yang sangat signifikan dibandingkan pada periode 5 tahunan sebelumnya. Penurunan tersebut mencapai 76,5% dari angka serapan periode 2014-2019 yang sebesar 8,5 juta. Kedua, penurunan serapan tenaga kerja formal tersebut ternyata di atas kertas justru terlihat "tidak berdampak" pada angka pengangguran. Fenomena ini diduga karena angkatan tenaga kerja yang tidak terserap disektor formal pada akhirnya beralih menjadi tenaga kerja informal. Selain itu, ada argumen yang menyatakan kecenderungan responden survei gengsi jika disebut sebagai pengangguran. Karena alasan itu, responden akan lebih nyaman untuk menganggap dirinya sebagai pekerja informal, meskipun sektor ini sangat bervariasi lingkup dan jenis pekerjaannya, termasuk content creator yang banyak digeluti generasi Z ini.

Tulisan Kompas mengenai rendahnya penyerapan tenaga kerja formal menggelitik saya untuk memikirkan penyebabnya. Seorang kolega yang merupakan kepala ekonom sebuah perusahaan sekuritas di Indonesia memberikan gagasan awal saat memberikan pemaparan mengenai kondisi perekonomian saat ini. Inti gagasan beliau yang saya tangkap dan juga menginspirasi tulisan ini adalah: "Perekonomian Indonesia sedang digerogoti oleh bunga tinggi". Sang ekonom memulai pemaparannya dengan sebuah chart yang menunjukkan peningkatan akumulasi dana perusahaan yang "parkir" di deposito perbankan. Dana yang sangat besar itu "gagal" diputar di real market diduga kuat karena imbal hasil yang ditawarkan bank (dengan bunga special rate) jauh lebih menarik bagi perusahan-perusahaan itu ketimbang insentif untuk ekspansi usaha (disinsentif bisnis).

Selanjutnya, ekonom tersebut juga menyoroti tren penurunan Dana Pihak Ketiga (DPK) milik rumah tangga pada lembaga keuangan. Ada dua faktor yang mungkin melatarbelakangi kondisi tersebut berdasarkan diskusi kami, pertama, masyarakat memang sedang membutuhkan lebih banyak dana tunai untuk biaya hidup sehingga menggerus tabungannya, atau alasan kedua; individu lebih memilih untuk menempatkan dananya di produk investasi seperti saham atau obligasi, alih-alih tabungan ataupun deposito bank. 

Dari dua opsi instrumen investasi tadi, kenaikan bunga acuan biasanya cenderung melemahkan saham sehingga instrumen obligasi menjadi lebih dilirik masyarakat. Adapun imbal hasil obligasi Pemerintah-yang menjadi referensi bagi obligasi swasta-untuk tenor menengah (generic 3 tahun) saat ini sudah sebesar 6,8% (tautan data). Setelah dipikirkan kembali, kedua faktor yang mungkin melatarbelakangi penurunan DPK rumah tangga ini sejatinya bermuara ke satu hal yaitu tingginya tingkat bunga di Indonesia dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir.

Bunga Acuan

Mari kita uraikan dasar argumen tersebut, dimulai dari cerita mengenai suku bunga acuan. Bunga acuan di Indonesia dikendalikan oleh otoritas moneter Bank Indonesia sesuai mandat UU Nomor 3 Tahun 2004, sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan utama institusi ini yakni mengendalikan inflasi. Saat ini policy rate Bank Indonesia (yang diberi istilah BI-7DRRR) adalah 6,25%, naik 25 bps dibulan April kemarin diluar ekspektasi pelaku pasar karena inflasi masih terkendali dikisaran target. Tingkat bunga BI ini menjadi acuan bagi perbankan dan lembaga keuangan dalam menyalurkan kredit/pembiayaan ke masyarakat. Bunga acuan juga merupakan salah satu faktor yang diperhitungan entitas pasar modal dalam menetapkan imbal hasil produk obligasi yang ditawarkan ke pasar keuangan, termasuk Pemerintah. 

Bunga acuan yang tinggi akan membuat bunga turunannya dari produk keuangan, investasi dan pembiayaan juga tinggi. Kelompok masyarakat yang paling terbebani tentunya kelas menengah ke bawah. Bahkan, kelompok masyarakat dilapisan bawah akan menjadi yang paling terbebani karena lapangan kerja yang terbatas (akibat disinsentif bisnis) dan disatu sisi mereka yang memiliki profil risiko tinggi ini harus menutupi kebutuhan hidup dengan pinjaman online (pinjol) yang bunganya lebih gila lagi. Kelompok masyarakat kelas atas cenderung diuntungkan dengan iklim bunga tinggi sebab mereka memiliki aset kas yang berlebih dan bisa diinvestasikan ke instrumen keuangan.

Cuan Perbankan

Idealnya, bunga yang ditetapkan oleh perbankan untuk pembiayaan/kredit (termasuk untuk pinjaman produktif) tidak jauh-jauh dari bunga acuan BI. Namun, pada kenyataannya gap antara bunga kredit bank dan BI sangatlah jauh. Disisi lain, perbankan, selaku perantara dana antara penabung dengan peminjam, memberikan bunga tabungan/deposito yang sangat rendah bagi penabung yang membuat kegiatan menabung menjadi tidak menarik lagi dan mungkin hal ini berkontribusi kepada penurunan DPK rumah tangga. 

Selisih yang besar antara bunga tabungan dan kredit ini mengakibatkan Net Interest Margin (NIM) perbankan Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi di Asia bahkan dunia. Dalam paparannya pada sebuah sesi di Jakarta bulan Mei lalu, lembaga rating Standard & Poors menyampaikan bahwa perbankan Indonesia sangat profitable. Realisasi profit mereka bahkan jauh di atas bank-bank di kawasan regional, termasuk Singapura yang notabene memiliki bank-bank dengan aset raksasa. Capaian tersebut bukan sebuah hal yang patut dibanggakan, bahkan analis S&P yang berasal dari Singapura menyebut fenomena ini sebagai sebuah ironi bagi Indonesia.

Sumber: bahan tayang S&P
Sumber: bahan tayang S&P "Indonesia Banking Sector Strengths, Challenges, and External Volatility"

Sang analis dengan tegas menyebut spread NIM tinggi sebagai kontributor penting bagi tingginya cuan perbankan Indonesia. Sebagian pembaca mungkin akan bertanya, lantas masalahnya dimana bagi perekonomian kita?

Bunga kredit yang tinggi tentu akan membebani perekonomian, mereduksi produktivitas dan inisiasi usaha, serta konsumsi rumah tangga. Bank sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi justru memasang tarif mahal untuk tujuan tersebut. Isu yang masih hangat misalnya terkait permasalahan tunggakan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) akibat bunga tinggi, yang meningkat sebesar 14% (Rp 14,87 triliun per Maret 2024)  jika dihitung secara tahunan (yoy) dari periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 13,04 triliun.

Di sisi lain, Pemerintah dan perusahaan yang sedang membutuhkan pembiayaan untuk kegiatan produktif/ekspansi bisnis mau tidak mau harus mengikuti tren bunga tinggi yang berlaku dipasar domestik, dengan memberikan imbal hasil yang lebih besar bagi investor obligasi yang mereka terbitkan. Imbal hasil tinggi tersebut menyebabkan perusahaan yang memiliki cadangan dana, menjadi nyaman menempatkan dana tersebut diinstrumen keuangan, alih-alih melakukan ekspansi usaha di sektor riil. Dampak akhir yang dirasakan salah satunya adalah berkurangnya lapangan kerja sektor formal bagi masyarakat.

Langkah Solusi

Jika demikian yang terjadi lantas apa langkah yang bisa ditempuh untuk mengatasi permasalahan bunga tinggi? Pertama, Bank Indonesia perlu menurunkan suku bunga acuannya. Hal ini memang tidak mudah ditengah pelemahan nilai Rupiah akibat keluarnya arus modal ke luar negeri, namun BI seharusnya tidak perlu khawatir karena arus modal yang keluar-masuk itu sifatnya temporer. Capital inflow dari luar negeri (Non-Direct Investment) memang diperlukan tetapi investasi ini juga membawa sisi negatif dengan menyebabkan fluktuasi bagi perekonomian sehingga seharusnya tidak diistimewakan dengan insentif bunga tinggi. Nilai mata uang Rupiah mungkin akan melemah lebih lanjut jika bunga diturunkan, tetapi itu adalah risiko yang seharusnya sudah diantisipasi oleh para pelaku bisnis yang menggunakan dolar dalam kegiatan usahanya. Perusahaan yang bertransaksi dengan dolar seharusnya melakukan lindung nilai (hedging) untuk memitigasi risiko. Jangan sampai risiko bisnis akibat ketidakhati-hatian yang dilakukan oleh sebagian pelaku industri/importir ditimpakan ke seluruh lapisan masyarakat melalui pengenaan bunga tinggi demi menjaga kestabilan nilai Rupiah.

Kedua, perbankan perlu dengan segala kerelaan hati menurunkan target NIM. Transmisi penurunan bunga yang seharusnya diikuti oleh perbankan ketika BI menurunkan bunga acuan biasanya tidak dilakukan oleh mereka. Perlu ada dorongan dari otoritas yang berwenang misalnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menjamin agar transmisi tersebut dapat berjalan dengan baik.

Ketiga, Pemerintah perlu lebih agresif dalam mencari investasi Direct Investment (DI). Investasi dapat dilakukan pada berbagai sektor termasuk sektor andalan seperti manufaktur dan pariwisata. Kemudahan investasi perlu ditingkatkan dan tentunya tingkat korupsi harus semakin ditekan agar investasi DI bisa lebih deras masuk ke Indonesia.

Indonesia perlu belajar dari peers negara berkembang di kawasan ASEAN seperti Thailand, Malaysia dan Vietnam yang terus menjaga bunga agar tidak terlalu tinggi sehingga tidak membebani perekonomian. Bunga acuan di Thailand bahkan hanya 2% namun investasi tetap mengalir ke negara tersebut khususnya investasi DI. Selain itu, angka NIM di negara peers tersebut juga sangat rendah sehingga tidak makin membebani masyarakat.

"Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan institusi."

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun