Mohon tunggu...
Dea Avega Editya
Dea Avega Editya Mohon Tunggu... Penulis - Manajer Layanan Lembaga Rating dan Pemberi Pinjaman di Kemenkeu RI

Menulis agar tidak dilupakan

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Perekonomian Berbiaya Tinggi

13 Juni 2024   18:40 Diperbarui: 14 Juni 2024   08:05 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bunga kredit yang tinggi tentu akan membebani perekonomian, mereduksi produktivitas dan inisiasi usaha, serta konsumsi rumah tangga. Bank sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi justru memasang tarif mahal untuk tujuan tersebut. Isu yang masih hangat misalnya terkait permasalahan tunggakan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) akibat bunga tinggi, yang meningkat sebesar 14% (Rp 14,87 triliun per Maret 2024)  jika dihitung secara tahunan (yoy) dari periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 13,04 triliun.

Di sisi lain, Pemerintah dan perusahaan yang sedang membutuhkan pembiayaan untuk kegiatan produktif/ekspansi bisnis mau tidak mau harus mengikuti tren bunga tinggi yang berlaku dipasar domestik, dengan memberikan imbal hasil yang lebih besar bagi investor obligasi yang mereka terbitkan. Imbal hasil tinggi tersebut menyebabkan perusahaan yang memiliki cadangan dana, menjadi nyaman menempatkan dana tersebut diinstrumen keuangan, alih-alih melakukan ekspansi usaha di sektor riil. Dampak akhir yang dirasakan salah satunya adalah berkurangnya lapangan kerja sektor formal bagi masyarakat.

Langkah Solusi

Jika demikian yang terjadi lantas apa langkah yang bisa ditempuh untuk mengatasi permasalahan bunga tinggi? Pertama, Bank Indonesia perlu menurunkan suku bunga acuannya. Hal ini memang tidak mudah ditengah pelemahan nilai Rupiah akibat keluarnya arus modal ke luar negeri, namun BI seharusnya tidak perlu khawatir karena arus modal yang keluar-masuk itu sifatnya temporer. Capital inflow dari luar negeri (Non-Direct Investment) memang diperlukan tetapi investasi ini juga membawa sisi negatif dengan menyebabkan fluktuasi bagi perekonomian sehingga seharusnya tidak diistimewakan dengan insentif bunga tinggi. Nilai mata uang Rupiah mungkin akan melemah lebih lanjut jika bunga diturunkan, tetapi itu adalah risiko yang seharusnya sudah diantisipasi oleh para pelaku bisnis yang menggunakan dolar dalam kegiatan usahanya. Perusahaan yang bertransaksi dengan dolar seharusnya melakukan lindung nilai (hedging) untuk memitigasi risiko. Jangan sampai risiko bisnis akibat ketidakhati-hatian yang dilakukan oleh sebagian pelaku industri/importir ditimpakan ke seluruh lapisan masyarakat melalui pengenaan bunga tinggi demi menjaga kestabilan nilai Rupiah.

Kedua, perbankan perlu dengan segala kerelaan hati menurunkan target NIM. Transmisi penurunan bunga yang seharusnya diikuti oleh perbankan ketika BI menurunkan bunga acuan biasanya tidak dilakukan oleh mereka. Perlu ada dorongan dari otoritas yang berwenang misalnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menjamin agar transmisi tersebut dapat berjalan dengan baik.

Ketiga, Pemerintah perlu lebih agresif dalam mencari investasi Direct Investment (DI). Investasi dapat dilakukan pada berbagai sektor termasuk sektor andalan seperti manufaktur dan pariwisata. Kemudahan investasi perlu ditingkatkan dan tentunya tingkat korupsi harus semakin ditekan agar investasi DI bisa lebih deras masuk ke Indonesia.

Indonesia perlu belajar dari peers negara berkembang di kawasan ASEAN seperti Thailand, Malaysia dan Vietnam yang terus menjaga bunga agar tidak terlalu tinggi sehingga tidak membebani perekonomian. Bunga acuan di Thailand bahkan hanya 2% namun investasi tetap mengalir ke negara tersebut khususnya investasi DI. Selain itu, angka NIM di negara peers tersebut juga sangat rendah sehingga tidak makin membebani masyarakat.

"Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan institusi."

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun