Periode 1998 sampai dengan waktu penulisan artikel ini memang dipanggil “masa reformasi”, di mana pemerintahan berusaha memperbaiki kondisi Indonesia setelah banyak penyelewengan hak yang terjadi pada masa orde baru.
Namun, faktanya adalah pelanggaran hak masih terjadi. Warga desa Olak Olak sudah pernah memenangkan gugatan pada tahun 2011 untuk mengambil kembali hak tanah mereka, dan keputusan ini bahkan diperkuatkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2014.
Namun, PT Sintang Raya masih melakukan usaha di tanah tersebut dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional gagal menegakkan keputusan pengadilan. Tanpa adanya konsultasi dari pihak perusahaan, bantuan konkret dari pemerintah untuk warga, ataupun pemberian kompensasi yang layak, kejadian ini merupakan perampasan properti secara sewenang-wenang.
Selain itu, banyak orang berpikir bahwa minyak sawit dapat menjadi sumber energi alternatif terbarui daripada menggunakan bahan bakar fosil. Walaupun memang merupakan sumber energi terbarui, juga perlu diperhatikan bahwa minyak sawit sebagai biodiesel memiliki emisi karbon 3 kali lebih banyak daripada bahan bakar fosil.
Lahan untuk penanaman kelapa sawit ini juga mengambil lahan hutan Indonesia, menggantikan kekayaan flora dan fauna Indonesia dengan monokultur kelapa sawit. Hutan yang sebelumnya menempati lahan kelapa sawit tersebut juga memiliki peran penting dalam menyerap dan menyimpan karbon dioksida.
Pembakaran hutan secara sembarangan untuk membuka lahan kelapa sawit juga menjadi masalah yang sangat besar di Indonesia sehingga pada 2015 Presiden Joko Widodo membentuk Badan Restorasi Gambut untuk membantu pemulihan hutan penyerap karbon, dan pada 2018 pemerintah bahkan berhenti memberikan izin untuk penebangan dan pembakaran hutan guna perusahaan minyak sawit. Namun, efektivitas semua aksi ini masih diragukan karena korupsi dan kelemahan penegak hukum. (science.org)
Kesimpulannya, minyak sawit tidak efektif untuk digunakan sebagai sumber energi alternatif terbarui, dan bahkan malah menyebabkan lebih banyak kerugian lingkungan alam daripada bahan bakar fosil.
Ada sangat banyak faktor yang menyebabkan kejadian ini, dari kegagalan untuk menegakkan hukum oleh pihak polisi hingga kegagalan untuk melindungi hak warga negara Indonesia oleh pihak pemerintahan.
Kedua hal ini disebabkan oleh satu akar masalah: desentralisasi di Indonesia masih jauh dari ideal dan karena itu pemerintah lokal masih “lemah”. Karena kelemahan pemerintah daerah, hal-hal seperti korupsi dapat dengan mudah terjadi dengan datangnya perusahaan yang lebih besar dan kaya daripada daerah itu sendiri.
Dengan masalah separah ini, tentu solusinya harus sistematis dan datang dari atas. Solusi yang harus dilakukan adalah investigasi dari pihak KPK, revisi peraturan menteri yang ada, pemberian wadah untuk warga setempat melapor kepada pihak hukum atau pemerintah, dan akhirnya penghukuman kepada pihak yang bersalah