Dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mantan gubernur DKI Jakarta yang saat itu sedang menjabat cukup membuat huru-hara dan stabilitas politik bergetar. Dalam video resmi Pemprov DKI Jakarta, Ahok meminta warga tidak khawatir dengan kebijakan yang akan ditempuh pemerintahnya jika tidak terpilih kembali. Namun ia menyisipkan ayat 51 Surat Al Maidah. Rupanya kalimat yang dia kirimkan kontroversial. Semua media online bernama MediaNKRI menyebarkan video melalui media sosial.
Kemudian, pada 2 Desember 2016, ribuan orang yang dikoordinir oleh berbagai ormas Islam mulai berdemonstrasi. Mereka tidak hanya dari Jakarta, ibu kota, tetapi juga dari daerah lain di Indonesia. Kekuatan perkasa ini bersatu untuk menuntut pemenjaraan Ahok. Hadir pula Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Yusuf Kalla melakukan salat Jumat bersama peserta lainnya. Kapolri Tito Karnavian yang saat itu menjabat Kapolri juga menghidupkan kembali aksi tersebut. Polisi terus mengusut, di tengah aksi massa menuntut tuntutan atas ucapan Ahok. Polisi kemudian menetapkan Ahok sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama.
Menko Polhukam saat itu Wiranto menanggapi rencana reuni akbar Himpunan Alumni (PA) 212 pada 2 Desember di Monas. Wiranto tidak hanya menghafal prasyarat untuk melakukan tindakan, tetapi juga mengkomunikasikan keberadaan tindakan yang dilakukan.
"Demonstrasi Reuni Akbar ke-212boleh saja. Siapa bilang demonstrasi tidak boleh? Ya, tapi ada aturan dan ada undang-undangnya," katanya
Wiranto menegaskan, warga boleh berdemonstrasi selama tidak mengganggu ketertiban umum. Demonstrasi juga tidak boleh menyebarkan kebencian. "Anda tidak bisa membuat orang merasa terancam, terancam," katanya.
Said Akil juga menjelaskan mengapa 212 tidak disebut sebagai gerakan Islam. "Mereka tidur di masjid dan salat di ladang, jadi saya kira ini bukan kebangkitan Islam atau gerakan Islam. Masjid adalah tempat tidur menunggu di lapangan untuk shalat Jumat. Pendapat saya. Jadi itu tidak benar," katanya.
Salah satunya Pilkada DKI Jakarta yang digelar dalam dua bagian. Persaingan berlangsung sengit, dengan panggung yang dihiasi gelombang demonstrasi besar-besaran dan pemenjaraan petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Sejumlah pengamat menilai Pilkada DKI Jakarta memiliki 'rasa' pilpres. Susilo Bambang Yudhoyono dari kubu Agus-Silviana, Megawati Sukarnoputri dari kubu Ahok Jarot dan Prabowo Subianto dari Anis-Sandi. Banyak yang menganggap Pilkada DKI Jakarta sebagai pertarungan antara tiga pemimpin partai.
Selain kasus penistaan agama, Ahok juga dituding melakukan korupsi di RS Sumber Waras bahkan dalam pembangunan kembali Jakarta. Penantangnya, Silviana Murni, juga diserang dengan tuduhan korupsi dalam mengelola subsidi dan membangun masjid.
Nasib Ahok setelah kekalahannya bahkan lebih tragis. Ia divonis dua tahun penjara pada Selasa, 9 Mei 2017 oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara karena menemukan unsur penodaan agama dalam sidang di aula Kementerian Pertanian.
Ahok dipindahkan ke Brimob Mako Rutan, Kelapa Dua, Depok setelah dipenjara di Lapas Cipinang. Ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta dan menyerahkan jabatan tersebut kepada Djarot Saiful Hidayat.
Massa Anti-Ahok menyambut baik pemenjaraan mantan Bupati Belitung Timur. Namun, pendukung Ahoke mengambil sikap sebaliknya. Mereka bertindak sebagai solidaritas untuk Ahok yang menjadi korban kejahatan di berbagai tempat.
Dalam buku How to Propaganda Works yang di canangkan oleh Jason Stanley disebutkan bahwa Dalam Bagaimana Propaganda Bekerja, Jason Stanley menunjukkan bahwa ini membutuhkan perhatian lebih. Ia menelaah betapa cerdiknya propaganda, bagaimana propaganda itu meruntuhkan demokrasi, terutama cita-cita deliberasi dan kesetaraan demokrasi, dan bagaimana propaganda itu telah merusak demokrasi di masa lalu.
Propaganda Stanley menyoroti kekurangan demokrasi liberal dan memperkenalkan teori politik demokratis yang berdasarkan sejarah sebagai jendela penyalahgunaan kosakata demokrasi untuk tujuan propaganda egois. Dia mengacu pada contoh-contoh sejarah seperti restrukturisasi sistem sekolah umum di Amerika Serikat pada awal abad ke-20 dan meneliti bagaimana bahasa demokratis digunakan untuk mengaburkan realitas yang tidak demokratis. Menggambar pada berbagai sumber seperti teori feminis, teori ras kritis, epistemologi, semantik formal, teori pendidikan, dan psikologi sosial dan kognitif, ia mengeksplorasi sifat manipulatif dan munafik dari keyakinan dan ideologi yang cacat.Penjelasan filosofis menjelaskan bagaimana ketidaksetaraan sosial muncul dan mengabadikan. Rasisme umum di Amerika Serikat sebagai ketidakadilan.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa metode yang dilakukan oleh para pelaku politik yang berkaitan dengan 212 adalah dengan memanfaatkan kelompok organisasi. Mereka menjalankan propaganda tersebut dengan dalih penistaan agama yang dilakukan Ahok untuk menyingkirkan Ahok pada kontestasi Pilkada 2017.
Disisi lain bukti yang saya analisis dari adanya aktivitas propaganda ini adalah sumber daya dalam hal akomodasi para simpatisan. Dikatakan bahwa hampir simpatisan hadir dari seluruh kota di Indonesia tentu saja cukup aneh jika dengan sukarela mayoritas mereka datang tanpa adanya dukungan logistik dan transportasi, atau bahkan dukungan finansial.
Dalam agenda ini penulis menganalisis milyaran uang berputar demi menyokong adanya reuni ini, penulis yakin bahwa ada tokoh-tokoh besar yang ada dibalik reuni 212. Bila kita menganalisis lebih jauh, pemikiran kritis dan keberhasilan ahok dalam mengelola DKI bisa saja menjadi acuan bahwa tidak menutup kemungkinan ahok akan berpartisipasi dalam agenda pilpres selanjutnya. Bisa saja memang reuni ini adalah pencegahan untuk agenda politik yang lebih besar didepan. Bisa dinilai ahok adalah salah satu calon unggul untuk bisa maju keranah politik yang lebih besar lagi, seperti berkantor di Istana mungkin?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H