Proses Islamisasi di Nusantara telah sepenuhnya menyebar hingga ke daerah Timur. Saat itu sebuah wilayah bernama Maluku (kini lebih dikenal sebagai Maluku Utara) adalah tempat awal Islam menapaki daerah Timur. Maluku pada awal Islamisasi dikenal sebagai pulau penghasil rempah-rempah. Komoditas dari Maluku yang paling diburu adalah cengkeh dan biji pala. Melalui komoditas inilah Maluku menerima berbagai kedatangan bangsa muslim yang berdagang dari berbagai daerah seperti Arab, Persia, dan Gujarat.
Selain para pedagang internasional, ada juga pedagang muslim lokal yang datang ke Maluku. Para pedagang itu berasal dari Gresik dan Tuban. Dalam catatan Tome Pires, seorang petualang dari Potugis bahwasannya ketika ia datang ke Maluku, ada banyak kapal-kapal dagang dari Malaka yang berlabuh di Maluku yang membawa komoditas daerah tersebut. Islam diyakini berhasil masuk ke Maluku melalui jalur dan interaksi perdagangan di daerah ini. Dari sinilah Islam secara perlahan menjadi bagian dari kehidupan orang-orang Maluku.
Penamaan Maluku
Dalam sebuah buku berjudul Islam dalam Arus Sejarah Indonesia karya Jajat Burhanudin dikatakan bahwasanya nama Maluku untuk kepulauan ini diambil dari kata dalam bahasa Arab, yakni 'malik' yang memiliki arti raja. Para pedagang dari Arab menamakan deretan kepulauan di utara Maluku dengan nama 'jazirah al-mamluk' yang memiliki arti kepulauan raja-raja. Hal ini merujuk kepada empat kerajaan Islam utama, yakni Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan.
Kerajaan Ternate
Kerajaan Ternate menjadi kerajaan terbesar di Maluku yang telah berdiri pada sekitar abad ke-13 M. Kolano atau Raja Sida Arif Malamo menjadi tokoh penting dalam sejarah Kerajaan Ternate sebab beliau berhasil membangun Ternate menjadi kerajaan maritim paling masyhur di ujung timur Nusantara. Selain itu juga beliau akrab dan kerap bergaul dengan para pedagang asing sehingga ia mendirikan fasilitas ekonomi seperti pasar yang membuat banyaknya pedagang berdatangan ke Ternate.
Kontak serta interaksi sosial, budaya, dan keagamaan yang berlangsung melalui jaringan komunitas pedagang Muslim di Ternate berjalan intensif. Pada saat Kolano Marhum menjabat sebagai raja Ternate di tahun 1465-1468 M, ia melakukan Islamisasi dengan konsep top-down approach, yakni Islamisasi dari lapisan atas ke lapisan bawah atau masyarakat. Kolano Marhum memerintahkan para babato atau elite kerajaan untuk memeluk Islam agar masyarakat Ternate juga ikut masuk Islam. Selain itu, Kolano Marhum menyiapkan putranya yakni Zainal Abidin dengan pendidikan Islam yang matang.
Pada akhirnya, ketika Zainal Abidin naik takhta dan memerintah Kerajaan Ternate dari 1468-1500 M, proses Islamisasi berjalan semakin baik. Sultan Zainal Abidin melakukan hal penting dalam rangka menjadikan Kerajaan Ternate sebagai kerajaan Islam di Maluku. Beliau mengadopsi sejumlah ajaran Islam untuk diterapkan ke dalam sistem hukum dan institusi Kerajaan Ternate. Dalam mengadopsi ajaran Islam, Sultan Zainal Abidin belajar langsung agama Islam dari Sunan Giri. Kemudian, Sultan Zainal Abidin mengajak beberapa ulama untuk mengajarkan agama Islam di Ternate. Salah satu ulama yang terkenal pada saat itu adalah Tuhubahanul.
Perkembangan Kerajaan Ternate terus berlanjut hingga mencapai masa kejayaannya ketika Sultan Baabullah Datu Syah berkuasa pada 1570-1583 M. Sultan Baabullah berambisi untuk membangun Kerajaan Ternate menjadi kerajaan terkemuka di bidang politik dan militer. Sultan Baabullah lebih dikenal perjuangannya dalam mengusir penjajah Portugis karena beliau berhasil menguasai sejumlah wilayah yang sudah menjadi basis kekuatan Portugis di sekitar Ambon. Selain itu, dalam sebuah kisah diceritakan bahwasanya beliau meminta orang Maluku yang pindah ke agama Kristen untuk kembali menjadi Muslim.
Sultan Baabullah menjadikan wilayah Buton sebagai pasar dagang rempah-rempah di Maluku. Hal ini membuat para pedagang dari Arab, Cina, Jawa, dan Melayu masih bisa membeli rempah-rempah dengan harga yang sama seperti di Maluku. Dalam hal Islamisasi di wilayah Maluku, Sultan Baabullah cenderung melanjutkan upaya yang telah dilakukan oleh Sultan Zainal Abidin sebelumnya, yakni seperti memperkuat lembaga agama dan membiarkan pembangunan pesantren berkembang.
Kerajaan Tidore
Kerajaan Tidore menjadi kerajaan terbesar kedua di Maluku setelah Kerajaan Ternate. Kerajaan Tidore berdiri pada sekitar abad ke-11/12 M dan didirikan oleh Syahjati atau Muhammad Naqil. Proses Islamisasi di Kerajaan Tidore berlangsung melalui interaksi yang intensif dengan para pedagang Muslim internasional yang datang ke Maluku. Islamisasi di Kerajaan Tidore sendiri berlangsung semakin dalam kala Sultan Ciriliati atau Sultan Jamaluddin menjadi raja sejak tahun 1495-1512 M.
Dalam catatan Tome Pires dikatakan bahwasanya Raja Tidore telah menganut agama Islam meskipun sebagian besar masyarakatnya masih menganut agama tradisonal atau juga heathens. Tome Pires sendiri datang ke Nusantara pada masa kekuasaan Sultan Al-Mansur yang berkuasa pada tahun 1512-1526 M. Sultan Al-Mansur memiliki gelar Malikiddin Mansur Kaicil Mulako.
Pada masa pemerintahan Sultan Al-Mansur, Tidore mengalami perkembangan penting terkait hubungan dagangnya dengan pedagang Barat. Jikalau Ternate menjalin hubungan kerja sama dengan Portugis, maka Tidore menjalin hubungan dengan Spanyol. Sultan Al-Mansur adalah orang yang secara resmi menyambut kedatangan bangsa Spanyol. Sultan Al-Mansur menyatakan bahwa dirinya menerima dengan senang hati atas kedatangan bangsa Spanyol di tanah Tidore. Hubungan kerja sama antara Tidore dengan Spanyol berlangsung sekitar satu setenha abad, yakni tahun 1521-1663 M.
Hubungan antara Tidore dengan Spanyol membuat masuknya pengaruh agama Katolik ke Tidore. Namun, Sultan Al-Mansur justru memperkuat pondasi Islam di tanah Tidore. Islam telah menjadi agama resmi di Kerajaan Tidore dan semakin merambat secara luas ke lapisan masyarakat. Perdagangan rempah-rempah yang aktif turut menjadi saluran penyebaran agama Islam karena datangnya para ulama dari berbagai daerah Muslim ke tanah Tidore. Meskipun Islam telah menjadi agama resmi Kerajaan Tidore, Sultan Al-Mansur melakukan sinkretisme dengan tidak sepenuhnya menghapus kepercayaan asli masyarakat Tidore.
Hubungan Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore
Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore kerap berselisih dan bersaing datu sama lain. Perseteruan antar dua kerajaan ini memang telah berlangsung lama. Kerajaan Tidore kerap berada dalam bayang-bayang kekuatan Kerajaan Ternate yang terkemuka secara ekonomi dan politik di wilayah Maluku. Perseteruan ini semakin memuncak kala melibatkan kekuatan dagang asing, yakni Portugis dan Spanyol.
Meski perseteruan dan persaingan dua belah pihak terus memanas, hal tersebut tidak menghambat proses Islamisasi di ujung Timur Nusantara. Justru proses Islamisasi berjalan semakin baik seiring bergantinya raja atau sultan yang berkuasa di Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore. Hadirnya Kerajaan Ternate dan Kerajaan Tidore menjadi bukti bahwa Islamisasi di ujung Timur Nusantara pernah berlangsung dengan konsep kedamaian.
Daftar Pustaka
Burhanudin, J. (2017). Islam dalam Arus Sejarah Indonesia (1st ed.). Jakarta: Kencana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H