Jumat, 13 Agustus 2023, bertempat di hall kampus, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Komisariat Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) "APMD" Yogyakarta menyelenggarakan Diskusi Ngaji Desa Chapter I dengan tema 'Kembalikan Kedaulatan Desa Untuk Kesejahteraan Masyarakat'. Guru Desa, Dr. Sutoro Eko Yunanto, M.Si.,yang juga menjabat sebagai Ketua APMD menjadi pembicara dalam diskusi ini. Tulisan ini merupakan ikhtiar berbagi sekaligus upaya diseminasi pengetahuan yang penulis dapatkan dari Sang Guru Desa pada diskusi itu kepada pembaca sekalian.
Genealogi Pemikiran dan Praktik
Soekarno tidak pernah berbicara secara eksplisit tentang desa. Bung Karno berbicara soal nilai dan tradisi yang berada dalam hidup dan kehidupan desa. Misalnya konsep demokrasi terpimpin yang diangkat dan diabstraksikan dari pengalaman masyarakat desa dalam berdesa. Begitu juga dengan demokrasi. Demokrasi yang diagkat Soekarno tertuang antara lain pada sila ke-4 Pancasila. Sila ini menekankan pentingnya seorang pemimpin, dalam konteks kehidupan desa yaitu kepala desa. Pemimpin menjadi penting karena mendapat mandat dari orang banyak. Orang yang memperoleh mandat dari orang banyak punya hikmat kebijaksanaan yang tentu diharapkan digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan orang banyak melalui musyawarah dan perwakilan.
Lebih tegas lagi, baik Soekarno maupun Hatta mengangkat nilai dan tradisi gotong royong. Tradisi gotong royong melekat dalam desa. Ketika Pancasila diperas menjadi satu sila, meskipun itu dikritik oleh banyak orang, Bung Karno mengatakan bahwa kita adalah bangsa gotong royong. Gotong royong merupakan pengalaman community. Community adalah sebuah konsep antropologis: orang-orang saling tolong menolong dalam satu wilayah pemukiman kehidupan lokal, baik dalam kepentingan privat maupun kepentingan bersama. Hal itu sangat kuat menghasilkan satu konsep yaitu solidaritas.
Solidaritas menjadi kata kunci yang dipegang betul oleh para pendiri bangsa. Akan tetapi Bung Karno mengangkat konsep community ini menjadi konsep yang lebih besar lagi yaitu masyarakat (society) dalam pengertian bangsa-negara. Society tidak sekadar komunitas orang yang memiliki kesamaan tempat tinggal, identitas, golongan darah, agama, suku dan ras berkumpul. Society intinya orang berkumpul karena memiliki kepentingan, nilai dan tujuan yang sama. Soekarno mengatakan bahwa bangsa Indonesia meskipun berbeda tapi punya kesamaan nasib: senasib-sepenanggungan.
Gotong royong yang diangkat Bung Karno adalah pengertian society dalam konsep sosiologi, bukan dalam konsep antropologi. Gotong royong intinya yaitu anti individualisme dan dalam rangka mengorganisasi kepentingan orang banyak untuk mencapai satu tujuan: masyarakat adil makmur. Masyarakat adil makmur ialah masyarakat dalam pengertian sosiologis.
Inefisiensi
 Konsekuensi kita sebagai sebuah negeri-bangsa yang sangat majemuk adalah terjadinya pemborosan politik atau 'inefisiensi politik'. Inefisiensi politik tidak hanya terjadi dalam konteks ekonomi, semisal pemilu menciptakan inefisiensi karena membutuhkan biaya yang sangat besar. Akan tetapi yang terpenting ialah inefisiensi dalam konteks politik. Inefisiensi politik berarti, karena pilihan konsepnya terlalu banyak, kita pada akhirnya kesulitan menempuh posisi, jalur, dan cara yang akan kita tempuh dalam berjuang.
Sekurang-kurangnya terdapat beberapa contoh inefisiensi. Misalnya, mana yang akan kita perjuangkan: bangsa atau rakyat? Apakah kita membela negara atau membela rakyat? Apakah kita tidak keliru jika mengambil posisi membela negara, padahal negara justru sering menindas bangsa, mengeksploitasi tanah air, menindas negeri, menindas masyarakat, serta menindas rakyat? Kita berbuih-buih melakukan gerak bela negara, tetapi hal itu sebetulnya tidak memiliki makna dan dampak untuk membuat rakyat berdaulat dan masyarakat adil-makmur. Bela negara memiliki platform dirayakan, dibiayai, punya kurikulumnya, tetapi kita tidak punya proyek besar bernama bela rakyat.
 Contoh lain dari inefisiensi adalah konsep negarawan dan kepahlawanan. Orang sering memuja yang namanya pahlawan dan negarawan sebagai sosok yang suci, bersih, hebat dan tidak punya pamrih. Benarkah demikian? Konsep kepahlawanan dan konsep negarawan sebetulnya hanya akan relevan kalau kita sedang dalam situasi perang. Kalau kita tidak sedang perang, sosok pahlawan menjadi tidak penting lagi. Lalu, apa yang lebih penting?
Salah satunya adalah kewarganegaraan. Pemerintah, rakyat, negara dan warga menjadi bangunan yang diciptakan oleh konstitusi kita. Pemerintahan maupun hukum berbicara tentang hak dan kewajiban. Tidak perlu lagi kita membicarakan pahlawan atau negarawan melainkan yang kita lakukan adalah hak dan kewajiban.
Ketika hak-hak warga negara tidak terpenuhi baik melalui proteksi dan distribusi, maka warga negara mesti mengorganisasi diri atau melakukan praktik sosiologi membentuk society, membentuk gerakan-gerakan masyarakat sipil, atau gerakan warga negara untuk menantang dan menentang pemerintah dan negara supaya prinsip kewarganegaraan itu bisa diraih. Pada sisi yang lain, inefisiensi juga terjadi kalau kita masih sibuk berbicara rakyat tetapi kita belum mengalami transformasi dari rakyat ke warga negara maka kedaulatan rakyat dan masyarakat adil-makmur yang dicita-citakan itu hanya akan menjadi cita-cita semata tanpa pernah menjadi kenyataan.
Hubungan Marhaenisme dengan Desa Kuat dan Berdaulat
Salah satu tantangan yang perlu kita sambut adalah bagaimana menghubungkan marhaenisme dengan desa kuat-desa berdaulat. Dalam mencari hubungan itu ada konsep yang bisa kita pakai dan sekaligus ada pengalaman yang bisa kita hadirkan.
Marhaenisme yang dikonsepkan Soekarno memilik kata kunci (keyword) yaitu rakyat. Marhaenisme, dengan kata dasar marhaen (rakyat) kemudian menjadi landasan untuk kedaulatan rakyat. Marhaen secara konseptual bersifat dualistik. Di satu sisi mereka disebut folk (orang desa) sebagai konsep antropologis yang kemudian melahirkan yang disebut dengan local community (masyarakat setempat), tetapi pada sisi yang lain mereka adalah people (rakyat) dalam konsep politik. Rakyat dalam konsep politik yang mengorganisasikan diri untuk berjuang menuju warga negara (citizenship) adalah rakyat dalam pengertian sebagai konsep sosiologi. Marhaen adalah people (rakyat) sebagai konsep politik yaitu ketika orang memilih kepala desa dan memiliki hak yang sama untuk dipilih menjadi kepala desa. Akan tetapi, ketika kita berbicara desa sebagai entitas, maka desa adalah milik folk atau milik masyarakat setempat.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa marhaen sebagai rakyat (people) memiliki komunitas dan marhaen adalah juga menjadi bagian dari masyarakat setempat. Marhaen pada posisi tertentu bertindak sebagai rakyat (people) dalam konsep politik tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka melakukan praktik antropologis, menjadi bagian dari local community (masyarakat setempat). Pada posisi yang lain, marhaen juga melakukan praktik sosiologis yaitu mereka mengorganisasikan diri dalam bentuk serikat petani untuk memerjuangkan tentang kemandirian pangan dan kedaulatan pangan berhadapan dengan negara. Jadi marhaen memiliki dua identitas: kadang mereka menjadi people dan kadang mereka menjadi folk. Ketika marhaen menjadi folk maka mereka tidak akan terlepas dari masyarakat setempat sebagai pemilik desa.
Oleh karena itu, kita berdesa dalam rangka mengangkat harkat dan martabat marhaen. Desa kuat dan berdaulat dalam rangka mengangkat hajat hidup orang banyak. Desa harus menjadi batu landasan dan batu penjuru bagi negara yang kemudian menghadirkan fungsi proteksi dan distribusi bagi marhaen-marhaen yang juga adalah warga negara Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI