Mohon tunggu...
Vansianus Masir
Vansianus Masir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Suka membaca, senang berdiskusi, dan hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Relevansi Marhaenisme dalam Kehidupan Desa

19 Oktober 2023   19:15 Diperbarui: 19 Oktober 2023   19:20 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jumat, 13 Agustus 2023, bertempat di hall kampus, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Komisariat Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) "APMD" Yogyakarta menyelenggarakan Diskusi Ngaji Desa Chapter I dengan tema 'Kembalikan Kedaulatan Desa Untuk Kesejahteraan Masyarakat'. Guru Desa, Dr. Sutoro Eko Yunanto, M.Si.,yang juga menjabat sebagai Ketua APMD menjadi pembicara dalam diskusi ini. Tulisan ini merupakan ikhtiar berbagi sekaligus upaya diseminasi pengetahuan yang penulis dapatkan dari Sang Guru Desa pada diskusi itu kepada pembaca sekalian.

Genealogi Pemikiran dan Praktik

Soekarno tidak pernah berbicara secara eksplisit tentang desa. Bung Karno berbicara soal nilai dan tradisi yang berada dalam hidup dan kehidupan desa. Misalnya konsep demokrasi terpimpin yang diangkat dan diabstraksikan dari pengalaman masyarakat desa dalam berdesa. Begitu juga dengan demokrasi. Demokrasi yang diagkat Soekarno tertuang antara lain pada sila ke-4 Pancasila. Sila ini menekankan pentingnya seorang pemimpin, dalam konteks kehidupan desa yaitu kepala desa. Pemimpin menjadi penting karena mendapat mandat dari orang banyak. Orang yang memperoleh mandat dari orang banyak punya hikmat kebijaksanaan yang tentu diharapkan digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan orang banyak melalui musyawarah dan perwakilan.

Lebih tegas lagi, baik Soekarno maupun Hatta mengangkat nilai dan tradisi gotong royong. Tradisi gotong royong melekat dalam desa. Ketika Pancasila diperas menjadi satu sila, meskipun itu dikritik oleh banyak orang, Bung Karno mengatakan bahwa kita adalah bangsa gotong royong. Gotong royong merupakan pengalaman community. Community adalah sebuah konsep antropologis: orang-orang saling tolong menolong dalam satu wilayah pemukiman kehidupan lokal, baik dalam kepentingan privat maupun kepentingan bersama. Hal itu sangat kuat menghasilkan satu konsep yaitu solidaritas.

Solidaritas menjadi kata kunci yang dipegang betul oleh para pendiri bangsa. Akan tetapi Bung Karno mengangkat konsep community ini menjadi konsep yang lebih besar lagi yaitu masyarakat (society) dalam pengertian bangsa-negara. Society tidak sekadar komunitas orang yang memiliki kesamaan tempat tinggal, identitas, golongan darah, agama, suku dan ras berkumpul. Society intinya orang berkumpul karena memiliki kepentingan, nilai dan tujuan yang sama. Soekarno mengatakan bahwa bangsa Indonesia meskipun berbeda tapi punya kesamaan nasib: senasib-sepenanggungan.

Gotong royong yang diangkat Bung Karno adalah pengertian society dalam konsep sosiologi, bukan dalam konsep antropologi. Gotong royong intinya yaitu anti individualisme dan dalam rangka mengorganisasi kepentingan orang banyak untuk mencapai satu tujuan: masyarakat adil makmur. Masyarakat adil makmur ialah masyarakat dalam pengertian sosiologis.

Inefisiensi

 Konsekuensi kita sebagai sebuah negeri-bangsa yang sangat majemuk adalah terjadinya pemborosan politik atau 'inefisiensi politik'. Inefisiensi politik tidak hanya terjadi dalam konteks ekonomi, semisal pemilu menciptakan inefisiensi karena membutuhkan biaya yang sangat besar. Akan tetapi yang terpenting ialah inefisiensi dalam konteks politik. Inefisiensi politik berarti, karena pilihan konsepnya terlalu banyak, kita pada akhirnya kesulitan menempuh posisi, jalur, dan cara yang akan kita tempuh dalam berjuang.

Sekurang-kurangnya terdapat beberapa contoh inefisiensi. Misalnya, mana yang akan kita perjuangkan: bangsa atau rakyat? Apakah kita membela negara atau membela rakyat? Apakah kita tidak keliru jika mengambil posisi membela negara, padahal negara justru sering menindas bangsa, mengeksploitasi tanah air, menindas negeri, menindas masyarakat, serta menindas rakyat? Kita berbuih-buih melakukan gerak bela negara, tetapi hal itu sebetulnya tidak memiliki makna dan dampak untuk membuat rakyat berdaulat dan masyarakat adil-makmur. Bela negara memiliki platform dirayakan, dibiayai, punya kurikulumnya, tetapi kita tidak punya proyek besar bernama bela rakyat.

 Contoh lain dari inefisiensi adalah konsep negarawan dan kepahlawanan. Orang sering memuja yang namanya pahlawan dan negarawan sebagai sosok yang suci, bersih, hebat dan tidak punya pamrih. Benarkah demikian? Konsep kepahlawanan dan konsep negarawan sebetulnya hanya akan relevan kalau kita sedang dalam situasi perang. Kalau kita tidak sedang perang, sosok pahlawan menjadi tidak penting lagi. Lalu, apa yang lebih penting?

Salah satunya adalah kewarganegaraan. Pemerintah, rakyat, negara dan warga menjadi bangunan yang diciptakan oleh konstitusi kita. Pemerintahan maupun hukum berbicara tentang hak dan kewajiban. Tidak perlu lagi kita membicarakan pahlawan atau negarawan melainkan yang kita lakukan adalah hak dan kewajiban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun