pemilihan umum gubernur DKI Jakarta yang dilakukan pada tanggal 11 juli kemarin berlangsung dengan tertib, jujur, dan adil, serta terbuka. namun apakah para pemilih memberikan suaranya sesuai hati nurani atau karena iming-iming?.
saya termasuk salah satu dari kontributor quick count dari salah satu lembaga yang mengadakan quick count PEMILUKADA DKI Jakarta. pagi hari pukul 07.00 wib, setiap TPS sudah siap dan matang untuk menyelenggarakan pemilihan umum tersebut itu. setelah itu masyarakat berduyun-duyun datang untuk mendapat surat suara dan mencoblos pilihan mereka masing-masing.
antusiasme masyarakat terpancar dari wajah-wajah yang kelihatannya sudah yakin betul dengan dengan pilihan yang di tentukan dari jauh-jauh hari. satu persatu mereka masuk ke ruang pencoblosan dengan oleh-oleh tinta yang berasa di salah satu jari tangan mereka.
canda gurau mereka setelah mereka mencoblos adalah "kok tidak semua jari yang di "cuplin"?". mereka kelihatannya melakukan hal tersebut dengan tanpa iming-iming apapun. tapi apakah hal itu memeng benar?
saya duduk disamping orang-orang yang sudah melakukan pencoblosan, kemudian saya membuka obrolan-obrolan; makin lama makin saya sisipkan pertanyaan-pertanyaan yang menyerempet ke PILKADA. Pertama, ibu berasal dari suku apa?, dijawabnya "saya dari suku batak". kedua, pekerjaan ibu? jawabnya ''saya PNS di DKI Jakarta". ketiga, di antara para calon yang ada di kartu suara ibu memilih yang mana?, dijawabnya, "saya memilih nomor satu". kenapa?, bisa saya ketahui alasannya?, "jelaslah mas, anda pasti sudah paham. karena saya kan PNS DKI Jakarta, maka saya memilih yang "punya kumis", kemudian selain itu, si kumis kan baru menjabat sekali, dan program-program yang dia punyai baru sedikit yang terlaksana, maka perlu di teruskan.
maka, apa kesimpulan anda dari tanya jawab yang ada di atas?.
kemudian selang beberapa jam, saya sengaja duduk di samping bapak-bapak yang pekerjaannya PNS dan asli orang betawi. kemudian, saya melontarkan pertanyaan yang sama persis dengan apa yang saya lontarkan kepada ibu-ibu yang pertama tadi. Pertama, bapak bersala dari suku apa? jawabnya "betawi asli saya, mas". kedua, pekerjaan bapak? jawabnya "PNS di DKI Jakarta". ketiga, dari calon-calon yang ada di kartu pemilhan, bapak memilih siapa?, jawabnya "kalo saya sih, jujur sajah, memilih abang "kumis"". kenapa? jawabnya lanjut "sejujurnya, karena saya orang betawi dan beliau orang betawi, di bandingkan dengan yang lain saya pastinya memilih orang betawi asli".
setelah waktu pemilihan habis dan berlanjut ke waktu penghitungan suara, sangat terlihat jelas sekali, bahwa pada kenyataannya, terbagi menjadi dua kelompok besar, pertama, kelompok asli betawi dan orang PNS, memilih "bang kumis", dan yang kedua, kelompok asli jawa yang memilih "bang batik".
timbul pertanyaan susulan buat anda para pembaca, dari data yang saya dapatkan, apakah suara yang diberikan oleh rakyat sekarang ini masih timbul dari hati nurani mereka sendiri?
hati nurani, sesungguhnya adalah kemurnian dari apa yang ditentukan untuk suatu objek yang tidak diikut campurkan dengan hal pekerjaan, suku, sara', warna kulit, dan lain sebagainya yang secara tidak langsung mengikat pada arah yag salah dalam mengambil sikap. melainkan karena orang yang dipilih adalah yang mempunyai kemampuan dan mampu merealisasikan apa yang telah dibuat dan disusunnya.
tak selamanya, orang yang suku, agama, ras, warna kulit, dan lainnya; akan memberikan kesejahteraan bagi kita yang sama dengan yang kita pilih. karena contohnya pun sangat banyak, dan saya yakin kita semua sudah pernah merasakan dan mengalaminya.